Mohon tunggu...
Ivan Tahir Hehanussa
Ivan Tahir Hehanussa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

menulis media cetak & online

Selanjutnya

Tutup

KKN

Pudarnya Intelektual Mahasiswa

30 Desember 2015   08:32 Diperbarui: 4 Juni 2024   00:49 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KKN. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Oleh : Ivan Tahir Hehanussa

Pendidikan merupakan salah satu dasar untuk membentuk manusia menjadi lebih baik, begitu besar peran pendidikan dalam kehidupan manusia hingga berbagai aturan tentang pendidikan dibuat, itu semua semata untuk menyetarakan pendidikan bagi seluruh manusia dan memberikan kesempatan kepada semua manusia untuk mengenyam pendidikan minimal sampai Menangah Atas.

Namun dalam semua kategori pendidikan, Dunia Perguruan Tinggi merupakan salah satu dari sekian banyaknya kelas pendidikan yang menjadi perhatian dan konsen pemerintah, wajar memang, karena Perguruan Tinggi merupakan salah satu institusi pendidikan yang sangat berperan dalam melahirkan kaum intelektual-intelektual yang nantinya akan berperan sebagai penyenggara Negara dan penerus bangsa.

Hingga saat ini, Perguruan Tinggi masih diyakini sebagai temat tumbuh dan kembangnya benih-benih intelektual, hal ini tentu berbeda dengan orientasi satuan pendidikan dasar dan menengah, karena perguruan tinggi merupakan institusi yang memilki kekushusan tersendiri dalam membentuk karakter dan pola hidup masyarakat yang ilmiah. Kita lihat saja pada UU Pendidikan Tinggi nomor 12 tahun 2012 pada pasal 6 butir A dan B, dimana Perguruan Tinggi diselenggarakan dalam rangka mencari kebenaran ilmiah dan membudayakan baca tulis bagi cicitas akademika atau yang sering kita dengungkan “Masyarakat Ilmiah”.

Dalam peradaban pendidikan, Perguruan Tinggi semestinya dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsi yang ilmiah, namun yang patut kita pertanyakan, apakah Perguruan Tinggi kita sudah menjalankan prinsip-prinsipnya sesuai dengan sistim akademik yang direncakan dan dicanangkan? Apakah pelaksanaan orientasi Perguruan Tinggi sudah kita laksanakan berdasarkan etos kerja ilmiah yang intelektual? Pertanyaan yang sangat miris untuk kita jawab.

Perguruan Tinggi memang dikultuskan sebagai tempat pembenihan dan pelestarian benih cendekiawan-cendekiawan bangsa, karena tentunya Perguruan Tinggi memiliki tradisi ilmiah intelektual (intellectual Cultivation)yang sebenarnya benar dan sangat bermanfaat bagi manusia-manusia, namun rasanya semua itu tidak ada artinya jika kita melirik sejenak (tak perlu lama-lama, nanti ketahuan kedoknya) kedalam Dunia Kampus, kita jadi ragu untuk terus mengkultuskan bahwa Perguruan Tinggi adalah tempat Pembenihan dan pelestarian benih Cendekiawan muda bangsa, karena tradisi dan budaya ilmiah itu kini sebatas retorika dan isapan jempol semata. Lihat saja seminar yang dilaksanakan para pendidik dan penyelenggara Perguruan Tinggi, hanya sebatas melaksanakan program, namun tidak memiliki nilai dan itu tentunya adalah seminar dangkal, workshop instan demi menghabiskan anggaran belanja DIPA tahunan. Mirisnya lagi, budaya baca kini tidak lagi membuat kita terpesona karena telah berganti hanya dengan budaya Bicara (Orasi-red) yang hanya menjadi satu-satunya konsen mahasiswa saat ini, sementara budaya duduk di dalam bilik yang sunyi atau sering kita sebut sebagai Perpustakaan tidak lagi terlihat, mungkin teknologi semakin canggih hingga tidak perlu berdiam diri dalam bilik perpustakaan untuk membaca, namun banyak dan rering kita jumpai mahasiswa yang menggunakan teknologi bukan untuk kebutuhan akademiknya, namun untuk bermain media social yah paling tidak nonton film yang diperankan actor kawakan seperti Angelina Jolie, Jhoni Dhep, Hayden Christensen, Jami Bell, Rachel Bilson atau artor-aktor Bollywood seperti Salman Khan, Kharena Kapoor, Sahruk Khan, Ajay Defghan, Sonaly Bandreet, Kajol dan lainnya yang akhir-akhir ini menghipnotis para mahasiswa kita (boli curia, boli kenggena….jadi ingin ikut bergoyang juga).

Hal ini setidaknya memberi isyarat bahwa etos-etos ilmiah intelektual tengah mengalami penurunan. inilah yang mungkin membuat risau dan gelisah para cendekiawan tua bangsa ini karena ketika mereka menilik dunia akademis kita, ternyata yang lebih disibukan oleh tradisi kelisanan (Orality) ketimbang keberaksaraan (literacy) dimana yang seharusnya itu menjadi hal terpenting yang seharusnya didahulukan.

Namun, peran Perguruan Tinggi sebagai benteng pendidikan yang memiliki kewajiban sebagai tameng kewarasan moral Publik seakan tidak lagi memberi harapan (chieee harapan palsu ni ee) bagi bangsa ini, mungkinkah kita harus menyamaknnya dengan baju yang telah luntur warnanya, jika memang iya, maka itu artinya “Telah Pudarnya Intelektual Mahasiswa Kita”. Perguruan Tinggi kita mungkin terlalu disibukkan dengan persoalan-persoalan esensial yang pada akhirnya kita lupa apa peran dan tugas Perguruan Tinggi sebenarnya.

Kita mungkin sudah tahu, banyak Perguruan Tinggi di Indonesia yang carut marut, mulai dari ketidak profesionalan Dosen sebagai ujung tombak perguruan tinggi, ketidak pastian penyelenggaraan Sistim Akademik, hingga ketidak beresan dalam system pengelolaan Angaran DIPA, namun yang lebih parahnya lagi para Pejabat Kampus yang berkelahi hingga kemeja hijau (PTUN-red) hanya persoalan jabatan (hummm…oppo sih maunya..duit mane jadi masalah). Padahal jelas dalam Permendikbud Nomor 41 Tahun 2009 telah jelasmengatur tentang tunjangan berbentuk jaminan kepada tenaga dosen, agar dosen tidak lagi ngelantur sana-ngelantur sini dalam soalan titik aman kedua yakni “PERUT”, bukankah semua hal yang menyangkut dengan kesejahteraan tenaga dosen sudah diberikan dengan selas? Lalu masih apa lagi rebut-ribut soal jabatan segala macam (mendingan konsen dee..sama tugasnya..hehehe..ampun..ampun..ampun).

Berbagai akses kemudahan yang diberikan pemerintah dalam rangka mensejahterakan tenaga pengajar itu ternyata tidak sebanding dengan apa yang dihasilkan Perguruan Tinggi, memang kita tidak harus menyalahkan seluruhnya kepada dosen dan penyelenggara Perguruan Tinggi, karena mahasiswa tentunya lebih mengetahui apa yang mereka butuhkan dan dimana kekurangan intelektual mereka yang harus mereka penuhi, agar menjadi calon cendekia-cendekia yang handal dan memiliki pengetahuan, namun sebagai regulator pendidikan, seharusnya Perguruan Tinggi memiliki peran dan tugas yang sangat amat penting demi terciptanya masyarakat yang ilmiah dan memiliki integritas serta pengetahuan yang nantinya akan bermanfaat bagi Bangsa dan Negara Indonesia ini kedepannya.

Produktivitas akademik ilmiah Mahasiswa kita,jika kita membaca laporan Kompas yang diposting pada tanggal 2 Desember 2014 lalu, hanya terdapat 10 persen hasil penelitian (Karya Ilmiah) mahasiswa yang terealisasi, karena banyak diantara sarjana kita yang menyelesaikan studynya dengan mengandalkan Jasa Pembuat Skripsi. Dari hasil penelitian yang dilakukan Lembaga Penelitian Mandiri (LPM) Maluku tahun 2013-2015, sebanyak 65 persen mahasiswa semester akhir tidak melakukan penelitian akhir untuk membuat laporan (Skirpsi), namun mereka lebih banyak menggunakan sumber dari internet, bahkan diantara 65 persen tersebut, terdapat 43 persen tidak membuat laporan sendiri, namun menggunakan Jasa Pembuat Skripsi (enak juga ya..mau sarjana ada yang bikin skripsi..asal punya duit ajee semuanya beres)

Terdapat pelbagai akses kemudahan itu ternyata tak berbanding lurus dengan produktivitas kalangan akademisi di lapangan, sebab berdasarkan pengamatan kemenristek hanya 10% hasil penelitian yang terealisasikan. (kompas 2/12/2014). Besarnya rayuan hidup instan-pragmatis dan emoh bersusah-susah dengan proses bias ditunjuk sebagai salah satu penyebab persoalan di atas, oleh karena itu, tak begitu mengagetkan bila warna dominan yang marak dijumpai di altar PT kita ialah akademisi-akademisi yang “dugem politisi” atau “politisi yang nyambi sebagai akademisi” padahal jelas, ranah akademik adalah dua entitas yang tentu berlainan.

Namun, bukan berarti ranah politik haram hukumnya dimasuki oleh akdemisi. Bukankah tokoh-tokoh intelektual garda depan negeri inisemisal Agusalim,Hatta, Natsir dan Bung Syahrir menyebut beberapa nama merupakan pemimpin partai politik. Hanya saja disini perlu dibubuhi catatan tambahan, upaya merambah dunia politik praktis itu tak lantas membuat para akademisi seolah tiada cacat-cela menumbalkan tanggungjawab disiplin keilmuannya.

Tanda-tanda loyonya vitalitas intelektual pun ternyata turut merembes dalam sendi-sendi kehidupan mahasiswa, memang ramai kita saksikan riuhnya para mahasiswa yang rajin menggelar aksi tikar jalanan menentang perilaku amoral para pejabat, tapi hampir tak pernah kita mendengar teriakan protes mahasiswa dikarenakan keadaan perpustakaan yang begitu menyedihkan,namun hal itu dapat dimaklumi, mengingat budaya sebagian mahasiswa telah bergeser, bukan lagi budaya buku dan baca, melainkan budaya bibir dan bicara. Sementara tak jarang kita pergoki mahasiswa seolah tiada rikuh memercayakan peluh, maka tak mengherankan bila hasil penelitian berupa skripsi, tesis atau semacamnya hanya sekedar sebagai hiasan yang memenuhi sudut-sudut perpustakaan yang tak tersentuh dan terlupakan.

Jika melirik mahasiswa kita saat ini, boleh dibilang ini adalah fenomena “kewibawaan ilmiah yang tunduk” dari akar tradisi PT tersebut, terlalu berlebihan bila peran PT dipandang hanya sekedar tempat “produksi ijazah” yang membidangi lahirnya sarjana-sarjana instan-karbitan. Tak hanya itu, segelintir akademisi yang masih mencoba berjalan sesuai rel idealismenya pun terkadang tidak memperoleh ruang dan siap-siap dikeranjangkan sebagai “manusia asing” berjenis lain, sebab itu kita tentu tak bisa terlalu banyak berharap akan lahirnya cendikiawan-cendikiawan besar yang bertindak sebagai penyeimbang gerak arus sejarah kemanusiaan ditengah bisingnya roda kemajuan zaman.

Akhirnya terlalu banyak sisi-sisi cerah lain dari perjalanan PT kita yang mungkin luput ditelisik. Terlepas dari itu semua, selain patut untuk membenahi iklim akademisi dari kesan tertutup, fanatik, pasif, dan serba formalistik, ada baiknya kita patut merenungkan kembali petuah almarhum Sartono Kartodirdjo ihwal laku hidup “asketisme intelektual” memandang kiprah ilmiah-intlektual sebagai aktifitas spritul yang senantiasa dinafasi nilai-nilai kejujuran, ketabahan dan ketuntasan. Karena itu, barangkali perlu dihidupkan kembali mengingat kian memudarnya tradisi ilmiah intelektual perguruan tinggi saat ini.

 

Pudarnya Budaya Intelektual Mahasiswa, mungkin itu ungkapan yang pantas kita ungkapkan, karena hamper sudah tidak ada lagi peran mahasiswa di kampus saat ini yang patut kita acungkan jempol, ada memang sebagian kecil diantara mahasiswa kita, namun seperti yang telah kita bahas sebelumnya, mereka sengaja dikandangkan dan diasingkan bak manusia asing. Mungkinkah orientasi mahasiswa baru tidak lagi berjalan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa yang menyentuh sendi intelektual kita? Bias saja iya, karena mahasiswa baru hanya disuguhi alunan lagu tak berirama. Panggung orientasi hanya sebatas mencari sensasi dan pengenalan pejabat kampus. Orientasi juga hanya sebatas menjalankan ritual perguruan tinggi, namun tidak melaksanakan tujuan orientasi itu sendiri.

Sejarah mencatat peranan mahasiswa dalam fungsinya sebagai agen of change (agen perubahan) dan social control (kontrol sosial), kini telah berbeda. Realitasnya mahasiswa saat ini yang memilih atau diarahkan kepada sikap apatis. Kondisi kampus saat ini, mahasiswa seolah-olah kehilangan roh untuk menjaga sikap kritis, kebenaran, dan rasio. Inilah babak baru dari persoalan kita, mahasiswa diarahkan pola pikirnya kearah pragmatis yang kemudian memudarkan budaya sadar dalam berintelektual. Logika mahasiswa yang sebelumnya beorientasi kearah “perjuangan dan intelektual” justru memiliki kecenderungan sikap “pertukangan dan politik” (hummm..politik tai kucing) mahasiswa kini rela dipekerjakan tanpa harus berpikir kritis. Dalam pemahaman ini, perguruan tinggi memegang peranan sebagai pemasok suku cadang “siap pakai” untuk memermudah roda ekonomi. Mahasiswa diarahkan kepada orientasi koognitif dan teknis belaka, tanpa mempertimbangan aspek sosial-kemanusiaaan.

Mimbar bebas, itulah Kampus yang sebenarnya, namun pada kenyataanya kampus bukan lagi mimbar bebas, tetapi kampus kini menjadi “KAMPUNG PUSAKA”, artinya semua orang memiliki hak yang sama untuk masuk, namun mahasiswa dikekang dengan aturan yang melilit seperti tambang jangkar kapal, boleh dipakai,tapai hanya sebatas penguat kepentingan elit politik. Lihat saja berbagai aturan dikeluarkan pemerintah,mulai dari aturan OSPEK, hingga aturan yang membatasi mahasiswa melakukan protes (katanya demokrasi dan mimbar bebas, kenapa kita dikekang). OSPEK merupakan salah satu wadah dari sekian banyak wadah mahasiswa yang digunakan untuk membentuk karakter dan pola piker mahasiswa, namun OSPEK kini hanya sekedar mitos belaka, atauka kenangan masa lalu.

Kita juga perlu melirik sepintas soal Organisasi Kepemuadaan (OKP), dimana OKP merupakan tambak intelektual para cendekiawan muda bangsa, karena OKP merupakan termpat bernaungnya orang-orang pilihan yang kemudian dibentuk menjadi manusia yang memiliki kapasita keilmuan, kemampuan mengola sumberdaya, kekuatan untuk berbuat dan intelektual untuk melakoni hidup dalam berkehidupan bangsa. Namun OKP kini hanya menjadi kapal ikan yang hanya sekedar menangkap dan menjebak generasi muda untuk memenuhi hasrat OKP. OKP bukan lagi sebagai Organisasi Kepemudaan, tetapi OKP kini telah beralih fungsi menjadi “Orgnisasi Kader Politik”, banyak diantara kita yang pada akhirnya terjebak dalam kelompok elit organisasi yang kini berkamuflase menjadi politikus.

Benarkah OKP tidak melakukan manufer politik? Benarkah OKP tidak melakukan parade politik bertopeng intelektual?. Mungkin tidak asing lagi dan sudah tidak menjadi rahasia public, banyak konglomerat OKP yang datang silih berganti, masuk dan keluar pintu kantor pejabat untuk berjabatangan dan melakukan diel dengan para pejabat itu. Sungguh percaya atau tidak, dintarajabatan tangan itu pasti terjadinya tukar amplop dan idealisme intelektual.

Hehe..miris memang jika kita menelisik soal intelektual dan kampus kita. Kemerosotan Profesionalisme dan intelektualitas tentunya bukan saja karena soalan kampus dengan berbagai aturan hambarnya itu,namun mediajuga ikut berperan penting dalam kemerosotan intelektual dan daya kita. Betapa tidak, media di indonesia seakan tidak lagi independen dengan menganut asas bebas dan beretika, namun media kita kini menjadi corong kepentingan para konglomerat pers. Kepentingan akan elit media menjadi sorotan utama media-media kita, bahkan kaidah jurnlistik tidak lagi menjadi panutan.media saling serang dan saling menjatuhkan demi kepentingan para pemilik saham. Bahkan sebagian media kini hanya berfokus pada hiburan yang tidak mendidik dan terkesan membodohi masyarakat, menyuguhkan tayangan mistik dan pelecehan, bukankah media juga diamanhkan sebagai lembaga informasi dengan menyampaikan informasi yang mendidik masyarakat?, lalu kenapa masih ada program media yang hanya membuat sensasi dan gejolak.

Bahkan lembaga control mediapun seakan tak mampu berbuat apa-apa, bukankah aturan dan etika sudah kita miliki? Lalu kenapa setiap pelanggaran itu tidak ditindak dan disangsikan bagi media yang melanggar.

Sebagai generasi muda tentunya kita memiliki tanggungjawab yang sangat besar untuk kepentingan bangsa ini kedepan, jika kita tidak memulai untuk merubahnya sekarang, maka jangan menyesal dan jangan kucurkan air mata, jika kedepannya keburukan dan ketidak pantasan akan menjadi budaya bangsa ini. Adab dan moral bangsa Indonesia yang sangat jelas terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945 nantinya hanya sebatas jargon Indonesia, namun rakyatnya menjadi keji dan bringas dalam melakukan kejahatan.

Semoga masih ada mahasiswa dan generasi muda Indonesia yang tidak termasuk golongan masyarakat dan penghuni KAMPUNG PUSAKA, karena jika kesemuanya menjadi penghuninya, maka bubarla bangsa ini, pupus sudah harapan kita menjadi bangsa yang besar dan memiliki karakter serta berdiri dengan kaki sendiri serta berkarya dengan karya sendiri.

Memang bukan saatnya lagi kita saling menyalahkan dan saling tuding siapa yang benar dan siapa yang salah, namun yang menjadimasalah adalah, seberapa mampukah kita untuk melakukan hal yang baik dan seberapa bisakah kita berbuat untuk bangsa ini. Semoga intelektual generasi kita tidak hilang ditelan kepentingan, jika intelektualkita telah pudar, maka jangan biarkan intelektualitu hilang dan terhapus, hanya karena setetes keringat busuk dari ketuak Koruptor dan penjilat asing di negeri ini.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten KKN Selengkapnya
Lihat KKN Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun