Undang-Undang ini menetapkan aturan pertanggungjawaban pidana korporasi dan mengatur bahwa tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh badan usaha dapat mengakibatkan tuntutan pidana dan sanksi pidana yang ditujukan kepada badan usaha, individu yang memberi perintah, atau orang yang memimpin tindakan tersebut. Bahkan, dalam beberapa kasus, badan usaha dan individu dapat dikenakan sanksi bersama-sama.
Di samping itu, Undang-Undang Cipta Kerja hadir mengakibatkan penurunan dan pengurangan otonomi daerah karena beberapa kewenangan pemerintah daerah telah ditarik kembali ke pemerintah pusat. Beberapa aspek yang terkena dampaknya termasuk perizinan, perencanaan tata ruang, pengelolaan lingkungan hidup, dan berbagai bidang lainnya.Â
Salah satu contoh konkret adalah UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang telah mengalami perubahan signifikan sebagai akibat dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Beberapa ketentuan dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 telah mengalami revisi, penghapusan, dan penetapan ketentuan baru melalui UU Cipta Kerja.
Penerbitan Undang-Undang Cipta Kerja telah mengubah pandangan terkait penataan ruang, yang sekarang lebih bersifat sentralistik daripada pendekatan sebelumnya yang diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007.Â
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, peraturan mengenai tata ruang yang berlaku di seluruh Indonesia merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.Â
Namun, setelah berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja, berbagai aturan yang termuat dalam UU No. 26 Tahun 2007 telah diubah, sehingga seakan membatasi kewenangan pemerintah daerah dalam perencanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian ruang yang berada di wilayahnya.
Perubahan ini menciptakan ketegangan dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sementara juga memengaruhi bagaimana otonomi daerah dan regulasi lingkungan hidup diterapkan di tingkat lokal.Â
Dengan perubahan tersebut, kendali lebih kuat berada di tangan pemerintah pusat, yang berpotensi memiliki dampak yang signifikan pada pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan lingkungan hidup di tingkat daerah.
Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana lingkungan hidup melibatkan subjek hukum baik individu ("orang") maupun korporasi (badan hukum atau badan usaha). Sanksi pidana diterapkan secara kumulatif dan bersifat kaku dan imperatif, yaitu pidana penjara dan denda.Â
Ancaman pidana yang dikenakan sama baik untuk pelaku perorangan maupun korporasi. Namun, peraturan tidak mengatur ketentuan khusus mengenai pidana pengganti untuk denda yang tidak dibayar. Pertanggungjawaban pidana untuk korporasi tidak dijelaskan dengan jelas, termasuk kapan korporasi dapat dianggap melakukan tindak pidana dan bagaimana pertanggungjawaban pidana dapat diterapkan.
Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana lingkungan hidup saat ini menghadapi beberapa masalah, termasuk duplikasi norma hukum pidana yang menyebabkan ancaman sanksi yang berbeda untuk perbuatan yang serupa. Selain itu, tidak ada keseragaman dalam pengaturan subjek tindak pidana, terutama dalam hal subjek tindak pidana korporasi. Selain itu, ada kebijakan yang belum merumuskan kualifikasi delik, apakah perbuatan tersebut merupakan kejahatan atau pelanggaran.