Begitulah sepenggal kisah saya mengenai asimilasi budaya Tionghua dan budaya lokal Jawa dari tempat asal saya, Semarang. Multikulturalisme yang dimiliki Indonesia mengajarkan kita untuk bergaul dengan siapa saja tanpa memandang ras, suku, budaya, bahasa dan agama.
Multikulturalisme membuat kita belajar memandang individu atau kelompok lain dalam derajat yang sama, memberikan perlakuan yang sama, dan juga menghilangkan pandangan stereotip terhadap mereka. Alangkah indahnya dunia ini jika kita bisa hidup berdampingan tanpa perlu memandang perbedaan-perbedaan tersebut. Asalkan kita mau saling menghormati perbedaan yang ada, maka perselisihan itu tidak akan terjadi.
Saya berharap kisah singkat ini bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang. Jadi, jika anda kebetulan mampir ke Semarang, jangan merasa aneh bila melihat banyak warga keturunan maupun warga lokal yang saling menyapa “Koh, Cik, Piye kabare?”
[1] Cici,panggilan untuk kakak perempuan keturunan Tionghua
[2] Apa kabar, dalam bahasa Jawa
[3] Orang ini udah dibilangin berkali-kali kok masih ga percaya. Terserah kamu deh! (dalam bahasa Jawa)
[Tulisan ini dibuat sebagai bentuk partisipasi Gramedia Blogger Competition 2016.] #46thmenginspirasi #GBCFebruari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H