A: “Yah, kalau segitu mah kurang dong, Mbak!”
B: “Kalau nggak mau, ya sudah! Dikasih hati malah minta jantung!”
Ungkapan ini paling sering saya dengar ketika anak tetangga saya lagi minta jajan ke mbaknya. Hahaha. Jadi, contoh di atas itu diambil berdasarkan kisah nyata, ya. Bidal ‘dikasih hati minta jantung’ dapat berkonotasi negatif jika penggunaannya ada di dalam situasi yang menggambarkan ada seseorang tidak merasa puas dengan sesuatu yang telah diberikan sehingga ia meminta lebih.
4. Menjilat Air Ludah Sendiri
A: “Katanya kamu nggak suka BTS!”
B: “Iya, aku tarik lagi kata-kataku. Habisnya ternyata lagunya enak-enak.”
A: “Dasar, makanya kalau bicara itu dipikir-pikir dulu. Sekarang jadi jilat air ludah sendiri, kan!”
Bidal ‘menjilat air ludah sendiri’ biasanya digunakan dalam situasi di mana tindakan seseorang cenderung berlawanan dari pernyataannya sehingga terkesan tidak dapat memegang perkataannya sendiri. Teman saya sering bercanda dengan mengatakan bahwa “Air ludah itu dessert terenak!” ketika ia terjebak dalam situasi serupa percakapan di atas.
Nah, jadi begitulah pembahasan konotasi negatif beberapa bidal populer. Berdasarkan pemaparan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa suatu ungkapan dapat berkonotasi negatif tergantung konteks dan situasi pemakaiannya. Artikel ini dibuat berdasarkan analisis dangkal saya melalui salah satu sub-kajian pragmatik, yakni analisis wacana. Studi-studi tentang peribahasa juga dapat diteliti melalui sudut pandang etnolinguistik.
Ternyata peribahasa dapat menjadi bahan kajian yang menarik, kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H