Karena itu, perbedaan selain mesti dirawat, juga mesti menjadi perekat. Tanpa rekatan dan sekatan erat, mustahil perbedaan akan berfaedah. Justru sebaliknya, bila perbedaan dijadikan alat pemecah, maka pelangi keberbedaan menjadi warna tunggal yang menjemukan. Keindahan warna pelangi keberbedaan baru bisa dinikmati saat warna-warna itu berjejer bersederajat.
Warna-warni keindonesiaan dalam tajuk keberbedaan sudah tidak bisa dihindari lagi, dan seyogianya memang demikian. Pembauran dan relasi sudah sedemikian intens apalagi di zaman kepesatan transportasi dan teknologi.Â
Orang Jawa bermukim di Papua, orang Papua kuliah di Jawa. Orang Kalimantan berbisnis di Sumatera, bujang Maluku menikahi gadis Sulawesi. Fenomena tersebut --yang makin sering kita temui-- justru menekankan tentang memahami keluasan Indonesia secara sepenuh arti.Â
Perjumpaan lintas etnis dan lintas agama senantiasa memberikan khazanah dan keluasan perspektif dalam merajut keindonesiaan yang sesungguhnya. Bukan lagi sebatas rangkaian teori.
Tercacat ada 700 lebih bahasa, ribuan pulau, dan enam agama resmi beserta kini pengakuan terhadap aliran kepercayaan yang berjumlah banyak, merupakan variabel keberbedaan yang membutuhkan tenaga tidak sedikit untuk menenun keharmonisan.Â
Paling tidak, ikhtiar kita selama ini --meski banyak menemukan batu sandungan dan kerikil tajam--- telah menghamparkan keberhasilan itu. Semisal, bahasa Indonesia dalam perkembangannya banyak menggali sumber perbendaharaan kosakata dari bahasa daerah.Â
Dalam pergaulan sehari-hari ketika teknologi dan media massa memainkan peran penting, ungkapan-ungkapan suatu daerah tertentu menjadi akrab di telinga kita bersama, telah menasional.Â
Padu-padan intisari keberbedaan juga bisa ditengok manakala tim nasional Indonesia berlaga di lapangan hijau. Para pemain tidak didominasi satu suku. Perbedaan agama yang kemudian menghilirkan perbedaan saat selebrasi kemenangan juga bukan persoalan.Â
Para pendukung (suporter) datang tidak menampilkan asal-usul. Melainkan menyorongkan sepenuh jiwa kebanggaan sebagai orang Indonesia. Desa Pancasila rupanya bisa dihadirkan di atmosfer olahraga untuk kemudian perlu diluaskan cakupannya di sektor kehidupan berbangsa lainnya.
Desa Pancasila di era media sosial
Lantas, apa upaya terbaik menghadirkan spirit Desa Pancasila di era digital, era media sosial; terutama dalam menghadapi kontestasi di tahun politik? Sememangnya sudah banyak aneka tips diuarkan seperti skeptisisme terhadap luberan berita, tidak mudah men-share info, melakukan verifikasi, tabayun, dan semacamnya. Namun juga, tidak kalah penting adalah menanamkan kesadaran perihal keindonesiaan dalam membaca gelaran pemilu.