Jujur, saya tidak terlalu berminat membaca berita-berita yang berseliweran di media online. Terlalu berantakan, sumpek. Â Dengan berbagai kesibukan yang saya jalani, rasanya tidak mungkin saya melahap seluruh berita online tersebut. App Berita Kurio seperti ingin menjawab kegundahan saya, bagaimana saya bisa tetap membaca, dan menyimpan berita tersebut ketika kesibukan kerja melanda. Â
Unik. Itulah kesan pertama saat membuka App Kurio. Kurio mengambil celah yang luput dari perhatian kita. Media online terus bertambah, namun tiada satupun orang/kelompok yang menyensor (hoax atau bukan), dan kemudian dipilah berdasarkan selera dan minat seseorang. Â
Apakah berarti saya sudah dianggap Kurior, pengikut App Kurio. Kurior, penamaan tambahan bagi pengikut Kurio. Siapa yang punya rasa ingin tahu, berarti telah maju satu langkah mendekati langkah berikutnya, yakni: kepedulian. Jika Warrior, yakni ksatria di medan perang, maka Kurior, yakni ksatria di medan online.Â
Dalam rubrik "Jangan Lewatkan" terdapat bacaan segar yang bisa merefresh penat, meskipun bersifat santai, namun tetap terjaga aktualitasnya. Sebagai contoh, pada tanggal 11 september misalkan, Kurio menayangkan sebuah judul "Jokowi: Saya Banyak Terima Aduan Masyarakat Gara-gara Raisa Menikah" (sumber: regional.kompas.com). Siapa Raisa? Apa yang diadukan masyarakat kepada Jokowi? Apa pentingnya Jokowi menyebut nama Raisa? Bagi anak SD, apa Raisa punya hubungan spesial dengan Jokowi. Â
Per hari ini pun (12 September), "Perempuan Muslim Jadi Presiden Singapura" (sumber: viva.co.id), apa menariknya berita ini bagi Indonesia. Berita baik bagi kalangan feminis, berita baik bagi Dunia Islam, dan berita baik pula bahwa di negeri mayoritas Budha (33 %), ada pemimpin muslimah pertama di Singapura setelah Yusof Ishak pada tahun 1965 dan 1970 yang menduduki kursi kepresidenan. Â
Â
Membaca tidak cukup membaca, twit gambar hoax yang disampaikan oleh Tifatul Sembiring tentang genosida terhadap muslim Rohingya di Myanmar menjadi bukti bahwa hoax tidak hanya menyasar kalangan awam, bahkan intelektual pun, bisa terkena virus hoax dengan taburan berbagai prasangka yang berdampak pada sifat menghakimi dan menyimpulkan tanpa berpikir ulang (tabayyun atau cek dan ricek) terhadap kelompok tertentu. Masalah tersebut menjadi pelajaran penting bahwa iklim demokrasi akan lebih banyak dirusak bukan oleh orang bodoh, namun intelektual yang keliru dalam menyikapi sesuatu dan diamini oleh pengikutnya. Saya sangat sepakat jika hoax bukan bagian dari demokrasi, namun justru mencederai demokrasi.
Menurut laporan Kominfo terbaru, jumlah aduan dari Januari hingga Juli 2017menginformasikan bahwa konten negatif yang paling banyak dilaporkan adalah seputar SARA dan ujaran kebencian. Laporan mencatat, aduan terkait hoax dan sara menjadi yang paling banyak dilaporkan. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, aduan keduanya melampaui pornografi (sumber: https://goo.gl/qp8YYj). Hal ini menjadi celah bagi Kurio untuk menahan gempuran Hoax. Benar kata Soekarno, bahwa melawan penjajah lebih sulit daripada melawan penjajah di negeri sendiri. Penebar hoax adalah penabuh genderang perang. Mengadu domba, dan menghalalkan segala cara demi tujuan tertentu. Devide et impera ternyata bukan hanya terjadi di zaman Belanda menjajah Indonesia.
Tumbuhnya Gen Z (lahir 1995-2010) yang akan menggantikan Gen X dan Y di masa depan, memiliki pola belajar dan pola interaksi sosial yang berbeda dari Gen sebelumnya. Mereka dikenal sebagai "Digital Natives" yang  terkoneksi hampir setiap jam untuk membuat komunitas pertemanan,  berbagi ide, hobi, dan berbagai informasi lainnya.
Dengan rasa ingin tahu terhadap sekitarnya (isu-isu di daerah), menjadikan Gen Z, tetap berpikir global, mengikuti tren global, bermain bersama monster-monster di game online, Â namun tanpa alpa memperhatikan lokalitas. Kurio sangat memperhatikan darimana asal muasal berita/bacaan (konten) lokal tersebut. Di daerah miskin sinyal (atau data sedikit, bisa hemat) pun informasi bisa didapat karena fitur, tampilan, serta navigasi yang minimalis dan sederhana.
Konsistensi Kurio merupakan keniscayaan. Kurio harus memastikan bahwa konten berita/bacaan dapat menopang nutrisi kebutuhan Gen Z yang mewakili pergeseran Gen terbesar tempat kerja yang pernah terlihat sebelumnya pada Gen milenial. Gen Z akan menghadirkan tantangan besar bagi para pemimpin, manajer, supervisor, pemimpin, dan pendidik di setiap sektor tenaga kerja. Â
Kehadiran Kurio menjadi bagian penting dalam memproyeksi gagasan besar industri berita digital di masa depan, terlebih platform yang dibawa pemerintahan Jokowi saat ini, yakni Revolusi Mental, Nawa Cita ke-8, Â Membangun Revolusi Karakter Bangsa. Kurio menyegarkan dahaga yang "kering" karena pemberitaan yang tidak etis, "menyerang", dan sering kali tidak berimbang. Dalam membangun Indonesia, tanpa karakter, akan tumbuh generasi yang gampang tersinggung dan reaktif.Â
Begitupula, dengan demokrasi yang melibatkan jejaring sosial seperti facebook, twitter, path, dan lain sebagainya, menjadi tantangan yang tak boleh dianggap remeh temeh. Inilah mengapa Kurio, sebagai salah satu pemain dalam industri digital, saya anggap sebagai utusan khusus dari Gen Z di masa depan, sebagaimana Doraemon yang dikirim dari masa depan untuk memperbaiki perangai Nobita yang tidak baik, seperti malas, manja, tidak disiplin, dan lainnya, dan menjadi pribadi yang bertanggung jawab.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H