Buku ini memberikan artian nasionalisme dengan jalan yang santai. Menyertakan ragam kisah-kisah pendek para bocah dalam mempraktikkan kecintaannya pada Indonesia. Model bercerita seperti ini menjadi gampang diterima dan membekas dalam sanubari pembaca anak. Buku penuh ilustrasi menarik ini melepaskan diri dari simbolitas-simbolitas perihal pengertian Pancasila, butir-butir UUD 1945, dan lain sebagainya. Usia bocah memang lebih menujukan pada level tamsil-tamsil dan contoh keseharian yang mudah dinalar. Buku pun tidak melulu dipenuhi narasi nasionalisme bermakna sempit.
      Seumpama saja, kisah pembuka buku bertajuk Aksi untuk Bumi; mengajak anak-anak sekolah dasar peduli kebersihan lingkungan. Memilah sampah organik dan anorganik. Kesadaran ini penting agar para bocah lekas disadarkan hemat jajan dan pandai mendaur ulang. Kita mafhum tak sedikit bocah abai perkara sampah. Kisah menarik tentang sampah berserakan memunculkan hasrat untuk secara bersama-sama dibersihkan. Tapi, pasti ditemukan satu-dua bocah badung yang enggan. Lewat cerita Marwah Si Pemungut Sampah, Laura disadarkan betapa penting bergotong-royong sebagai ciri khas masyarakat Indonesia menjaga kebersihan lingkungan sekolah (hlm: 67).
       Miniatur Indonesia sering kerap tercipta di ruang kelas. Bocah-bocah datang dari latar asal berbeda-beda. Kesya, misal; ia bersekolah di Bali. Sebagai bocah yang tidak asli Bali, tapi teranggap bukan menjadi soal bila ia menekuni tari tradisional Bali. Cerita Kesya berpesan bahwa dalam konteks kebudayaan Indonesia yang berlimpah, orang Bugis diperkenankan menggeluti budaya Jawa; begitupun sebaliknya. Kesya juga berkukuh tidak tertarik tarian modern yang kini menjadi primadona seraya mengikis tari tradisional.Â
      Aktualisasi menjadi Indonesia di zaman digital seperti sekarang oleh para bocah SD bisa dinukil dari selembar uang dua ribu rupiah. Suatu kali Bu Guru menugaskan setiap anak membawa uang kertas bergambar pahlawan nasional. Oleh Putra, ia membawa lembaran dua ribu rupiah bergambar Pangeran Antasari. Bu Guru lantas meminta siswa paling pandai itu menerangkan sepak terjang pahlawan asal Kalimantan. "Antasari adalah seorang pangeran. Meskipun dari kalangan berada, tapi, ia turut merasakan penderitaan rakyat karena dijajah.  Pangeran Antasari telah melakukan banyak pengorbanan. Hidupnya diisi dengan perjuangan bersama rakyat"  tukas Putra (hlm: 77).
      Buku ini mengajak kalangan belia untuk mengenang dan meneladani jasa para pahlawan. Dimulai dengan laku-laku sederhana; dengan bijak menggunakan uang. Tidak menjadi gemar jajan. Jika boros, sama saja tidak menghargai jasa pahlawan yang tergambar dalam lembaran uang (hlm: 42). Buku ini patut menjadi referensi bagi orangtua menjabarkan nasionalisme dan membangun mentalitas luhur bagi anak-anaknya sebagai calon pemimpin bangsa.
      Apakah buku ini menyasar kalangan bocah semata? Tentu tidak! Buku juga menjadi satire kepada orangtua bahwa nasionalisme merupakan milik semua orang Indonesia sebagai nyawa ketahanan suatu bangsa. Maka, salah satu implementasinya adalah para orangtua hendaknya pula lebih mencintai produk-produk dalam negeri ketimbang lebih gemar berbelanja produk luar negeri. Kontekstualisasi nasionalisme orang dewasa/para orangtua bakal menjadi landasan para bocah/anak-anaknya untuk meneladani secara kontinu. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H