Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah suatu upaya sistematis dan terpadu yang ditujukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup serta mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Ini mencakup berbagai tahapan, mulai dari perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, hingga penegakan hukum.Â
Gagasan tentang hukum lingkungan sejatinya berfungsi sebagai koreksi terhadap berbagai kesalahan yang telah terjadi di masyarakat, baik di negara maju maupun negara berkembang. Terutama, ini berkaitan dengan praktik industrialisasi yang awalnya tampaknya berjalan tanpa pembatasan yang memadai.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum lingkungan pada tahun 2015, sejumlah 141 kasus telah ditangani, dan hingga bulan Desember 2015, sebanyak 118 kasus telah diselesaikan.Â
Penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan pada tahun tersebut dibagi menjadi lima tipologi utama, yaitu pembalakan liar, perambahan hutan, peredaran tumbuhan dan satwa liar ilegal (TSL), pencemaran lingkungan, dan kebakaran hutan dan lahan.
Namun, ketika kita merenungkan data ini, kita menyadari bahwa situasi lingkungan hidup yang semakin memprihatinkan adalah hal yang sangat nyata. Banyak tindakan yang dapat dianggap merusak dan mencemari lingkungan hidup.Â
Dengan mempertimbangkan hal ini, tampaknya penegakan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana lingkungan hidup masih menghadapi berbagai kendala dan kegagalan yang perlu segera diatasi.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) mengatur ketentuan pidana dalam Bab XV tentang Ketentuan Pidana. Dalam konteks ketentuan pidana UUPPLH, beberapa analisis dapat diuraikan sebagai berikut:
Undang-Undang ini menerapkan pendekatan hukum pidana dengan merumuskan delik materiel dan delik formil. Delik materiel berfokus pada akibat dari suatu perbuatan yang dilarang, seperti pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.Â
Di sisi lain, delik formil menekankan pada perbuatan seperti pelepasan atau pembuangan zat, energi, dan komponen berbahaya dan beracun yang dapat mencemari lingkungan. UUPPLH berusaha untuk menangani berbagai jenis tindakan yang merugikan lingkungan.
Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) mengakui bahwa tindak pidana lingkungan hidup dapat melibatkan individu ("setiap orang") dan juga korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dapat bertanggung jawab.Â
Undang-Undang ini menetapkan aturan pertanggungjawaban pidana korporasi dan mengatur bahwa tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh badan usaha dapat mengakibatkan tuntutan pidana dan sanksi pidana yang ditujukan kepada badan usaha, individu yang memberi perintah, atau orang yang memimpin tindakan tersebut. Bahkan, dalam beberapa kasus, badan usaha dan individu dapat dikenakan sanksi bersama-sama.
Di samping itu, Undang-Undang Cipta Kerja hadir mengakibatkan penurunan dan pengurangan otonomi daerah karena beberapa kewenangan pemerintah daerah telah ditarik kembali ke pemerintah pusat. Beberapa aspek yang terkena dampaknya termasuk perizinan, perencanaan tata ruang, pengelolaan lingkungan hidup, dan berbagai bidang lainnya.Â
Salah satu contoh konkret adalah UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang telah mengalami perubahan signifikan sebagai akibat dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Beberapa ketentuan dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 telah mengalami revisi, penghapusan, dan penetapan ketentuan baru melalui UU Cipta Kerja.
Penerbitan Undang-Undang Cipta Kerja telah mengubah pandangan terkait penataan ruang, yang sekarang lebih bersifat sentralistik daripada pendekatan sebelumnya yang diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007.Â
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, peraturan mengenai tata ruang yang berlaku di seluruh Indonesia merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.Â
Namun, setelah berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja, berbagai aturan yang termuat dalam UU No. 26 Tahun 2007 telah diubah, sehingga seakan membatasi kewenangan pemerintah daerah dalam perencanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian ruang yang berada di wilayahnya.
Perubahan ini menciptakan ketegangan dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sementara juga memengaruhi bagaimana otonomi daerah dan regulasi lingkungan hidup diterapkan di tingkat lokal.Â
Dengan perubahan tersebut, kendali lebih kuat berada di tangan pemerintah pusat, yang berpotensi memiliki dampak yang signifikan pada pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan lingkungan hidup di tingkat daerah.
Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana lingkungan hidup melibatkan subjek hukum baik individu ("orang") maupun korporasi (badan hukum atau badan usaha). Sanksi pidana diterapkan secara kumulatif dan bersifat kaku dan imperatif, yaitu pidana penjara dan denda.Â
Ancaman pidana yang dikenakan sama baik untuk pelaku perorangan maupun korporasi. Namun, peraturan tidak mengatur ketentuan khusus mengenai pidana pengganti untuk denda yang tidak dibayar. Pertanggungjawaban pidana untuk korporasi tidak dijelaskan dengan jelas, termasuk kapan korporasi dapat dianggap melakukan tindak pidana dan bagaimana pertanggungjawaban pidana dapat diterapkan.
Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana lingkungan hidup saat ini menghadapi beberapa masalah, termasuk duplikasi norma hukum pidana yang menyebabkan ancaman sanksi yang berbeda untuk perbuatan yang serupa. Selain itu, tidak ada keseragaman dalam pengaturan subjek tindak pidana, terutama dalam hal subjek tindak pidana korporasi. Selain itu, ada kebijakan yang belum merumuskan kualifikasi delik, apakah perbuatan tersebut merupakan kejahatan atau pelanggaran.
Untuk mencapai harmonisasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana lingkungan hidup di masa yang akan datang, perlu dilakukan rekodifikasi norma hukum pidana lingkungan hidup yang terdapat dalam berbagai Undang-Undang, diintegrasikan ke dalam KUHP atau kode pidana yang berlaku saat ini. Kebijakan hukum sebaiknya dirumuskan dengan jelas dalam pasal-pasal yang mengatur bentuk tindak pidana lingkungan dan kapan tindak pidana tersebut terjadi.Â
Dengan mempertimbangkan korporasi sebagai subjek tindak pidana, perlu ada ketentuan khusus yang mengatur kapan dan bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan.Â
Sanksi pidana sebaiknya dirumuskan dengan cara alternatif/pilihan dan memasukkan jenis pidana yang bertujuan memulihkan fungsi ekosistem yang rusak akibat pencemaran/perusakan lingkungan. Selain itu, perlu mempertimbangkan biaya sosial dan ekonomi sebagai ongkos sosial yang harus digantikan oleh pelaku tindak pidana.
Pembaruan hukum yang menyeluruh menjadi suatu kebutuhan mendesak untuk membentuk sistem pemidanaan yang utuh dalam penanggulangan tindak pidana lingkungan hidup di Indonesia.Â
Kode Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) harus ditempatkan dalam konteks pembaruan hukum yang mencakup semua aspek yang terkait dengan kebijakan dan peraturan lingkungan hidup.Â
Dengan demikian, KUHP di masa yang akan datang dapat menjadi landasan hukum yang komprehensif untuk menangani tindak pidana lingkungan hidup dikarenakan pada aspek ekonomi, seperti biaya pemulihan lingkungan dan kerugian ekonomi yang ditimbulkan.Â
Oleh karena itu, dengan menggolongkan tindak pidana lingkungan sebagai tindak pidana ekonomi, sistem pemidanaan dapat lebih efektif dalam mengenakan sanksi kepada pelaku yang merusak lingkungan, sekaligus menggantikan biaya sosial dan ekonomi yang timbul akibat perbuatan mereka.
Selain itu, penting untuk dicatat bahwa Undang-Undang Cipta Kerja turut mempersulit pencegahan dan penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia. Hal ini karena perubahan dalam regulasi tersebut dapat mengurangi kewenangan daerah dalam mengatur tata ruang dan lingkungan hidup di wilayah mereka.Â
Dengan penekanan pada sentralisasi keputusan, pemerintah daerah memiliki sedikit ruang untuk mengambil tindakan yang sesuai dengan kondisi lingkungan hidup setempat.Â
Dampaknya, penegakan hukum lingkungan hidup di tingkat daerah dapat menjadi lebih rumit, dan pengawasan terhadap tindakan yang merugikan lingkungan mungkin menjadi lebih sulit.
Melalui kritik dan kesadaran, kita dapat membangun fondasi hukum yang kuat untuk melindungi dan melestarikan lingkungan hidup, sekaligus memberikan sanksi yang sesuai kepada pelaku tindak pidana lingkungan.Â
Dengan begitu, diharapkan bahwa pembaharuan hukum pidana di ranah lingkungan hidup akan menjadi alat yang lebih efektif dalam menjaga keberlanjutan lingkungan hidup di tanah air tercinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H