Hidup bagi saya adalah sebuah keajaiban. Bahkan saya percaya setiap detik yang saya lalui adalah keajaiban-keajaiban dari Tuhan yang Ia izinkan terjadi untuk saya rasakan. Christiantie Ivana Louis Ngajow itulah nama lengkap saya. Keluarga, teman dan para sahabat kerap menyapa saya dengan nama Ivana. Walaupun nama saya terlihat cukup panjang, tetapi saya percaya bahwa nama yang sudah orang tua saya berikan kepada saya mengandung doa dan harapan mereka untuk saya. .
Christiantie diambil dari nama depan Ayah saya yang berarti seorang Kristiani. Ivana memiliki makna anugerah Tuhan yang indah dan Louis memiliki artii seorang pejuang wanita, sedangkan Ngajow merupakan nama belakang dari Ayah saya atau “marga” bagi orang yang berdarah Minahasa (Manado, Sulawesi Utara).
Lahir di Samarinda pada tanggal 13 Juni 1995. Saya merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Menurut saya, saat dimana saya masih di dalam kandungan Ibu hingga lahir ke dunia, adalah saat-saat yang sangat tidak mudah dilalui oleh Ibu saya, karena saat itu Ibu saya harus berjuang melawan penyakit “Tiroid” yang dideritanya. “Tiroid” adalah semacam penyakit seperti gondok, namun benjolan yang ada terus membesar yang akhirnya menyebabkan leher membengkak, dimana pembengkakan tersebut menekan pernapasan dan saluran pencernaan seseorang sehingga menyebabkan penderitanya menjadi sulit bernafas dan sulit untuk menelan makanan yang pada tahap selanjutnya membuat kondisi ketahanan tubuh dan berat badan Ibu saya menurun.
Penyakit itu pula yang membuat Ibu saya harus mengikuti aturan-aturan yang dianjurkan oleh dokter, untuk dapat mempertahankan saya yang saat itu masih berada dalam kandungan Ibu saya. Hingga pada akhirnya saat usia kehamilan Ibu saya menginjak usia tujuh bulan, di saat itulah Ibu saya melahirkan saya dan untuk pertama kalinya saya mengenal dunia yang sesungguhnya. Tepat pukul sepuluh malam di Rumah Sakit Dirgahayu Samarinda, saya lahir dengan proses kelahiran secara normal. Namun, tidak seperti kelahiran bayi-bayi pada umumnya, saya lahir dengan kondisi prematur karena lahir lebih cepat daripada waktu kelahiran yang seharusnya.
Lahir dengan keadaan kulit yang mengkerut dan berwarna merah kecoklatan serta dengan berat badan di bawah ukuran ideal yakni 1,5 kg mengharuskan saya untuk tidak dapat segera berada disisi Ibu saya selama dua minggu. Hal ini dikarenakan dokter mengharuskan saya menjalani perawatan intensif di dalam kotak inkubator. Setelah dua minggu berlalu, pada akhirnya dokterpun memperbolehkan saya untuk di bawa pulang kerumah, namun tetap dengan beberapa persyaratan, yakni keadaan suhu tubuh saya harus tetap terjaga selalu hangat, sehingga pada saat itu Ayah saya memasang bola lampu diatas box tempat tidur saya agar saya selalu merasakan kehangatan.
Selain itu, dokter menganjurkan agar seminimal mungkin saya tidak menangis terlalu lama, karena jika menangis terlalu lama akan membuat berat badan saya menurun secara drastis dan akan sangat sulit nantinya untuk mengembalikan dan menaikkan berat badan saya. Tidak hanya itu, setiap dua jam sekali, saya juga diharuskan untuk rutin minum ASI dari Ibu saya untuk menjaga kekebalan tubuh saya. Hal itu sedikit membuat Ibu saya merasa kerepotan karena kala itu Ibu saya tidak terus menerus selama 24 jam berada dirumah,dikarenakan beliau masih memiliki tanggung jawab dalam pekerjaannya. Kala itu ia masih bekerja di sebuah Kantor Perusahaan Kayu di Samarinda
Hidup dalam ‘aturan-aturan’ yang dianjurkan dokter membuat kedua orang tua saya sangat menjaga saya dan juga mengikat saya dalam ‘aturan-aturan’ yang diterapkan di dalam rumah. Hingga menjadi hal yang sangat sulit bagi saya untuk dapat bermain di luar rumah seperti anak-anak lain pada umumnya. Tak heran jika saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar membaca di dalam rumah dibandingkan bermain bersama teman-teman diluar rumah.
Namun, hal itu justru membawa hasil postif bagi saya, karena saat saya masih berusia empat tahun, saya sudah mulai lancar membaca buku, tidak seperti anak-anak lain yang masih disibukkan pada kesenangan mereka untuk bermain-main. Selang satu tahun kemudian ‘Aturan-aturan’ yang mengikat saya perlahan sedikit mulai terasa longgar ketika pada pertengahan tahun 2000, Ibu saya melahirkan seorang anak perempuan bernama Chaterine Steffany Joannna Ngajow. Ia adalah adik perempuan saya yang merupakan anak kedua dari orang tua saya. Kala itu, saya juga sudah mulai diperhadapkan pada sebuah rutinitas baru yang mengharuskan saya untuk menjalani aktivitas di luar rumah, yakni bersekolah di Taman Kanak-Kanak.
Tepatnya saya bersekolah di Taman Kanak-kanak Dahlia I Desa Sungai Meriam, Kecamatan Anggana Kabupaten Kutai Kartanegara. Memang, dari segi pengetahuan dalam membaca saya lebih unggul dari teman-teman seusia saya yang ada di sekolah, namun ada suatu hal menarik yang pernah saya alami ketika saya masih bersekolah di Taman Kanak-kanak. Dahulu, karena kedua orang tua saya sangat menjaga kondisi kesehatan tubuh saya, saya tidak pernah diperbolehkan untuk membeli makanan yang dijual di Sekolah.
Saya selalu membawa bekal dari rumah dan tidak pernah diberikan uang saku oleh orang tua saya. Oleh sebab itu, saat itu saya tidak mengerti sedikitpun tentang “uang’. Hingga suatu saat, saya pernah meminta setusuk bakso pada penjual makanan yang ada di sekolah saya, karena melihat teman-teman saya meminta kepada penjual tersebut untuk diberikan setusuk bakso.
Akan tetapi, teman-teman saya meminta setusuk bakso dengan memberikan sejumlah uang, berbeda dengan saya yang mengambil setusuk bakso tersebut dan pergi tanpa membayar dengan tidak memiliki rasa bersalah karena ketidaktahuan saya mengenai uang dan proses transaksi jual beli . Saat ini saya sadari hal itu bisa terjadi akibat dibatasinya saya oleh ‘aturan-aturan’ yang mengikat saya sejak kecil.