Mohon tunggu...
Nurul Hichmah
Nurul Hichmah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Student of International Relations, Universitas Singaperbangsa Karawang

I am an undergraduate student with an interest in tackling climate change and everything related to it. I write about it here! May our earth still exist for another 1000 years! 🌎🌱

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Uni Eropa Pasca Brexit

5 Januari 2023   17:50 Diperbarui: 8 Januari 2023   01:05 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.s-group.com/der-brexit-ist-da/

Brexit menorehkan sejarah bagi perpolitikan Eropa. Istilah Brexit muncul dari kata British Exit yang berarti penarikan keanggotaan Britania Raya dari Uni Eropa. Brexit secara resmi terjadi pada 31 Januari 2020 namun sejarah Brexit dimulai pada tahun 2016 melalui sebuah referendum sebagai solusi dari Uni Eropa untuk menyelesaikan masalah internal Inggris serta dalam rangka mewujudkan demokrasi terbuka. 

Dalam referendum yang diadakan pada 23 Juni 2016, sekitar 52 persen dari pemilih Inggris yang berpartisipasi memilih untuk meninggalkan UE, keputusan ini menjadi panggung bagi Inggris untuk menjadi negara pertama yang melakukannya. 

Brexit pada awalnya merupakan kebijakan nasional Inggris untuk terbebas dari belenggu Uni Eropa meskipun hubungan antara Inggris dan Uni Eropa saling menguntungkan seperti yang terlihat pada bidang ekonomi dan perdagangan. Keputusan Inggris untuk bergabung Komunitas Batubara dan Baja Eropa (ECSC) pada tahun 1964 telah meningkatkan perdagangan Inggris secara signifikan. 

Menurut analisis Penn World keterbukaan perdagangan Inggris sekitar 40% dari akhir 1950-an hingga 1970 - an, meningkat menjadi sekitar 55% dari tahun 1973 hingga 2010.  Manfaat bersih dari keanggotaan UE untuk Inggris mendapatkan hasil positif tetapi marjinal hingga sekitar tahun 1986 ketika Pasar Tunggal diluncurkan. Angka ini berdasarkan pada model ekonometrika hipotesis, asumsi ini didasarkan kepada Inggris yang tidak bergabung dengan UE pada tahun 1973.

Menurut David Ramiro Troitno dalam bukunya Brexit: History, Reasoning and Perspectives,  keputusan Brexit dapat diartikan sebagai peluang bagi reformasi Uni Eropa.  Dorongan reformis dari Brexit dapat meningkatkan integrasi Eropa dalam dua kemungkinan cara yang berbeda. 

Pertama, mungkin membantu untuk mereformasi UE menjadi sistem yang lebih terdiferensiasi yang akan memungkinkan mengakomodasi negara-negara yang ingin berintegrasi dengan berbagai kecepatan dan jangkauan. 

Kedua, setelah "menyingkirkan" pembuat onar dan perampok utama, yaitu Inggris sebagai negara yang menentang integrasi lebih lanjut, UE sekarang dapat mempercepat menuju "persatuan yang semakin dekat". 

Pendapat ini didasarkan pada keanggotaan Inggris dalam Uni Eropa yang sangat kuat, meskipun Inggris bukan salah satu negara pendiri Uni Eropa namun Inggris merupakan satu-satunya negara Eropa yang memiliki perekonomian yang stabil pada saat terjadi Perang Dunia II. 

Setelah memutuskan keluar dari Uni Eropa, Inggris mengalami masa transisi dari segala bidang "Perlunya masa transisi adalah karena itu akan memberikan waktu untuk kesepakatan baru itu sambil memastikan bahwa bisnis hanya perlu beradaptasi dengan aturan non-Uni Eropa setelah kesepakatan di masa depan disetujui."

Menurut Jacobs dalam buku The UE After Brexit mengatakan Uni Eropa akan menghadapi risiko stagnasi, kehati-hatian, dan kurangnya visi, yang lebih kecil kemungkinannya daripada prospek perpecahan.  Oleh karena itu, UE harus melakukan diskusi yang lebih jelas dan jujur tentang tujuan masa depannya. Dalam pendapat lain, referendum Brexit menimbulkan lebih banyak masalah bagi Inggris sendiri. Awalnya, komitmen untuk mengadakan referendum ini digunakan untuk mengelola ketegangan di dalam Partai Konservatif. Masalah intra-partai yang diharapkan terselesaikan secara tertutup justru semakin terbuka dan meluas ke skala nasional, hingga Eropa.

Dampak yang paling signifikan bagi politik Uni Eropa pasca Brexit adalah kekuasaan, sebagai salah satu anggota dewan Uni Eropa, setiap kebijakan Inggris dalam dewan UE sangat dipertimbangkan. Setelah Brexit terjadi, masa transisi tidak hanya dialami oleh Inggris tetapi juga dialami oleh Uni Eropa. 

Menurut Mustafa, kekuatan politik ini bisa menjadi tantangan bagi Uni Eropa dan mendorong pemisahan negara anggota lainnya. Brexit tidak diragukan lagi menempatkan Uni Eropa di bawah tekanan politik dan berusaha membuktikan bahwa Uni Eropa akan mengalami ketidakstabilan dalam perumusan kebijakan politik maupun ekonomi, namun pada kenyataannya, Uni Eropa masih dapat melakukannya dengan lebih cepat dan terarah, meskipun tanpa Inggris.

Referensi

Jacobs, Francis B. 2018. THE EU AFTER BREXIT: Institutional and Policy Implications. Dublin: Springer International Publishing AG.

Mustafa, Ghulam, Mazhar Hussain, and Muhammad A Aslam. 2020. "Political and Economic Impacts of Brexit on European Union." Liberal Arts and Social Sciences International Journal (LASSIJ) 11-23.

Troitio, David Ramiro, Tanel Kerikme, and Archil Chochia. Brexit: History, Reasoning, and Perspectives. Tallinn: Springer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun