Dalam sebuah negara yang mengklaim menjunjung tinggi keadilan dan hukum, seorang warganya, Andri Tedjadharma, justru menjadi korban dari praktik kezaliman yang sulit diterima akal sehat. Pemegang saham Bank Centris Internasional ini telah kehilangan segalanya - banknya, hartanya, dan masa produktif hidupnya - akibat keputusan-keputusan sepihak pemerintah yang tidak hanya melukai hak asasinya, tetapi juga menggambarkan wajah buram hukum di negeri ini.
Babak Awal: Perampasan Tanpa Dasar
4 April 1998 menjadi hari yang tidak akan pernah dilupakan oleh Andri Tedjadharma. Pemerintah, tanpa penjelasan yang memadai, membekukan Bank Centris. Dalam sekejap, seluruh aset, dokumen, hingga harta bank tersebut disita.
Setidaknya harta Bank Centris, mulai dari emas, berlian, sertifikat tanah, surat berharga, Â uang puluhan milyar yang tersimpan dalam brankas, kendaraan bermotor dan lain sebagainya, lenyap begitu saja diambil pemerintah (baca: BPPN).
Harta benda yang dibangun dari kerja keras bertahun-tahun seketika lenyap diambil begitu saja tanpa kejelasan hukum. Termasuk piutang bank terhadap nasabah, yang merupakan hak sah Bank Centris.
Tuduhan BLBI yang Tidak Pernah Terbukti
Tidak berhenti di sana, pemerintah melayangkan tuduhan bahwa Bank Centris menerima dana BLBI. Tuduhan ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tahun 1999. Padahal, Bank Centris bukan penerima program BLBI, dan tuduhan tersebut tidak pernah terbukti.
Sebaliknya, atas kehendak Maha Kuasa, dari bukti-bukti yang diajukan pemerintah sendiri berupa audit BPK yang telah disahkan majelis hakim, Bank Centris mampu menunjukkan dan membuktikan adanya perbuatan penipuan dan penggelapan di dalam penyaluran BLBI yang dilakukan orang dalam BI bekerjasama dengan bank swasta lain dengan memanfaatkan transaksi call money over night Bank Centris.
Ironisnya lagi, di tengah proses hukum yang belum selesai, pada tahun 2004, Bank Centris dilikuidasi oleh pemerintah. Keputusan ini diambil secara sepihak, tanpa sepengetahuan para pemegang saham maupun direksi. Padahal, saat itu Bank Centris masih berperkara di Mahkamah Agung. Apakah ini bukan bentuk kezaliman? Hak-hak hukum Andri sebagai warga negara diabaikan begitu saja.
Jual Beli yang Diubah Menjadi Rekayasa
Sejatinya, hubungan Bank Centris dengan Bank Indonesia bukanlah penerima dana BLBI, melainkan sebuah jual beli promes nasabah senilai Rp 492 miliar. Promes nasabah Bank Centris ini pun dijamin dengan lahan seluas 452 hektar yang telah di-hipotek atas nama BI. Di sini, tragedi kezaliman berikutnya terjadi. Terbukti, uang hasil transaksi tersebut tidak pernah diterima oleh Bank Centris. Uang tersebut justru disalurkan ke rekening misterius bernama "Centris International Bank," yang bukan milik Bank Centris.
Rekening misterius bernama "Centris International Bank" bernomor 523.551.000, diduga kuat dibuat oleh oknum dalam Bank Indonesia. Rekening ini bisa ikut terlibat transaksi call money over night Bank Centris dengan bank lain, sebuah tindakan yang jelas melampaui batas kewenangan. Adanya rekening misterius ini juga baru diketahui Andri Tedjadharma dalam proses persidangan dari bukti yang diajukan pemerintah sendiri. Bagaimana mungkin sebuah institusi negara sebesar Bank Indonesia mengizinkan hal ini terjadi?
Jaminan yang Hilang di Tangan Negara
Keanehan dan kezaliman yang dialami dan ditanggung Andri Tedjadharma terus berlanjut. Lahan seluas 452 hektar yang menjadi jaminan dalam transaksi dengan Bank Indonesia, dengan hipotek resmi bernomor 972, kini raib tanpa jejak.
Dalam gugatan Andri Tedjadharma atas perbuatan melawan hukum Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia yang saat ini masih bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Bank Indonesia menyatakan telah menyerahkannya ke Kementerian Keuangan. Namun, Kementerian Keuangan menyatakan tidak pernah ada aset jaminan tersebut. Dalam kata lain, Kementerian Keuangan tidak pernah menerima jaminan dalam pengalihan hak tagih Bank Centris dari Bank Indonesia. Bagaimana mungkin aset sebesar itu bisa lenyap tanpa jejak di tangan institusi negara?
Penyitaan Harta Pribadi
Setelah 26 tahun tanpa kejelasan, Andri Tedjadharma kembali menjadi target pemerintah. Satgas BLBI dan KPKNL menagih secara pribadi kepadanya, menggunakan dasar hukum yang meragukan: salinan putusan Mahkamah Agung yang tidak terdaftar di arsip resmi MA. Dokumen ini, yang keasliannya patut dipertanyakan, digunakan untuk menjustifikasi penyitaan harta pribadi Andri. Bahkan, tidak hanya harta pribadinya yang disita, tetapi juga harta milik istrinya dan juga mulai menyasar anaknya.
Rudolf Yustian, anak semata wayang Andri Tedjadharma, Rabu (20/11) kemarin, dipanggil KPKNL terkait hak tagih negara atas Bank Centris. Rudolf datang ditemani Japaris SH, kuasa hukum Andri Tedjadharma. Usai pertemuan, Rudolf hanya bisa berkomentar sangat lucu apa yang dialaminya. Dia hanya bisa tertawa dan bukannya menangis mendengar tagihan utang Rp4,5 triliun. "Ga tau mau ngomong apa. Pusing. Terserah aja pemerintah dan negara mau bagaimana. Kita jalani aja. Yang saya tahu, faktanya tidak seperti itu," ujarnya. Â
Sementara, Andri Tedjadharma sendiri yang masih diam di rumahnya karena sakit, Â hanya bisa menahan kegeraman. Andri mengatakan, sejak Rudolf berusia 10 tahun, dirinya tidak pernah memberikan apa-apa. Rumah Rudolf itu, dibelinya sendiri dengan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
"Apakah keadilan di negeri ini sudah begitu buta hingga menyerang keluarga yang tak bersalah demi menutupi kesalahan pihak lain!" tutur Andri dengan nada emosi.
Harta, Waktu, dan Kehidupan yang Hilang
Penyitaan ini bukan sekadar penghancuran material, tetapi juga penghancuran kehidupan. Selama 26 tahun, Andri tidak hanya kehilangan hartanya, tetapi juga masa produktif hidupnya. Seluruh energi, waktu, dan pikirannya terkuras untuk menghadapi kezaliman ini. Apa yang terjadi pada Andri Tedjadharma adalah bentuk nyata dari bagaimana sebuah sistem yang seharusnya melindungi warganya malah menjadi alat penindasan. Ia kehilangan kesempatan untuk hidup dengan damai, membangun keluarga, dan berkontribusi lebih besar untuk masyarakat.
Renungan untuk Negeri Ini
Kisah Andri Tedjadharma bukan sekadar cerita pribadi. Ini adalah gambaran nyata dari wajah buram hukum dan keadilan di Indonesia. Apakah kita akan terus membiarkan kezaliman seperti ini terjadi? Sampai kapan hukum menjadi alat yang memihak kekuasaan, bukan rakyat?
Perjuangan Andri Tedjadharma adalah perjuangan untuk seluruh rakyat Indonesia. Ia berdiri tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk memastikan bahwa di masa depan, tidak ada lagi yang menjadi korban dari ketidakadilan serupa.
Sudah saatnya kita bertanya: Apakah ini negeri yang kita impikan? Sebuah negeri di mana hukum melindungi, bukan melukai; di mana keadilan dirasakan, bukan dipermainkan. Jika tidak sekarang kita bersuara, lalu kapan lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H