----
Sore jelang magrib. Aray bergegas menuju Palmerah. Info ini harus segera dibawa ke rapat redaksi.
"Ray, ini beneran serius?" Tanya Dimas, redaktur pelaksana Harian Indonesia, begitu Aray meletakkan bokongnya di kursi ruang rapat.
"Ya, kau cek aja, apakah dokumen itu hasil editan," sahur Aray dengan mimik serius. Â
"Ah, luar biasa. Terus, gimana rencanamu untuk liputan berita besar ini? Apa besok kamu langsung konfirmasi ke mereka?" Tanya Dimas.
"Itu yang aku ingin tanya ke Abang? Apa sebaiknya aku langsung konfirmasi, atau bisa kita jadikan liputan utama untuk pekan depan, komplit dengan kasusnya?" Sahut Aray.
Dimas tampak berpikir. Ia menatap Aray yang juga sedang menatapnya menunggu jawaban.
"Ya, sudah. Jangan konfirmasi dulu. Kita bawa ke rapat redaksi lusa. Kita lihat apa reaksi dari bos dan teman-teman," jawab Dimas. "Tapi, ada bagusnya, besok kamu coba untuk konfirmasi, sehingga di rapat kamu makin mantap untuk rencana liputan utamanya."
"Oke, siap komandan," tegas Aray.
-----
Dua hari kemudian, suasana ruang rapat redaksi Harian Indonesia terasa tegang. Aray, Dimas, Anton, Eko, dan Arif sudah berkumpul. Anton, sang Pemred, membuka rapat.