Mohon tunggu...
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Itsbatun Najih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku Adalah Kamu Yang Lain

Mencoba menawarkan dan membagikan suatu hal yang dirasa 'penting'. Kalau 'tidak penting', biarkan keduanya menyampaikan kepentingannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Bocah-bocah Merah Putih

24 Oktober 2017   11:15 Diperbarui: 24 Oktober 2017   11:25 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Buku Indonesia Adalah Aku

Data buku:

Judul: Indonesia Adalah Aku

Penulis: Heru Kurniawan & Dwi Destiana

Penerbit: Rosdakarya

Cetakan: November 2016

Tebal: 88 halaman

ISBN: 978-979-692-723-4

            Dalam buku-buku pelajaran dan keterangan para guru, anak-anak sekolah dasar selalu ditanam rasa bangga untuk menjadi orang Indonesia. Indonesia itu hebat. Indonesia mempunyai banyak budaya dan adat-istiadat. Indonesia mempunyai banyak tempat wisata elok, dan macam-macam lainnya. Tapi, teramat disayangkan narasi itu kerap sekadar berhenti di ruang kelas. Tidak mewujud menjadi sebenar-sebenar laku untuk lekas dipraktikkan.

Kita sulit mengharap anak sekarang akan menjawab lebih suka melancong ke Pantai Bunaken ketimbang berlibur ke Malaysia-Singapura. Di tengah narasi bahwa luar negeri pasti lebih unggul ketimbang dalam negeri, di situlah bocah-bocah kita secara perlahan merendahkan diri pada kebanggaan bertanah air Indonesia. Buku ini ingin kembali mengajak para bocah untuk lebih secara jujur mengubah haluannya; mengunjungi Bunaken ketimbang memelototi Menara Petronas dan menyusuri Orchard Road.

Titik tumpu anak-anak senyatanya berada dalam kemudi orangtua. Seperti halnya ibu Vino yang secara informatif menceritakan keindahan Bunaken. Vino pun kepincut (hlm: 46). Beruntung Vino punya ibu yang menyorongkan bahwa berwisata di Indonesia tak kalah mengasyikkan ketimbang berplesiran di tanah orang. Secara implisit, buku ini mewedarkan pesan kuat menujukan kepada orangtua agar menularkan rasa nasionalisme kepada anak-anak. Imbauan tersirat ini begitu kuat lantaran kini para orangtua juga dihadapkan pada kaburnya kecintaan pada keelokan negeri sendiri.   

            Aku adalah Indonesia merupakan simbolisasi atas nasionalisme. Bunaken, dan tempat-tempat wisata lainnya, mengajak warga bangsanya sendiri untuk memuliakan dan memberi pemartabatan dengan mengunjunginya. Ada kebaharian yang memesona, terumbu karang dan hewan-hewan laut yang didapat Vino kala menyelam. Tentu ada perjumpaan dengan wisatawan asing. Vino secara ciamik menceritakan pengalaman liburannya di depan kelas. Mempengaruhi teman-teman dan bocah-bocah pembaca untuk menghargai, menjaga, dan mencintai kelestarian kekayaan alam Indonesia.

            Buku ini memberikan artian nasionalisme dengan jalan yang santai. Menyertakan ragam kisah-kisah pendek para bocah dalam mempraktikkan kecintaannya pada Indonesia. Model bercerita seperti ini menjadi gampang diterima dan membekas dalam sanubari pembaca anak. Buku penuh ilustrasi menarik ini melepaskan diri dari simbolitas-simbolitas perihal pengertian Pancasila, butir-butir UUD 1945, dan lain sebagainya. Usia bocah memang lebih menujukan pada level tamsil-tamsil dan contoh keseharian yang mudah dinalar. Buku pun tidak melulu dipenuhi narasi nasionalisme bermakna sempit.

            Seumpama saja, kisah pembuka buku bertajuk Aksi untuk Bumi; mengajak anak-anak sekolah dasar peduli kebersihan lingkungan. Memilah sampah organik dan anorganik. Kesadaran ini penting agar para bocah lekas disadarkan hemat jajan dan pandai mendaur ulang. Kita mafhum tak sedikit bocah abai perkara sampah. Kisah menarik tentang sampah berserakan memunculkan hasrat untuk secara bersama-sama dibersihkan. Tapi, pasti ditemukan satu-dua bocah badung yang enggan. Lewat cerita Marwah Si Pemungut Sampah, Laura disadarkan betapa penting bergotong-royong sebagai ciri khas masyarakat Indonesia menjaga kebersihan lingkungan sekolah (hlm: 67).

              Miniatur Indonesia sering kerap tercipta di ruang kelas. Bocah-bocah datang dari latar asal berbeda-beda. Kesya, misal; ia bersekolah di Bali. Sebagai bocah yang tidak asli Bali, tapi teranggap bukan menjadi soal bila ia menekuni tari tradisional Bali. Cerita Kesya berpesan bahwa dalam konteks kebudayaan Indonesia yang berlimpah, orang Bugis diperkenankan menggeluti budaya Jawa; begitupun sebaliknya. Kesya juga berkukuh tidak tertarik tarian modern yang kini menjadi primadona seraya mengikis tari tradisional. 

            Aktualisasi menjadi Indonesia di zaman digital seperti sekarang oleh para bocah SD bisa dinukil dari selembar uang dua ribu rupiah. Suatu kali Bu Guru menugaskan setiap anak membawa uang kertas bergambar pahlawan nasional. Oleh Putra, ia membawa lembaran dua ribu rupiah bergambar Pangeran Antasari. Bu Guru lantas meminta siswa paling pandai itu menerangkan sepak terjang pahlawan asal Kalimantan. "Antasari adalah seorang pangeran. Meskipun dari kalangan berada, tapi, ia turut merasakan penderitaan rakyat karena dijajah.  Pangeran Antasari telah melakukan banyak pengorbanan. Hidupnya diisi dengan perjuangan bersama rakyat"  tukas Putra (hlm: 77).

            Buku ini mengajak kalangan belia untuk mengenang dan meneladani jasa para pahlawan. Dimulai dengan laku-laku sederhana; dengan bijak menggunakan uang. Tidak menjadi gemar jajan. Jika boros, sama saja tidak menghargai jasa pahlawan yang tergambar dalam lembaran uang (hlm: 42). Buku ini patut menjadi referensi bagi orangtua menjabarkan nasionalisme dan membangun mentalitas luhur bagi anak-anaknya sebagai calon pemimpin bangsa.

            Apakah buku ini menyasar kalangan bocah semata? Tentu tidak! Buku juga menjadi satire kepada orangtua bahwa nasionalisme merupakan milik semua orang Indonesia sebagai nyawa ketahanan suatu bangsa. Maka, salah satu implementasinya adalah para orangtua hendaknya pula lebih mencintai produk-produk dalam negeri ketimbang lebih gemar berbelanja produk luar negeri. Kontekstualisasi nasionalisme orang dewasa/para orangtua bakal menjadi landasan para bocah/anak-anaknya untuk meneladani secara kontinu.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun