Mohon tunggu...
Ivana Monica
Ivana Monica Mohon Tunggu... -

A third-year business student. One of the Global Korean Scholarship 2014 recipients to SolBridge University in South Korea.\r\nBinus Exchange Scholarship 2015 recipient to Kyung Hee University. A music teacher and a blogger; as well as a member of WoW Korea Supporters 2015 held by the Korea Tourism Organization in Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Koko Cici, Piye Kabare?

27 Februari 2016   21:03 Diperbarui: 28 Februari 2016   19:28 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(photo courtesy of: www.123rf.com)

“Cik[1], lu orang mana sih?”

“Orang Jawa.”

“Boong ah, wong jelas-jelas mata lu sipit gitu. Pasti orang Medan ya? Atau Pontianak?”

“Keluarga gw semua dari Jawa Tengah kok. Bokap gw orang Jepara, nyokap gw orang Blora. Gw lahir di Semarang. Kurang Jawa apalagi?”

“Tapi lu ga ada Jawa-Jawanya sedikitpun ah! Dirumah pasti ngomongnya bahasa Mandarin ya lu?”

”Enggak kok. Meski udah lama tinggal di Jakarta, tapi bokap nyokap masih pakenya bahasa Jawa”

“Coba jawab gw kalo gitu. Ci, piye kabare[2]?

wong iki dikandani pirang kali ok sih ngeyel. Wes sak karepmu ngono lah emboh aku!”[3]

Sepenggal percakapan diatas adalah percakapan riil yang terjadi di kehidupan nyata, bahkan sering saya temui selama ini. Banyak orang masih berpikir bahwa orang Tionghua yang tinggal di Indonesia pasti berasal dari Medan, Pontianak, atau asli Jakarta; dan mereka pasti berbicara dalam bahasa dialek atau bahasa Indonesia. Telinga ini masih tergelitik rasanya jika mendengar seseorang yang secara fisik adalah orang Tionghua, lengkap dengan mata sipit dan kulit kuning, tetapi ketika berbicara malah lancar berbahasa Jawa lengkap dengan aksen medoknya.

Ya, sebagai keluarga keturunan Tionghua asal Jawa Tengah yang sekarang sudah lama tinggal di Jakarta, ungkapan rasa tidak percaya seperti itu masih kerap saya dengar sehari-hari. Tidak jarang teman-teman saya tergelak ketika mendengar saya berbicara dalam bahasa Jawa, atau ketika melihat orangtua saya dengan fasihnya mengobrol dalam bahasa Jawa medok. Mereka biasanya akan berkomentar “wah, orangtuamu hebat juga ya bisa lancar begitu.” Padahal, bahasa pertama orangtua saya ya adalah bahasa Jawa. Mereka lahir, besar, dan mengenyam pendidikan di Jawa. Ayah saya bahkan bisa mengerti dan berbahasa Jawa Kromo Inggil (Jawa Halus).

Keluarga oma opa saya bahkan tidak terlalu menggunakan ramalan "feng shui" dan zodiak Cina dalam kehidupan sehari-hari. Mereka malah menggunakan perhitungan Weton yang didasari oleh kalender Jawa. Weton adalah kombinasi hari lahir dan kalender Jawa yang kemudian menghasilkan angka tertentu. Angka weton inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk meramal nasib seseorang seperti karir, watak, maupun jodoh.

Negeri Indonesia memang begitu menakjubkan. Karena terdiri dari banyak pulau, otomatis ras-tradisi-bahasa dan agama yang ada juga berbeda satu sama lain. Kaya akan budaya. Kaya akan keberagaman. Sampai muncullah istilah Bhinekka Tunggal Ika: Berbeda-beda namun tetap satu. Kita patut berbangga atas hal ini. Lihat saja negara Korea Selatan, Jepang, ataupun Cina. Mereka hanya punya satu budaya yang sama untuk satu negara. Orang Korea ya orang Korea semua. Orang Jepang ya orang Jepang semua. Semua sama, seragam. Tidak seperti Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku seperti suku Jawa, Batak, Tionghua,dll. Tentu ini menjadi suatu hal yang patut dibanggakan, bukan?

Di Kota Semarang sendiri, keberadaan suku Tionghua memang sudah diakui sejak lama. Meskipun berada di Jawa Tengah,budaya Tionghua yang ada tidak hilang kelestariannya. Misalnya, dengan dibangunnya Kuil Sam Poo Kong yang menjadi salah satu daya tarik kota Semarang.  Kuil Sam Poo Kong merupakan tempat persinggahan dan pendaratan pertama seorang Laksamana Tiongkok beragama Islam yang bernama Laksamana Cheng Ho. Tempat ini biasa disebut Gedung Batu, karena bentuknya merupakan sebuah Gua Batu besar yang terletak pada sebuah bukit batu.

(photo courtesy: visitsemarang.com)

Kuil Sam Poo Kong terletak di Simongan, di kota barat daya Semarang. Seperti Kuil-Kuil Cina pada umumnya, Kuil ini juga didominasi warna merah. Sejumlah lampion merah tidak saja menghiasi kelentengnya, tetapi juga menghiasi pohon- pohon sepanjang jalan menuju gerbang utama. Sejak renovasi besar- besaran tahun 2005, Kuil Sam Poo Kong menarik perhatian lebih banyak orang untuk berkunjung. Salah satu tempat yang paling diminati adalah halaman luas di depan kelenteng, dimana terdapat sejumlah patung besar termasuk patung Laksamana Cheng Ho. Di sinilah atraksi - atraksi kesenian berupa tari tarian, barongsai ataupun bentuk kesenian lain digelar untuk memperingati hari bersejarah yang berhubungan dengan Cheng Ho atau budaya China.

(photo courtesy: thearoengbinangproject.com)

Hal menarik yang bisa dilihat disana ialah pengunjung yang datang tidak semuanya orang keturunan Tionghua. Semua orang dari berbagai suku dan budaya sering mengunjungi kuil ini. Mereka tertarik untuk melihat kebudayaan Tionghua, belajar sejarah Cina, berfoto-foto, bahkan mencoba menggunakan baju tradisional Cina. Di hari-hari besar seperti Hari Raya Imlek atau hari kelahiran Cheng Ho pun, tidak hanya orang Tionghua yang datang ke kuil ini untuk merayakannya. Semua orang, tidak peduli dari ras atau agama apapun, menikmati perayaan yang disertai dengan arak-arakan, bazaar, dan festival Barongsai.

 

(photo courtesy: hellosemarang.com)

Selain kuil Sam Poo Kong ini, budaya Tionghua yang masih terasa kental di Semarang adalah berkembangnya kawasan Semawis. Semawis terletak di daerah Pecinan (Chinatown) yang sekarang menjelma menjadi salah satu ikon kuliner kota Semarang. Pasar Semawis adalah pasar malam dengan konsep kuliner dengan tenda-tenda yang menjajakan aneka jenis makanan dan juga minuman. Jalanan disekitar lokasi ini sengaja ditutup bagi kendaraan pada malam harinya untuk digelarnya pasar malam ini.

Pasar semawis ini buka setiap hari Jumat hingga hari Minggu mulai pukul 18.00 hingga 23.00 WIB. Ketika memasuki kawasan Pasar Semawis, kita akan menjumpai berbagai ornamen bernuansa Tionghoa terpasang di sepanjang jalan menuju pasar tersebut. Perpaduan makanan antara makanan lokal seperti sate sapi, nasi Pecel, nasi Pindang dan makanan khas Tionghua seperti nasi campur, nasi Baikut,bakmi, kue keranjang, bakpao atau cakwe bisa dengan mudah ditemui di Pasar ini.

(photo courtesy: viva.co.id)

Setiap malam pergantian Tahun Baru Imlek, di kawasan ini juga selalu digelar perayaan yang berlangsung meriah. Berbagai pernak-pernik keperluan Imlek tersedia di pasar tersebut. Berbagai atraksi budaya seperti barongsai dan liong (naga) selalu menarik perhatian warga, baik warga keturunan Tionghua maupun lokal. Kegiatan rutin menjelang datangnya Imlek ini adalah upaya melestarikan budaya Tionghua yang ada di Semarang. Selain itu, diharapkan juga Pasar ini bisa menjadi tempat pembauran antara etnis Tionghoa dan etnis lain di Semarang.

Begitulah sepenggal kisah saya mengenai asimilasi budaya Tionghua dan budaya lokal Jawa dari tempat asal saya, Semarang. Multikulturalisme yang dimiliki Indonesia mengajarkan kita untuk bergaul dengan siapa saja tanpa memandang ras, suku, budaya, bahasa dan agama.

Multikulturalisme membuat kita belajar memandang individu atau kelompok lain dalam derajat yang sama, memberikan perlakuan yang sama, dan juga menghilangkan pandangan stereotip terhadap mereka. Alangkah indahnya dunia ini jika kita bisa hidup berdampingan tanpa perlu memandang perbedaan-perbedaan tersebut. Asalkan kita mau saling menghormati perbedaan yang ada, maka perselisihan itu tidak akan terjadi.

Saya berharap kisah singkat ini bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang. Jadi, jika anda kebetulan mampir ke Semarang, jangan merasa aneh bila melihat banyak warga keturunan maupun warga lokal yang saling menyapa “Koh, Cik, Piye kabare?”

[1] Cici,panggilan untuk kakak perempuan keturunan Tionghua
[2] Apa kabar, dalam bahasa Jawa
[3] Orang ini udah dibilangin berkali-kali kok masih ga percaya. Terserah kamu deh! (dalam bahasa Jawa)

 

[Tulisan ini dibuat sebagai bentuk partisipasi Gramedia Blogger Competition 2016.] #46thmenginspirasi #GBCFebruari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun