Semenjak duduk di bangku Sekolah Dasar saya hanya berhasil mencapai peringkat dua di kelas karena saya terus menerus berada di kelas yang notabene siswa-siswanya juga berprestasi, akan tetapi pada saat saya duduk di bangku kelas 3 Sekolah Menengah Pertama saya akhirnya dapat merasakan menjadi siswa yang mendapat peringkat Pertama di kelas. Ya, walaupun hal iitu terjadi karena saya sudah tidak lagi masuk di dalam kelas favorit.
Lulus dari bangku Sekolah Menegah Pertama saya diperhadapkan pada pilihan yang sulit, yakni dimana saya harus melanjutkan Sekolah saya. Orang tua saya pun mencoba untuk mendaftarkan saya ke sebuah Sekolah Swasta di Samarinda yakni SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda karena mengingat Sekolah tersebut memiliki Asrama, sehingga orang tua saya pun tidak perlu khawatir kepada saya selama berada jauh dari kedua orang tua saya. Akan tetapi, sebuah masalahpun datang, tepat di hari saya harus mengikuti tes masuk di Sekolah tersebut saya diperhadapkan pada pilihan untuk tetap mengikuti tes tersebut atau memilih untuk mengambil pelayanan saya dalam bermain musik di gereja yang pada saat itu saya ditugaskan untuk menjadi pemain keyboard yang mengiringi acara anak-anak se-Kalimantan Timur.
Akan menjadi pilihan yang berat bagi saya jika saya lebih memilih mngikuti tes masuk Sekolah karena saya sudah terlebih dahulu berjanji untuk dapat menyelesaikan pelayanan saya dan telah berlatih dari jauh-jauh hari hingga telah mengikuti Gladi Bersih. Padahal pada saat itu saya sudah tidak memiliki pilihan dan alternatif sekolah lain yang dapat saya daftarkan, karena gelombang ketiga penerimaan siswa baru telah usai kala itu. Bermodalkan kepercayaan, saya tetap kokoh dengan pilihan saya, hingga pada akhirnya keyakinan sayapun berbuahkan hasil. Ada seorang ibu yang menemui kedua orang tua saya dan berkata masih ada sebuah sekolah yang membuka pendaftaran untuk siswa baru dikarenakan jumlah kuota siswa yang mendaftar di Sekolah tersebut masih belum memenuhi standart. Singkat cerita, ibu saya pun mendaftarkan saya ke Sekolah tersebut.
Sekolah tersebut merupakan salah satu Sekolah Swasta yang cukup terkenal di Kota Samarinda karena Akreditasinya yang dikenal sangat baik. Seperti biasa, sayapun harus tetap mengikuti tes masuk di Sekolah tersebut, dan pada saat saya mengisi soal-soal tes tersebut saya hanya dapat menggigit jari saya karena ketidaktahuan saya akan jawaban-jawaban yang tepat dari soal tersebut. Ibarat katak yang keluar dari dalam tempurung itulah saya pada kala itu.
Memang ketika saya duduk di bangku SMP saya mendapat peringkat yang cukup baik, namun ternyata standart yang ditetapkan dari sekolah saya yang lama sangat jauh berbeda dari Sekolah tempat saya mengikuti tes masuk. Tidak sedikitpun ada keyakinan dalam diri saya bahwa saya akan lulus dari tes tersebut. Tiga hari setelah tes tersebut akhirnya pihak sekolah tersebut menelfon saya dan menyatakan bahwa saya lulus dan dapat masuk di Sekolah tersebut. Sekilas saya merasa senang karena saya telah lulus tes tersebut, tetapi kemudian saya berfikir apakah saya dapat mengikuti standart yang ditetapkan Sekolah tersebut untuk kedepannya?
Selain itu, mayoritas siswa di tempat saya nantinya bersekolah adalah siswa non pribumi dengan kata lain anak-anak berdarah keturunan Tionghoa. Mayoritas merupakan anak-anak dari kalangan elit dan terpandang, Sedangkan jika dibandingkan dengan saya, saya hanya berasal dari keluarga sederhana dari sebuah desa di pinggiran Kota Samarinda. Pertanyaan baru muncul dibenak saya apakah saya dapat berbaur dengan mereka? Dan apakah mereka mau berteman dengan saya?
Hari pertama masuk Sekolahpun pada akhirnya tiba, dengan penuh semangat saya berangkat ke Sekolah saya yang baru. Waktu perjalanan dari rumah ke Sekolah saya hampir 40 menit lamanya. Awalnya saya merasa bersemangat dalam menjalani rutinitas di Sekolah yang baru, akan tetapi ada saat dimana saya merasa hari-hari di awal masuk sekolah merupakan saat-saat terberat dalam hidup saya. Dahulu saya terbiasa dengan pola belajar yang santai, dan dikelilingi oleh teman-teman saya yang semenjak SD telah bersahabat dengan saya. Namun ketika saya sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas , saya harus menyesuaikan sistem belajar di Sekolah saya yang baru, yang hampir setiap hari harus diperhadapkan dengan ulangan-ulangan mata pelajaran yang ada, dan pada saat itu saya belum memiliki teman yang bisa dikatakan “dekat” dengan saya. Keterpurukan saya semakin di perparah dengan rasa lelah saya yang setiap hari harus menempuh perjalanan yang cukup jauh dari rumah ke Sekolah. Terkadang harus melewati panas terik, hujan dan banjir. Kondisi itu sempat membuat saya merasa tertekan, karena terus-menerus mendapat nilai merah di sekolah. Sayapun sempat melontarkan pernyataan kepada Ayah saya sambil meneteskan air mata bahwa saya ingin pindah Sekolah. Jawaban yang justru bertolak belakang dari apa yang saya lontarkan justru diucapkan oleh Ayah saya. Ia berkata “ hanya karena hal seperti itu kamu menangis dan menyerah? Bahkan ingin lari dari masalah yang kamu alami? Kehidupan yang nantinya akan kamu jalani akan lebih kejam dan keras dari dunia Sekolah barumu, apa kamu mau tetap mengatasi masalah itu dengan menangis? Atau lari dari masalahmu? Menangis dan lari dari masalah bukanlah cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang kamu hadapi”. Saat itu sayapun langsung merenungkan apa yang Ayah saya ucapkan, dan saya pikir saya tidak boleh berhenti untuk berusaha. Kalau memang Tuhan mengizinkan saya masuk di Sekolah yang baru dengan sistem belajar yang lebih ketat, itu berarti Tuhan ingin saya lebih baik lagi dan terus mengasah kemampuan yang saya miliki. Alhasil, nilai-nilai ulangan harian saya yang awalnya merah, perlahan mulai membaik dan justru kerap kali saya mendapatkan nilai sempurna. Bahkan sayapun mulai dapat berbaur dengan teman-teman yang baru, dan memiliki beberapa teman dekat yang dapat saya ajak untuk bertukar pikiran dan belajar kelompok bersama. Menurut saya, saat itu adalahsaat dimana saya kembali merasakan keajaiban terjadi dalam hidup saya. Bukan perkara mudah untuk beradaptasi dil ingkungan dan komunitas yang baru dengan keterbatasan yang saya miliki.
Saat saya duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, Instruktur Keyboard saya juga sempat menawarkan saya untuk menjadi asisten instrukturnya dalam mengajar murid-murid yang masih berusia anak-anak. Bagi saya, itu adalah kesempatan untuk saya mendapatkan pengalaman dalam bekerja dan setidaknya keinginan saya yang dahulu sempat terbesit ingin menjadi guru anak-anak PAUD dapat disalurkan.
Menjelang kelulusan saya, Guru Bimbingan Konseling saya sempat bertanya kepada saya, “Setelah lulus Ivana mau lanjut kuliah dimana? Apa mau ikut dengan teman-teman yang lain melanjutkan studi keluar?”. Lagi lagi-lagi saya harus diperhadapkan pada sebuah pilihan. Jika mengikuti kinginan saya, tentu saya ingin seperti teman-teman saya yang lain, yakni melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi yang terkenal di luar daerah. Akan tetapi, kedua orang tua saya tidak mengizinkan saya untuk pergi ke luar daerah, dengan alasan saya masih belum dapat hidup mandiri dan mereka masih sangat membutuhan saya berada di sisi mereka. Jelas, saya kembali merasakan sebuah kekecewaan. Saya pun memutuskan untuk mendaftarkan diri saya di Universitas Mulawarman Samarinda melalui jalur undangan(SNMPTN) dengan dua alternatif pilihan jurusan. Pilihan pertama jatuh pada Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Sedangkan alternatif kedua saya memilih mengambil jurusan Pendidikan Anak Usia Dini/PAUD Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Selama masa menunggu hasil pengumuman SNMPTN itu saya tidak sedikitpun mencari alternatif untuk mendaftar di Universitas lain.
Sampai pada hari dimana pengumuman hasil seleksi SNMPTN pun tiba. Saya pun berinisiatif bertanya kepada teman-teman yang lain terkait hasil yang mereka terima, akan tetapi satupun dari teman saya tidak ada yang lulus dari seleksi SNMPTN itu. Wajar, kami merupakan siswa-siswa yang berasal dari Sekolah Swasta, sedangkan Universitas Mulawarman merupakan Perguruan Tinggi Negeri, otomatis yang didahulukan merupakan siswa-siswa lulusan dari Sekolah-sekolah Negeri yang ada di Indonesia. Dengan sedikit diselimuti rasa cemas akhirnya saya mencoba melihat hasil pengumuman seleksi SNMPTN. Sayapun merasa terkejut, karena saya dinyatakan lulus dalam seleksi tersebut, dan saat itu saya satu-satunya siswa dari Sekolah saya yang lulus seleksi SNMPTN tersebut. Lagi-lagi saya mendapatkan sebuah keajaiban. Lulus dari seleksi SNMPTN sangat mempermudah saya untuk masuk ke Perguruan Tinggi, selain tidak perlu menghadapi seleksi lewat jalur tes, biaya yang orang tua saya keluarkan pun tergolong lebih sedikit dari ekspektasi mereka sebelumnya.
Alasan saya memilih Program Studi Ilmu Komunikasi ialah karena saya inginbelajar untuk dapat berbicara di depan umum dengan baik. Sebelumnya saya dikenal sebagai seseorang yang sangat sulit berbicara di depan umum. Ketika saya berbicara di depan orang banyak saya sering merasa gugup. Bibir saya selalu bergetar dan ucapan saya sulit untuk dimengerti, bahkan saya tidak berani untuk menatap mata lawan bicara saya. Awalnya, perasaan gugup selalu saya rasakan ketika saya berbicara di depan kelas misalnya ketika sedang mempresentasikan sebuah materi kepada teman-teman kelas dan para dosen. Seiring berjalannya waktu, semakin hari saya mulai terbiasa berbicara di depan umum, walaupun tidak sepenuhnya perasaan gugup saya hilang ketika saya berbicara di depan banyak orang. Akan tetapi, setidaknya saya sudah dapat mengendalikan perasaan gugup saya ketika berdiri didepan banyak orang.