Mohon tunggu...
Yunus SeptifanHarefa
Yunus SeptifanHarefa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku Indah Tapi Tak Mudah

Berkarya untuk Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memberantas Korupsi, Mulai dari Lingkaran Keluarga

17 Maret 2018   07:00 Diperbarui: 17 Maret 2018   07:51 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.aktual.com

Korupsi. Kata itu tidak asing lagi di telinga kita. Menjadi populer bukan karena negara kita sudah terbebas dari perbuatan semacam itu. Sebaliknya, karena banyak pejabat yang sudah tertangkap menjadi pelakunya.

Korupsi adalah masalah bangsa yang kompleks. Bukan lagi sekadar persoalan hukum, tetapi telah menjadi sebuah kebudayaan. Berakar dan bercabang di seluruh lapisan masyarakat. Keberadaannya tidak terbatas hanya dalam organisasi sekuler saja. Organisasi yang berdiri atas nama agama pun tak luput dari yang namanya "korupsi".

Korupsi seperti sebuah penyakit menular. Tidak peduli pekerjaan, status, gender, dan usianya. Semua orang seperti tak punya daya untuk menahan serangan virus korupsi. Bukan hanya politikus yang bisa melakukannya. Kaum agamais juga banyak yang tertangkap melakukannya. Tokoh agama yang seharusnya memberi teladan juga terjebak dalam perbuatan seperti ini. Sekolah yang seharusnya mendidik juga banyak yang terperangkap dalam budaya yang korup. Praktik suap-menyuap, sogok-menyogok, atau tipu-menipu sudah menjadi "kebudayaan".

Kebudayan tersebut malah telah berupaya menoleransi perbuatan korupsi itu sendiri. Korupsi dipahami sebagai perbuatan mencuri, menggelapkan, atau menyuap. Maka kebudayaan korupsi membatasi definisi tersebut hanya untuk orang-orang yang "tertangkap" melakukannya. Artinya, selama pelaku belum tertangkap, perbuatan semacam itu belum disebut korupsi. Tentu saja ini salah besar. Tidak peduli sudah tertangkap atau belum, korupsi tetaplah korupsi.

Pemerintah sudah memberlakukan berbagai hukum untuk mencegahnya. Tetapi, aturan-aturan semacam itu tampak hanya menjadi obat bius yang bertahan beberapa lama. Setelah itu, kembali seperti biasa. Korupsi lagi, korupsi lagi, dan korupsi lagi.

Dalam menanggapi masalah seperti ini, diam bukan lagi solusi terbaik. Semua lapisan masyarakat harus ikut serta dalam penanggulangannya. Memberantas korupsi bukan hanya tugas pemerintah. Ini adalah tugas kita bersama.

Pemberantasan virus-virus korupsi harus dimulai sedini mungkin, sehingga penyakit ini tidak sampai menyebar kemana-mana. Dalam hal ini, lembaga pertama yang dapat menjadi wadah untuk menanamkan nilai-nilai anti korupsi adalah "keluarga". Di dalam keluarga, seorang pemimpin politik pertama kali dibentuk. 

Di dalam keluarga, seorang tokoh agama pertama kali mendapatkan pengajaran. Di dalam keluarga, seorang pengusaha sukses mengalami pertumbuhan. Semuanya dimulai dalam keluarga. Jika nilai-nilai anti korupsi itu tidak ditanamkan dalam keluarga, bisa tebak seperti apa masa depan si anak?

Jika semua orang tua berkomitmen untuk menanamkan nilai-nilai anti korupsi kepada anak-anaknya sejak dini, niscaya akan terbentuk generasi bangsa yang memiliki daya tahan kuat untuk melawan serangan virus-virus korupsi itu. Namun, realitas di dalam keluarga malah berkata yang lain. 

Sadar atau tidak, banyak keluarga yang malah menanamkan nilai-nilai pro korupsi di dalam keluarganya sendiri. Pola didikan yang tidak tepat itulah, yang akhirnya membentuk generasi bangsa yang rusak.  Berikut ini adalah 7 pola didikan orang tua dalam keluarga, yang malah secara sengaja membentuk generasi koruptif.

1. Orang Tua Ber"uang"

Pada awalnya, orang tua sering berpikir bahwa memanjakan adalah cara untuk mengasihi anak. Segala sesuatu yang "diminta" oleh anak dipenuhi, tanpa bertanya apakah yang diminta itu dibutuhkan atau tidak. Uang sering sekali menjadi jawaban atas segala permintaan dari anak. Lalu, apakah ini salah? Tentu saja jawabannya, orang tua punya cara masing-masing untuk mengasihi anak-anaknya.

Namun, sadar atau tidak, cara seperti ini malah sedang menanamkan nilai-nilai koruptif pada diri anak. Ketika uang selalu menjadi solusi atas keinginannya, jangan heran kalau anak bertumbuh dan selalu mengandalkan uang untuk mendapatkan yang ia inginkan. Mengandalkan uang menumpulkan daya  juang, sehingga dalam pikiran si anak, semua masalah dapat diatasi hanya dengan uang.

Ingin masuk ke sekolah favorit, bukan otak yang diandalkan, tapi uang. Ingin mendapatkan pekerjaan bagus, bukan kemampuan yang diutamakan, tapi uang. Semua masalah bisa diselesaikan dengan uang, uang, dan uang. Karena itu, jangan heran, jikalau pola didikan semacam ini membentuk generasi bangsa yang tak lagi punya keengganan untuk melakukan praktik suap-menyuap. Segala cara dibenarkan agar yang diinginkannya dapat tercapai. Bukankah semuanya dimulai dari keluarga?

2. Orang Tua yang Pelit

Ekstrem lain dari memanjakan anak adalah orang tua yang terlalu pelit. Banyak orang tua berpikir bahwa pelit adalah salah satu disiplin untuk membuat anak bisa lebih berhemat. Tetapi masalahnya, orang tua kadang tidak sadar bahwa hemat dan pelit itu beda tipis. Apa yang diminta anak tidak diberikan, meski hal yang diminta itu sangat dibutuhkan oleh anak. Alasannya bukan karena tidak mampu, tetapi karena orang tuanya memang terlalu pelit. 

Misalnya saja, sepatu anak sekolah sudah robek dan tidak layak pakai, ia meminta ganti pada orang tuanya, tetapi orang tuanya tidak mau menggantinya, karena alasan masih belum waktunya. Padahal, uang ada. Saat itu, mungkin anak tidak akan protes. Tetapi, yang pasti ia akan menyimpan keinginan itu.

Keinginan-keinginan yang tidak terwujud itu akan terus bertambah seiring usianya bertambah.  Pada waktu ia dewasa, jika tidak diatasi, keinginan-keinginan yang sudah lama terpendam itu, akan berubah menjadi ambisi yang tidak bisa dibendung. Terlebih, ketika si anak bekerja di "tempat basah" , ia bisa jadi beringas untuk memenuhi keinginannya.  Ambisi yang tak terbendung inilah yang sering sekali menjadi akar dari tindakan korupsi. Para koruptor menjadi rakus dan buas demi memenuhi keinginan mereka. Sepertinya, ada hal yang tidak terpuaskan dalam diri mereka, sehingga mereka ingin lagi, lagi, dan lagi. Bukankah semuanya dimulai dari keluarga?

3. Orang Tua Pilih Kasih

Pilih kasih tidak akan pernah membuahkan hasil yang baik. Kita ingat bersama kisah Yakub dan Esau. Kedua orang tuanya (Ribka dan Ishak) memperlakukan secara berbeda anaknya.  Ribka lebih mengasihi Yakub, sedangkan Ishak lebih mengasihi Esau. Hasil dari pilih kasih itu tidak pernah memberi buah yang baik. Membeda-bedakan anak berdasarkan kebutuhan membawa anak pada perilaku-perilaku koruptif. Perilaku pertama, Yakub menjadi penipu dan akhirnya malah berujung pada dendam antara kakak beradik. Esau menjadi marah besar kepada adiknya.

Mental penipu itu dimulai dari pilih kasih yang dilakukan oleh orang tua.  Ketika orang tua tidak adil dalam mengasihi anak, maka sama artinya kita sedang membentuk mental korup dalam diri mereka. Anak yang dikasihi berlebihan bisa menjadi anak yang sombong dan melakukan sesukanya. Sedangkan, anak yang menjadi korban pilih kasih, akan bertumbuh dalam rasa iri. Buahnya, bisa dalam bentuk persaingan-persaingan yang tidak wajar.  Ia ingin menjadi lebih hebat dibanding orang lain. Ia tidak ingin dianggap remeh.

Bisa jadi, para koruptor menjadi sangat buas dalam memperbanyak kekayaan, karena tidak ingin kalah dari orang lain. Mereka ingin dikatakan hebat dan kaya. Akhirnya, korupsi pun dilakukan sebagai cara cepat untuk melakukannya.  Sekali lagi, semuanya dimulai dari dalam keluarga.

4. Orang Tua Tidak Disiplin

Waktu itu hari Minggu, seorang anak datang terlambat ke sekolah Minggu. Dia berlari-lari, dan masuk ke dalam kelas. Saya mencegatnya dan menyalaminya, lalu saya bertanya, "kenapa kamu terlambat?" Dengan lugu ia menjawab, "papa telat bangun lause".  Setelah itu, saya langsung membukakannya pintu dan ia masuk ke dalam. 

Jika orang tua tidak pernah menghargai waktu, bagaimana anak disuruh untuk disiplin terhadap waktu? Pola didikan yang tidak disiplin waktu ini membentuk pribadi yang tidak baik dalam diri anak. Dengan pola seperti ini ia akan bertumbuh menjadi  anak yang akhirnya sering melalaikan waktu. Ia akan menjadi menganggap remeh hal-hal kecil. Ketika ia besar dan bekerja, ia akan menjadi orang yang datang sesuka hatinya. Tidak ada lagi keengganan untuk telat. Ia sesuka hatinya mengorupsi waktu. Bukankah semuanya dimulai dari keluarga?

5. Orang Tua Menghukum Tanpa Mendidik

Orang tua sering sekali menjadikan hukuman fisik sebagai cara untuk mendidik anaknya. Tapi, hal yang sering dilupakan adalah , "Apakah hukuman itu mendidik atau tidak?"  Orang tua terkadang berhenti hanya pada hukuman fisik, dan lupa untuk menanamkan nilai. Ketika yang diterima oleh anak hanya sekadar hukuman-hukuman fisik tanpa nilai.

 Akhirnya ia bertumbuh menjadi seorang pemberontak. Kalau dianggap hukuman membuat anak patuh pada aturan. Itu salah. Yang saya tahu, orang yang dihukum terus menerus, akan menjadi orang yang tidak pernah patuh pada aturan. Demikianlah, para koruptor itu bisa disebut sebagai orang-orang yang memberontak terhadap hukum. Mereka tahu ada hukum yang melarang, termasuk segala konsekuensinya. Tetapi, mereka tetap saja melakukannya.

6. Orang Tua yang Egois

Koruptor itu tidak pernah peduli dengan orang lain. Mereka hanya memikirkan perut mereka sendiri. Mereka tidak mau tahu apakah orang-orang miskin di luar sana mati kelaparan. Tidak ada rasa belas kasih. Mereka sengaja memperkaya diri mereka, untuk kepentingan pribadi. Mental seperti ini sudah dimulai dari keluarga-keluarga yang terlalu mendidik anak-anaknya menjadi individualis. Anaknya dilarang untuk bergaul dengan teman-temannya. Hanya belajar dan bekerja, lalu mendapat uang. 

Akibatnya, anak yang lahir dari bentukan seperti ini menjadi anak yang tak lagi punya sisi kemanusiaan. Ia akan bertumbuh menjadi pribadi yang egois dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Tidak ada rasa peduli pada merek ayang membutuhkan. Semuanya untuk aku, aku, dan aku.

7. Orang Tua yang Tidak Bertanggung Jawab

Terakhir adalah tentang tanggung jawab. Siapa yang bertanggung jawab memberi pendidikan kepada anak? Keluarga? Sekolah? Atau Agama? Ya, semuanya punya bagian masing-masing. Tetapi, yang memiliki peranan besar adalah keluarga. Secara khusus orang tua. Namun, yang jadi masalah, orang tua sering sekali abai terhadap tugas ini. Banyak orang tua melempar tanggung jawab mendidik anak sejak kecil kepada pihak lain. 

Padahal mengajarkan nilai tentang anti korupsi, harus sudah diajarkan sejak masih bayi. Jika orang tua, tidak memainkan perannya dalam menanamkan nilai-nilai yang kuat kepada anak, maka lahirlah generasi tanpa nilai.  Para koruptor bertumbuh menjadi koruptor, karena nilai-nilai dasar yang tak terbangun dalam diri mereka. Akibatnya, mereka dengan mudah mencuri apa yang bukan menjadi milik mereka. Karena itu, orang tua lakukanlah tugasmu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun