Mohon tunggu...
Ivan Jayadi
Ivan Jayadi Mohon Tunggu... Swasta -

Penulis Yang Aktif Berpartai Di PSI sebagai Sekretaris DPC Sukun

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Dua Pedang Bermata Dua yang Menjerat Negeri Ini (Menemukan Sosok Pemimpin Ideal)

26 Januari 2017   20:10 Diperbarui: 6 Februari 2017   14:06 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangsa ini belum selesai dengan kemelut penistaan agama. Proses pengadilan Pak Ahok masih terus berjalan, sementara yang memimpin para penuntutnya, Pak Rizieq Shihab, juga tengah tersandung-sandung kasus yang sama, bahkan lebih parah, karena dia sampai memicu disintegrasi bangsa dengan menuduh pemerintahan yang berkuasa sebagai pemerintahan yang disetir dan dikendalikan PKI. Dengan kasus ini, bangsa ini sesungguhnya tengah dihadapkan pada dua pedang yang sama-sama bermata dua.

Di satu sisi, ada kubu Pak Ahok yang dikenal tegas, berani, berintegritas memimpin DKI, juga bisa dibilang memiliki komitmen dalam memberantas korupsi, tetapi tidak bisa dipungkiri juga punya berbagai kelemahan seperti tidak segan-segan sampai berkata kasar dalam menanggulangi persoalan di DKI, yang bisa dibilang amat pelik dan rumit, juga teridentifikasi ada praktek nepotisme yang semoga masih bisa dibilang tepat guna dalam memberdayakan keluarga dan relasi, serta bukan tidak mungkin kalau beberapa kasus korupsi seperti Sumber Waras adalah benar, meski bisa jadi itu hanyalah fitnah untuk menjatuhkan pejabat jujur dan berintegritas.

Sementara itu, di sisi yang lain, ada tandingannya, yaitu Pak Rizieq Shihab, yang seolah telah menjadi kepanjangan tangan tokoh politik tertentu, kemudian walaupun tidak pernah turun tangan sendiri, tetapi terindikasi lebih kasar daripada Pak Ahok dengan FPInya, juga memiliki lebih banyak ucapan kasar dalam menyerang kelompok lain, dan sepertinya terindikasi kuat menjadi tameng koruptor dan pelaku nepotisme yang terorganisir dengan cantik. 

Tetapi soal kasus dan kemelut yang terjadi di antara mereka, sebenarnya jelas, tujuan utamanya adalah penguasaan atas Ibu Kota negara. Yang tengah bertarung adalah pejabat yang memiliki elektabilitas amat tinggi di mata rakyat melawan para mafia politik. Jadi, masyarakat harus benar-benar cerdas mensikapi soal ini.

Kalau masyarakat bisa memandang persoalan ini secara jernih, obyektif, dan dalam skala besar, bukan dalam skala sempit berdasarkan sentimen-sentimen politik dan isu yang dihembuskan, Insyaallah bakal bisa menangkap suatu benang merah yang kuat di dalam kasus ini. Yang amat penting digaris bawahi dalam memandang persoalan secara jernih, obyektif, dan berskala besar adalah masyarakat harus bisa adil, tidak memihak, dan tujuan utamanya adalah meninggikan derajat kemanusiaan dan berbagai nilai yang mulia seperti tetap menjaga persatuan bangsa dan negara dalam satu wadah NKRI yang berdaulat dan memiliki supremasi hukum yang jujur dan adil. 

Dalam hal ini, masyarakat juga harus sangat jeli dalam menerima informasi dan menangkap berbagai gejala politik yang ada dengan tetap berpijak pada kebenaran dan Petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Tapi petut diingatkan tentang ini sebelumnya, bahwa segala hal yang tertuang dalam tulisan ini tidak seratus persen benar, tetapi masyarakat rasanya sudah cukup cerdas dalam menilai dan mempertimbangkan sendiri dalam menerima dan mengakses informasi, serta dalam menangkap berbagai gejala yang ada.

Untuk kasus penistaan agama yang menjerat Pak Ahok, yang mengutip Surat Al Maidah 51 dalam pidato di Kepulauan Seribu, banyak umat Muslim yang marah, kemudian mau dipimpin FPI dan MUI untuk menuntut Pak Ahok dengan tak kenal kata maaf, hingga mereka masuk perangkap politik, hingga akhirnya pemimpin FPI, Pak Rizieq Shihab, sendiri terjebak dalam penistaan agama, menghina Tuhan umat agama lain yang jelas-jelas dilarang dalam ajaran Al Quran. Dari sini, umat Muslim seharusnya bisa menilai sendiri, mana yang lebih parah kesalahannya. Penista ulamak yang salah atau penista Tuhan umat agama lain yang memancing mereka untuk menghina Allah dengan dasar dan pengetahuan yang jelas?

Runtutan sesungguhnya dari kasus ini, terindikasi, Pak Buny Yani adalah kawan Pak Anis Baswedan, calon Gubernur nomor urut 3 dalam Pilkada DKI. Dengan tujuan meraih kursi DKI, bisa jadi mereka kerja sama atau sekedar saling dukung antar teman untuk menurunkan elektabilitas calon nomor urut 2, Pak Ahok dan Pak Jarot, yang sedang di atas angin sebelum pemilu. Kemudian, usaha Pak Buny Yani ini mendapat apresiasi dari masyarakat, FPI dan calon yang diusungnya mengipasi bara yang disulut oleh Pak Buny Yani, sehingga terjadilah serentetan aksi demo besar, yang menuntut Pak Ahok diadili. Terbukti, ketika Pak Buny Yani, mau mundur dari kasus dan minta maaf kepada masyarakat dan kepada Pak Ahok, FPI lah yang mencegah dan mendorong Pak Buny Yani untuk meminta maaf itu. 

Dari sini, rasanya sudah bisa ditangkap adanya modus politik tertentu. Terlebih lagi, mantan orang nomor satu di negeri ini langsung pasang kuda-kuda untuk cuci tangan bila kasus ini membesar, dengan jargon politik, "Lebaran Kuda". Dan rasanya bukanlah suatu kebetulan, kalau mantan orang nomor satu itu adalah orang tua calon gubernur nomor urut satu, terkait erat dengan pemimpin FPI, FPI itu sendiri, dan pimpinan MUI. Dan usut punya usut, ternyata suami wakil calon nomor urut satu, ikut menggelotorkan dana dalam aksi demo yang berlangsung. Semoga dari sini, masyarakat sudah bisa menangkap peta politik yang tengah berlangsung di DKI.

Untuk selanjutnya, perlu diluruskan sedikit soal makna Surat Al Maidah 51. Dalam soal ini, sesungguhnya amat rentan sekali terjadi konflik apabila tidak menelusurinya hingga jauh ke belakang. Dalam kasus Surat Al Maidah 51 ini, sesungguhnya serba salah jika terlalu diusut tanpa kesepahaman untuk menemukan kebenaran sejati. Dan kunci dari kebenaran sejati itu, ada dikesalahan penterjemahan kata auliya dalam Al Quran. Jadi, yang salah di sini bukan Al Qurannya, tetapi penterjemahan istilah auliya tersebut, yang hingga saat ini merujuk pada terjemahan Kementerian Agama di masa Orde Baru. 

Patut diingat bahwa Isi Al Quran itu suci dan benar seratus persen, tetapi Kementrian Agama bisa salah, bahkan pernah jadi lembaga terkorup seindonesia, yang parahnya dana untuk pengadaan Al Quran pun dikorupsi juga. Maka jika hal ini, tidak dikoreksi, selamanya lembaga ini akan jadi momok dan tempat berkumpulnya para setan dalam bentuk manusia, karena terhadap arti Ayat-ayat Allah pun, mereka korup atau tetap membiarkan terkorupsi secara turun-temurun. Pada Ayat-ayat Allah saja mereka berani korup apalagi sekedar uang rakyat?

Beberapa hal yang memperkuat bukti bahwa Ayat-ayat Al Quran telah dikorup adalah setelah munculnya terjemahan Al Quran itu, Pak Harto langsung berubah haluan dari penganut kepercayaan menjadi kemuslim-musliman sampai coba menambah nama menjadi Haji Muhammad Suharto. Kemudian pada saat yang sama, pimpinan MUI pusat, Pak Hamka tiba-tiba mundur. Lalu muncul kritik sosial dari Pak Arwendo Atmowiloto, yang membuatnya dijebloskan ke dalam penjara, karena disalahpahami umat menghina Nabi Muhammad, sebab menempatkan Presiden Suharto sebagai orang nomor satu sedang Nabi Muhammad jauh di bawahnya. Tapi kalau dipikir-pikir dengan mengaitkannya pada situasi politik pada saat itu, sesungguhnya penempatan menurut hasil survei itu merupakan kritik untuk mengingatkan umat ini, yaitu "Kenapa umat Muslim yang jumlahnya 200 juta waktu itu lebih takwa kepada Pak Harto daripada ke RasulNya?" Tapi itu hanya sederetan peristiwa di masa lalu, yang jadi gejala atau tanda persoalan sesungguhnya, yaitu adanya penyimpangan dan kesalahan dalam terjemah Al Quran pada saat itu.

Apa indikasi atau gejala kesalahan penterjemahan Al Quran oleh Kementerian Agama di masa Orde Baru itu? Perterjemahan Al Quran, tidak boleh dipotong-potong, ditambahi atau dikurangi, lebih-lebih disimpangkan seperti yang terjadi pada arti atau makna kata auliya dalam Al Quran. Sementara dalam terjemahan Al Quran yang ada, yang hingga saat ini merujuk pada terjemahan di masa Orde Baru, Al Quran telah dipotong-potong, ditambah-tambahi kata dalam kurung serta ditambahi berbagai keterangan yang sifatnya terlalu mendogma dan coba mengarahkan pemahaman umat. Termasuk dalam pemaknaan kata auliya tersebut, sebenarnya banyak sinonim artinya, tetapi yang dipilih malah yang menguntungkan penguasa atau umat muslim secara tidak adil di negeri yang berazaskan Pancasila. Itupun, arti atau makna yang ditampilkan juga tak benar-benar mewakili arti istilah itu atau ada keterangan yang seperti sengaja disembunyikan.

Makna dan arti kata auliya yang sesungguhnya adalah kekasih Allah, wali, penopang, penanggung jawab, kawan karib yang rela melakukan apa saja dan berkorban apa saja, dan pemimpin atau pemuka orang-orang yang baik atau benar-benar bertakwa atau dengan kata lain orang yang paling bertakwa di mata Allah sehingga pantas menjadi pemuka orang-orang yang bertakwa. Jadi, salah besar jika auliya di Al Quran diartikan pemimpin, lebih-lebih jika dianggap semua pemimpin adalah auliya Allah. Auliya Allah atau pemimpin orang-orang yang bertakwa bukan sekedar pemimpin, tetapi pemimpin yang sangat bertakwa melebihi takwanya orang biasa. Atau orang yang kadar takwanya paling banyak.

Karena itu, sesungguhnya, tidak semua pemimpin adalah auliya orang yang bertakwa atau orang yang bisa dihandalkan untuk membawa rahmat, kebaikan, dan perbaikan bagi alam semesta. Pemimpin orang-orang yang bertakwa atau auliya Allah yang bisa menjadi rahmat dan membawa rahmat bagi seluruh alam adalah orang yang kadar takwanya paling banyak. Dalam arti yang kebaikannya paling banyak, kesalahannya amat kecil sekali, yang bila perlu tak ada sedikitpun kesalahannya. Hal ini patut sangat dicamkan betul. Karena itu, ada pemimpin-pemimpin seperti Adolf Hitler, Suharto, dan lain-lain, yang sesungguhnya ialah pemimpin orang-orang segolongan dengan dirinya, tetapi Sengaja Dipilih Allah untuk memimpin masyarakat luas, berdasarkan keinginan masyarakat itu sendiri sebagai ujian, bahkan bisa jadi hukuman untuk masyarakat itu sendiri karena dosa dan kesalahan yang mereka buat sebelumnya. Tentu saja Adolf Hittler dan Suharto seorang pemimpin, tetapi bukan pemimpin orang-orang yang bertakwa. Mereka penjahat lalim yang gagal menyatukan kepemimpinan duniawi dengan kepemukaan atas orang-orang yang beriman dan bertakwa. Dan mereka sesungguhnya adalah ujian sekaligus cobaan bagi masyarakatnya. Makanya Dikatakan, apabila ada pemimpin lalim Direstui Allah untuk memimpin suatu umat, berarti Allah Ridho atas kehancuran umat itu.

Karena itu, hati-hati dan waspadalah. Jangan-jangan kita adalah umat yang selalu terancam untuk Dimusnahkan Allah. Ada slentingan-slentingan atau sekedar katanya dari mulut ke mulut (tutur tinular) dari dulu kala, bahwa Pulau Jawa ini akan tenggelam, tetapi entah itu kapan. Mungkin itu hanya ramalan atau berita-berita kabur yang dibawa setan. Tetapi alangkah baiknya jika kita ingat, bahwa Allah tidak akan Mengubah suatu kaum, kecuali kalau umat itu mau berusaha mengubah dirinya sendiri. Karena itu, sebaiknya segenap masyarakat ini seharusnya sadar untuk senantiasa memperbaiki diri dan terus membangun kualitas diri jadi orang baik atau orang yang amat bertakwa, agar bisa dipimpin oleh wali dan auliyaNya atau orang paling baik atau orang yang paling bertakwa di kalangan mereka sendiri. Secara masuk akal, kalau sebagian besar masyarakat negeri ini baik, maka mereka akan memilih orang terbaik sebagai pemimpinnya. Kalau sebagian besar umat negeri ini buruk, yang indah dan tampak hebat di mata mereka, hingga dipilih sebagai pemimpin, tentulah orang yang terburuk. 

Untuk ukuran saat ini, bagi masyarakat Jakarta, ada tiga pasangan calon pemimpin. Atas ketiganya, masyarakat Jakarta sendiri yang hendaknya menentukan, mana yang terbaik, yang bisa mereka jadikan kekasih, penanggung, kawan yang selalu pro dan loyal pada masyarakat, serta mampu menegakkan kebaikan dan kebajikan. Soal ini tak ada kaitannya dengan agama dan kepercayaan seseorang, karena saat ini banyak orang yang mengaku Muslim, tetapi kelakuan dan sepak terjangnya malah sangat bertentangan dengan Ayat-ayat Al Quran. 

Sementara itu, di antara para ahli kitab atau pewaris kitab yang mengajarkan kebaikan dan kebajikan, ada banyak yang konsisten dalam berjuang mengamalkan kebajikan yang didalaminya. Atas kedua kelompok ini, bagi umat Muslim, orang yang mengaku Muslim, tetapi sepak terjangnya bertentangan dengan ajaran Al Quran, lebih besar mudhorotnya daripada manfaatnya. Sedang umat agama lain yang masih beriman pada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu berlaku baik dan bajik, hendaklah diperlakukan secara baik, karena Allah pun menghargai segala kebaikan dan kebajikan mereka. Tetapi memang, bagi umat Muslim dalam memilih seorang pemimpin, idealnya memilih yang beriman kepada Allah semata dan penegak kebaikan dan kebajikan, yang bukan semata menegakkan aturan agama yang diartikan secara sempit. Idealnya, pemimpin yang auliya bagi umat Muslim adalah pemimpin yang beriman pada Allah semata, arid bijaksana, adil, berperikemanusiaan, menghargai HAM, tidak punya kesalahan dan tindak kejahatan, serta sangat agamis atau taat pada aturan-aturan agamanya.

Jadi, kalau dilihat dari dua figur, umpama yang maju jadi pemimpin adalah Pak Ahok dan Pak Rizieq Shihab, sebagai Muslim saya lebih memilih Pak Ahok, karena saya agak yakin Pak Ahok lebih beriman kepada Allah dan punya semangat menegakkan kebaikan dengan cara dan jalur yang benar daripada Pak Rizieq Shihab. Bagi saya, Pak Rizieq Shihab tidak lebih dari tukang jual agama dengan imbalan dukungan padahal pengertian agamanya dipersempit oleh dirinya sendiri, sehingga tak bisa memimpin apalagi membimbing masanya.

Itu adalah penilaian saya pribadi, masyarakat boleh menerima, boleh tidak, boleh punya penilaian berbeda dengan penilian pribadi saya itu. Tetapi secara obyektifnya, dengan berusaha menyerang kesana-kemari, tampak sangat jelas ke mana arah angin yang dibawa Pak Rizieq. Soal isu agama dan kultural yang dibawanya, di Jaman Presiden SBY Pak Rizieq dan FPInya sudah pernah selalu melakukan sweeping-sweeping dengan tanpa hak menggunakan kekerasan. Yang paling mencolok, mereka menggebuki masa pendukung aksi kebangsaan pada 1 Juni 2008 di Monas. Soal isu PKI yang mereka hembuskan, mungkin karena dia dekat dengan keturunan Pak Sarwo Edi, yang dihantui PKI, maka jadi tertular ke arah situ. 

Tetapi memang, Presiden Jokowi di awal kekuasaannya sudah menyinggung soal pengusutan kejahatan HAM, juga secara khusus minta maaf kepada para korban keganasan Orde Baru pada oknum PKI dan keturunannya, maka pemerintahan yang berkuasa sekarang membuka peluang penyerangan ke arah itu. Dan bila dikait-kaitkan, semua akan bermuara di satu titik, yaitu Pilkada DKI. Tidak berhasil membawa-bawa atnis dan keturunan, karena Pak Ahok adalah keturunan Tionghoa, disangkut-pautkan antara orang-orang Cina dan keterlibatannya dengan PKI di jaman Orde lama.

Karena itu, soal ini masyarakat harus benar-benar jeli. Hal yang paling pokok untuk diperhatikan dalam Pilkada Jakarta adalah siapa atau mana pasangan calon pemimpin yang tujuannya benar-benar ingin membangun Jakarta, programnya jelas, dan sanggup memimpin dan menata Jakarta jadi masyarakat yang beradab, adil, dan makmur, serta tidak ruwet atau pantas dijadikan suri teladan bagi seluruh daerah di Indonesia, itulah yang seharusnya memimpin Jakarta. 

Akan tetapi, soal siapa pemimpin DKI yang jadi nanti, masyarakat Jakarta sendirilah yang harus menentukan kekasih, kawan karib, pemimpin, penopang keadilan dan kesejahteraannya, serta pemuka dan wali mereka. Siapapun yang mereka pilih, sesungguhnya menunjukkan karakter dan pribadi mereka sendiri. Dan siapapun yang mereka pilih, hendaknya selalu dikawal dan dipantau terus jalannya kepemimpinannya, agar tidak terjadi penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Dan terakhir, soal kepentingan yang lebih besar, tentang adanya dugaan bercokolnya ekstrem kiri dan ekstrem kanan di negeri ini, baik di dalam pemerintahan maupun di masyarakat secara luas, kalau memang ada yang berindikasi mau mendirikan negara komunis atau negara Arab di negeri ini dan itu membahayakan keutuhan NKRI dan Pancasila, maka harus diredam dan cepat ditindak bila diperlukan. 

Bagaimanapun juga, negeri ini telah Diridhoi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, sebagai NKRI dan Pancasila sebagai dasarnya. Dan NKRI dengan Pancasila sebagai dasar negara sudah jelas tidak bertentangan bahkan sejalan dengan kepercayaan dan aturan agama apapun. Karena itu, NKRI dan Pancasila adalah harga mati bagi bangsa dan negara ini.

Semoga tulisan ini jadi eksekusi yang pas dan tuntas untuk kasus penistaan agama yang masih bergulir, tetapi tertindih-tindih oleh kasus lainnya. Ayo kita jadikan basi trik politik menyelesaikan kasus dengan gelontoran kasus-kasus yang lain. Sudah saatnya orang Indonesia bisa menyelesaikan masalah dengan tuntas dan tak menyisakan masalah, apalagi menambah-nambah masalah. Jadi meskipun masalah di negeri ini banyak, tetapi harus tetap diurai tuntas dan jangan dicampur aduk.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun