Banyak komen mengkritik, Jokowi itu menjabat Presiden belum 10 tahun. Jadi, utang 12 tahun itu bukan era Jokowi. Kemana aja 12 tahun baru nagih sekarang?
Begini ceritanya...
Tahun 2008, akses tol bandara Soekarno Hatta, khususnya KM 26-27, seringkali kebanjiran. Banjir membuat akses tol ditutup total. Tidak hanya sehari, bahkan sampai dua hari. Akibatnya, arus jasa, barang dan manusia, terganggu. Banyak kerugian.
Dari situ, dilakukan peninggian dan pelebaran, di kiri dan kanan dengan konstruksi elevated. Kontraktor utama, PT Istaka Karya. Ini salah satu BUMN di bidang konstruksi. Selain Istaka Karya, ada PT PP, Hutama Karya, Wijaya Karya, Waskita Karya, Nindya Karya, Amarta Karya, dll. Â (Banyak deh. Swasta ampe bingung).
Istaka Karya kemudian men-sub pekerjaan. Salah satunya kepada PT JHS. Ini perusahaan swasta yang mensuplai tiang pancang. Nilainya mencapai 4 miliaran. (Ntar dicek lagi, berapa tepatnya). Selain itu juga ada PT swasta lain, yang mengerjakan penimbunan, perataan lahan, dsb. Nilainya, bervariasi.
2009, pekerjaan itu selesai. Mulailah penagihan atas barang dan pekerjaan tersebut. Eh, ternyata boncos. Tagihan sulit didapat. PT Istaka Karya, hanya janji-janji saja.
Sampailah tahun 2012, Istaka Karya di-PKPU. Istaka Karya pailit. Kemudian terjadi hamologasi atau perjanjian perdamaian antara Istaka Karya dengan para kreditur.
Perjanjiannya, utang para kreditur dikonversi menjadi saham. Saham akan dibeli kembali di tahun ke 9. Karena, istaka Karya sahamnya 100 persen dari negara.
2018, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 44. Kata seorang ahli, PP ini memperkuat hamologasi dgn mengatur skema pembelian kembali saham dari kreditur.
Namun, pada 2021, yakni tahun ke-9 dari hamologasi tersebut, Istaka Karya seolah-olah dibikin tidak mampu membayar. Kemudian tercetus keinginan pemerintah untuk menyuntik mati Istaka Karya. Istaka Karya dianggap BUMN hantu. Padahal, tiap tahun, Istaka karya selalu mendapat proyek dari pemerintah, bahkan juga suntikan dana dari APBN.
Dirancanglah Istaka karya untuk dimatikan. Caranya, sangat licik. Yakni, PT PPA (juga BUMN) menggandeng kurator, lalu mencari kreditur yang mau untuk diajak menggugat pembatalan hamologasi. Akhirnya, mereka dapat tuh, kreditor yang mau menggugat pembatalan hamologasi ke PN. Kreditur ini piutangnya kecil. Tidak sampai 1/2 miliar.
Kreditur lain, yang sebelumnya diajak menggugat, membuktikan dirinya dibujuk  dengan iming-iming akan dibayar 20 persen dari utangnya. Kreditur ini menolak melakukan hal itu.
Alhasil, tahun 2022, hamologasi dibatalkan PN sekaligus dinyatakan Istaka Karya pailit. Dalih pailit ini menjadi dasar Presiden Jokowi mengeluarkan PP pembubaran Istaka Karya. Â
Skema pembayaran berdasarkan pailit itu, ini yang menjadi keberatan para kreditur yang sekarang ramai berteriak. Mereka tahu, aset Istaka Karya jauh dari utang kepada kreditur. Hasil penjualan aset akan jatuh, pertama kepada karyawan dan pajak. Lalu, kepada bank. Terakhir baru kepada supplier dan subkon, yang bisa jadi jauh dari utang yang ada.
Para supplier dan subkontraktor menilai seharusnya pemerintah melihat mereka. Mereka lah yang telah bekerja mengeluarkan modal uang, barang dan tenaga. Bukan Istaka Karya.
Pemerintah seharusnya menyelesaikan dulu kejahatan korupsi Istaka Karya yang sudah dibayar lunas oleh kementerian PUPR atau Jasa Marga, tapi tidak membayarkan kepada mereka.
Pemerintah jangan berlindung di balik UU kepailitan. Karena tata kelola perusahaan dan tata kelola pemerintah yang buruk, membuat para supplier dan subkontraktor yang juga rakyat Indonesia, menderita. Menunggu kepastian pembayaran selama 9 Â tahun dimentahkan begitu saja.
Persis seperti kata Ketua MPR, Bamsoet dan Anggota DPR, Masinton, tujuan BUMN adalah mensejahterakan rakyat. Kalau berhutang dan tidak membayar, namanya menyengsarakan rakyat. BUMN adalah milik negara. Ini terjadi moral hazard.
Rakyat (pengusaha swasta) bisa tidak percaya lagi dengan pemerintah. Ini substansi sekali.
Tambahan...
Dalam Istaka Karya terikat hamologasi, Istaka karya tetap mendapat proyek dan suntikan dana. Dan, seharusnya Istaka Karya secara bertahap menyelesaikan utang-utangnya. Akan tetapi, kenyataan, Istaka Karya dalam mengerjakan proyeknya itu, lagi-lagi menerapkan pola yang sama. Sudah dibayar lunas oleh pemilik proyek tapi tidak membayar kepada yang mengerjakan.
Contohnya, proyek underpass Kentungan Yogyakarta. Proyek ini tahun 2018. Akibatnya, pengusaha baru menjadi korban baru. Jadi, bukan soal di era SBY atau era Jokowi. Ini soal pemerintah/negara yang menyengsarakan rakyat dalam bisnisnya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H