Mohon tunggu...
ivan adilla
ivan adilla Mohon Tunggu... Guru - Berbagi pandangan dan kesenangan.

Penulis yang menyenangi fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Hati yang Bergetar

7 Mei 2021   09:21 Diperbarui: 7 Mei 2021   09:24 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panorama senja pada musim gugur. Foto oleh Ivan Adilla

Guru agama kami orang yang sederhana, namun selalu rapi hampir dalam semua hal. Beliau tamatan sekolah guru agama di sebuah kota di Sumatra. Tak sempat masuk perguruan tinggi, apalagi punya gelar akademik seperti para guru-guru zaman sekarang.

Tapi kesederhanaan beliau membuat kami menghormatinya. Salah satu kelebihan guru kami ini adalah Beliau selalu punya cara untuk menerangkan hal sulit dengan cara sederhana. Kalau menerangkan sebuah ayat atau hukum, misalnya, beliau tak mengutip pikiran para ahli dari berbagai negeri yang menulis buku-buku hebat dan tebalnya minta ampun itu.Beliau selalu berangkat dari kasus yang dekat dengan siswa. Jadinya, mudah dipahami.

Suatu siang, kami lagi belajar tentang tafsir Alquran. Udara amat panas dan hawa gerah. Beberapa siswa mulai mengantuk. Pelajaran tafsir bukan pelajar favorit untuk kebanyakan kami. Tapi itulah tantangan bagi seorang guru.

"Ketika masih muda seperti kalian, dada saya selalu berdebar kalau lewat di depan rumah pacar saya", kata Sang Guru memulai pelajaran. 

"Apakah bapak punya pacar ketika muda?", tanya seorang siswa.

"Jelek-jelek begini, saya menantu idaman lho..tapi aturan agama dan adat di kampung kami amat ketat. Kami tak boleh bertemu apalagi berjalan bersama", kata beliau.

"Jadi bagaimana Bapak menyampaikan isi hati..atau kata-kata cinta?".

"Saya menulis surat dan mengirimkan melalui teman yang menjadi kurir bagi kami berdua".

Kisah masa remaja tentu saja menarik bagi kami. Udar gerah mulai terlupakan. Kantuk juga mulai sirna. Siswa bergairah ingin tahu mendengar kisah masa muda guru kami. Berbagai pertanyaan dan komentar pun terdengar. Riuh suasana lokal pagi itu.

"Suratnya pakai kertas harum gak, Pak?"

"Warna biru atau pink?"

"Wah, gak bisa malam mingguan ya.. huuu".

"Wah, alangkah beratnya menahan perasaan...", kata teman lain.

"Begitulah. Nasib orang muda menanggung rindu", kata Guru. "Kalau saya rindu pada kekasih, maka saya akan melihat atap rumahnya. Atau mengintai untuk melihatnya melintas di jalan sepulang sekolah. Melihat atap rumah atau lintasan wajahnya saja, rindu saya sudah terobati".

Selagi beliau menerangkan, dari luar kelas terdengar suara beberapa siswi tertawa. Beliau segera keluar. Tak lama kemudian masuk lagi, tapi tetap diam. Di luar terdengar langkah kaki orang berjalan. Pak Guru mendekatkan jarinya ke bibir, isyarat agar kami diam. Suara langkagh kaki terdengar makin jelas. Terdengar langkah kaki kedua, ketiga hingga keempat.

"Nah, sekarang saya mau bertanya", kata Pak Guru. "Mana langkah kaki yang kamu kenal? ", kata beliau ke arah saya. Saya gugup, tak menyangka ditanya seperti itu.

"Nomor dua, Pak", jawab saya spontan.

Pak Guru meminta ketua kelas keluar lokal dan mencari keempat siswi yang berjalan tadi. Tak lama ketua kelas kembali dan memberitahu nama siswi yang berjalan pada urutan kedua. Semua siswa langsung tertawa begitu mendengar nama siswi itu. Siswa nomor dsua itu memang teman baik saya.

"Begitulah kalau kita mengenal seseorang dengan baik. Kita tak hanya mengenal wajah atau suaranya. Bahkan langkah kakinya pun bisa diketahui dengan tepat", kata Pak Guru lagi. Kelas pun riuh dengan aneka suara menertawakan kepolosan saya.

"Jika pada manusia saja kita bisa begitu, apalagi pada Tuhan yang telah memberi kita kehidupan dan menyediakan segala kebutuhan kita".

Maka inti pelajaran pun dimulai. Beliau kemudian menyebutkan sepotong ayat yang artinya kira-kira, ' Orang beriman itu, jika disebutkan nama Allah akan bergetar hatinya'. Apa maksudnya frasa 'bergetar hatinya' itu? Siapa yang menggetarkannya?".

Hubungan orang beriman dengan Tuhan itu layaknya hubungan kekasih dengan pasangannya. Mereka akan selalu ingat, mencintai dan terpaut hatinya pada Tuhan. Hati mereka bergetar saat mendengar nama kekasihnya.

Ketika pertama kali mendengar ayat itu, sungguh sulit bagi saya untuk memahami 'getaran hati' ketika mendengar nama Sang Khalik. Apa yang mampu membuat hati seseorang bergetar? Konon, ayat itu bernuansa sufistik. Hanya orang pada tingkat tertentu saja yang bisa memahami dengan baik. Tapi guru kami yang sederhana itu mampu menerangkan makna ayat itu dengan contoh kasus yang dekat dan mudah dipaham bagi kami para remaja. Ya, mengibaratkan Tuhan sebagai kekasih.    

Di ujung Ramadhan ini,  saya merindukan kembali hati yang bergetar. Mungkinkah saya bisa menggapainya? Terlalu banyak dosa dan kesalahan yang menutupi hati hingga ia menjadi beku.  Semoga saja hati kita masih hidup dan mampu membuang debu dosa yang menutupinya.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun