Mohon tunggu...
Ivan Tahir Hehanussa
Ivan Tahir Hehanussa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

menulis media cetak & online

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Catatan Akhir Tahun"

30 Desember 2015   06:00 Diperbarui: 30 Desember 2015   08:29 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jokowi : “saya tidak apa-apa, disebut presiden gila, presiden saraf, tidak apa-apa, tetapi kalau menyangkut wibawah dan mencatut dengan menyebut meminta Saham 11 % itu yang tidak boleh, tidak boleh yang namanya lembaga Negara dipermainkan”

Kita mungkin tahu Jokowidodo adalah salah satu pejabat Negara yang cukup ramah, sejak menjabat sebagai Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga presiden, kita mungkin baru pernah melihat seorang Jokowi segeram ini. Kasus yang kita kenal dengan nama “Papa Minta Saham” itu sangat menyita perhatian kita, pasalnya dalam kasus tersebut melibatkan orang nomor satu Parlemen dan orang nomor satu istana. Memang kita harus memahaminya, jika kita berada dalam posisi Jokowi,maka kita pun akan melakukan hal yang sama, bayangkan kurang lebih 63 kali nama presiden disebut dalam rekaman yang berdurasi 1,42 menit itu (saya pun akan marah jika disebut gabung dengan geng lain,sementara saya tidak pernah gabung..ada-ada aja ya).

Namun kegaduhan Kasus Papa Minta Saham itu entah kemana perginya, apakah kasus itu hanya sebatas untuk menggulingkan Setya Novanto dari kursi Ketua DPRnya, ataukan untuk mengalihkan isu atas ketidak berhasilnya pemerintah dalam melaksanakan program paket kebijakan ekonomi yang diusung dalam Nawacita Ekonomi. Boleh dong jika kita curiga, kenapa tidak, ekonomi Indonesia terpuruk hingga Rupiah mengalami penurunan hingga mencapai lebih dari 14 ribuh per Dolar AS.

Namun kegaduhan politik sudah terjadi jauh-jauh hari sebelumnya. Diawal tahun 2015, Presiden Jokowi mengajukan Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri. Tiga hari setelah Prosiden mengumumkan calon kapolri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka. BG yang saat itu menjabat sebagai Kepala Divisi Pembinaan Hukum Mabes Polri dijerat dengan sangkaan Korupsi Penerimaan Hadiah atau janji dimana saat itu, BG menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumberdaya Manusia Mabes Polri periode 2003-2006 serta jabatan lainnya di Polri.

Tetapi, penetapan tersangka BG oleh KPK saat itu tidak dihiraukan bahkan sengaja diabaikan oleh DPR, karena sehari setelah ditetapkan sebagai tersangka, Komjen BG akhirnya dinyatakan lulus uji kepatutan dan kelayakan yang dilaksanakan Komisi III DPR RI (aseeek..lulus ujian juga akhirnya). Disinilah arena pertarungan Cicak vs Buaya kembali bergulir.tak lama kemudian aksi balas tembakan dilancarkan oleh Polri. Polri mulai menembak balik KPK dengan menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjanarko. Polri melalui Kabareskrim Budi Waseso (Buwas) menjerat BW dengan sangkaan kesaksian palsu dalam persidangan sengketa Pilkada Kota Waringin Barat tahun 2010. Selain itu, Ketua KPK Abraham Samad mengikuti rekannya dengan menyandang status tersangka atas kasus pemalsuan dokumen kependudukan atas nama Feriyani Liem. Kasus yang di tangani Polda Sulawesi Barat itu menambah semarak kasus Cicak vs Buaya, dan akhirnya Kursi Kapolri dijabat oleh Kompol Badrodin Haiti dan mengangkat Plt Ketua KPK oleh presiden.

Tidak hanya itu, kegaduhan juga terjadi dibeberapa partai politik, Golkardan PP menjadi partai yang harus dibuat sibuk dengan masalah dualism kepemimpinan. Drama legalitas Ketua umum partai Golkar antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksono menjadi salah satu sinetron politik yang lumayan panjang jalan ceritanya. Mereka saling mengakui keabsahan kepemimpinan mereka, hingga terjadinya saling merebut Markas Partai Pohon Beringin itu dan ruangan fraksi. (kasian ya..pada berebut, jatahnya kurang ya.hehehe). Dualisme kepemimpinan juga terjadi pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP), kegaduhan antara Djan Fariz dan Romahurmuziy menjelang Pemilihan Presiden 2014 lalu itu.

Kekisruhan Partai tersebut rupanya berimbas pada kinerja DPR, dimana kinerja DPR tidak seindah janji mereka saat melaksanakan kampanye politik dalam pada Pilek lalu (abis manis sepah dibuang, janjimu cuman janji palsu..hahaha DPR PHPin Rakyat). Jika boleh dibilang kinerja DPR jauh dari produktif, karena 37 RUU yang masuk pada Prolegnas 2015, hanya 3 RUU yang berhasildisahkan melalui Paripurna DPR, ironisnya 2 diantara 3 RUU tersebut hanya revisi undang-undang yang sudah ada, lalu 30 RUU lainnya terabaikan hanya karena mereka lebih mementingkan urusan politik (luar biasa ya..hebat bias terbang).

Presiden Jokowi tentunya tidak ingin diam diri saja. Agustus 2015, Presiden Jokowi merombak awak Kabinet Kerja, dimana 6 posisi menteri harus diganti dan dikocok. Dari 6 menteri tersebut terdapat 4 nama baru dan 2 nama lainnya merupakan awak Kabinet yang hanya bertukar posisi.

Tahun 2015 juga, merupakan tahun kelam bagi sejumlah pejabat Negara, mulai dari politisi hingga mantan menteri seperti Jero Wacik dan Surya Dharma Ali. Selain itu kotak Pandora Korupsi Dana Bantuan Sosial Provinsi Sumatera Utara yang menjerat Gubernur nonaktif Gatot Pujonugroho dan Istrinya Evie Susanti dibuka oleh KPK, hingga menjerat Politisi Nasdem Rio Patric Capela dan Pengacara Senior sekaligus Mantan Ketua Mahkama Partai Nasdem. Bukan hanya itu, Direktur PT. Pelindo II Richard Jors Lino juga ikut-ikutan dijadikan tersangka korupsi pengadaan Mobile Crean QCC oleh Bareskrim Mabes Polri. (kayaknya semua lini di Indonesia ini adalah spot korupsi ya).

Walau tahun 2015 menorehkan catatan kelam yang cukup melelahkan, namun di tahun kelam ini Pemerintah melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) berhasil melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah serentak, dimana pada tanggal 9 desember 2015 merupakan sejarah baru Indonesia dengan terpilihnya 269 kepala daerah di seluruh Indonesia, walaupun terdapat beberapa persoalan sengketa pilkada, tetapi hal ini boleh kita anggap sebagai suatu langkah maju.

Semoga janji Nawacita Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk menjadikan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian yang berlandaskan gotong royong benar-benar dapat terealisasi dimasa yang akan dating. Kita harus memberikan kesempatan dan waktu untuk Pemerintah, agar dapat melaksanakan segala cita-cita dan menghargai setiap usaha yang dilakukan pemerintah, karena hal tersebut tentunya untuk kepentingan rakyat (asal benar-benar untuk rakyat ya..bukan sekedar cari muka hehehe).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun