Dengan kata lain, literasi kepemiluan berbasis keindonesiaan bisa menjadi cara ampuh menghadapi kebisingan dan potensi kegaduhan berujung SARA. Adalah kesadaran berupa setiap kontestan pemilu merupakan orang Indonesia yang notabene merupakan saudara kita juga sebangsa-setanah air; dengan tidak menganggap latar belakang identitas primordial sebagai sesuatu yang mesti dipersoalkan. Siapapun itu, asal orang Indonesia, berhak dan layak dipilih.
Selain itu, perlunya kesadaran bahwa pemilu merupakan kegiatan profan berkait urusan administrasi Negara/pelayanan publik. Politik apalagi sekadar pemilu, bukan suatu hal sakral. Karena itu, terkata kurang tepat manakala sampai membawa-bawa agama --yang bersifat sakral.Â
Bila dipaksakan, bisa mengakibatkan pada fenomena politisasi agama. Agama yang mengajarkan persatuan, saling menghormati, melarang fitnah; tetapi ketika dihadapkan kepentingan politik pragmatis macam pemilu, bisa berubah sebagai alat pemecah belah. Â Â Â
Rasa persatuan, persaudaraan, dan spirit berketuhanan dalam Pancasila bila terpatri, akan membentuk karakter manusia Indonesia yang santun di percakapan media sosial.Â
Bakal pula berpikir seribu kali sebelum hendak menyebar berita hoaks, kampanye SARA, yang menurut akal orang waras, akan berdampak konflik dan permusuhan. Dan, manakala menemukan anasir-anasir SARA, pun tidak mudah terpancing dan tidak merespons balik. Upaya ini kiranya sebagai bentuk lain menjaga kedamaian di era media sosial; sebagaimana teladan harmonisasi menjaga Indonesia sebagai Desa Pancasila yang sudah dipraktikkan warga desa Balun. Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H