Mohon tunggu...
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Itsbatun Najih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku Adalah Kamu Yang Lain

Mencoba menawarkan dan membagikan suatu hal yang dirasa 'penting'. Kalau 'tidak penting', biarkan keduanya menyampaikan kepentingannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sumpah Nasionalisme Habibie

20 Agustus 2016   21:45 Diperbarui: 20 Agustus 2016   21:48 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumpahku!

Terlentang!!!

Djatuh! Perih! Kesal!
Ibu pertiwi
Engkau pegangan
Dalam perdjalanan
Djanji pusaka dan sakti
Tanah tumpah darahku

Makmur dan sutji!!!

Hantjur badan
Tetap berdjalan
Djiwa besar dan suci
Membawa aku, padamu!!!

(Sumpah Habibie, Jerman 1959)

Habibie tampak gamang. Mendapat tawaran berkarier di Boeing. Setumpuk fasilitas kemapanan terbentang bila ia menerima. Tapi, bukankah Ibu Pertiwi menunggunya untuk segera lekas pulang. Sang terkasih, Ainun, mengingatkan kembali sumpah suami yang pernah ia ucapkan di saat sakit keras. Dan, si jenius akhirnya menampik.

Indonesia adalah bentangan meluas dalam pulau-pulau. Imaji kebesaran bangsa terpatri sedemikian mendalam kala Habibie pulang dari acara khitanannya di Gorontalo, kampung Papi Alwi. Belum sembuh benar Habibie kecil lalu lekas kembali pulang ke Pare-pare dengan menaiki kapal laut. Ada tiga hari dibutuhkan Rudy, nama asli Habibie, bertanya segala hal kepada sang Ayah dalam perjalanan menyusuri laut. Mengapa kita butuh waktu lama di kapal? Kalau kita ke kampung Mami di Jawa, akan lebih lama lagi di kapal, ya?

Gina S. Noer dalam Rudy: Kisah Masa Muda Sang Visioner menarasikan bahwa sang Papi Alwi lekas bertukas: meringkas perjalanan bias dengan menaiki kapallalutu, kapal terbang.

Burung besi itu laiknya monster yang bersiap memakan siapa saja dan menghancurkan segala. Termasuk masa kecil Rudy. Pesawat tempur merupakan penghancur dan ia teramat membenci. Ia tidak bisa lagi mengkhatamkan buku. Berasyik-mansyuk dalam jelajah penasaran keingintahuan khas bocah.

Di tempat pengungsiannya yang jauh dari pusat kota akibat bombardir pasukan Belanda, ia terpaksa bergumul dengan sebaya yang berbahasa Bugis. Rudy tergagap. Canggung dan tak terbiasa. Di kampungnya ia mahir berinteraksi bahasa Belanda dalam keseharian lingkup keluarga dan buku-buku yang ia pegang saban saat. Tapi, imaji sebagai sesama bagian dari Ibu Pertiwi lekas menjadikan mereka bergembira bermain bersama. Semenjak kecil pun, Rudy telah bergumul dengan siapa saja. Yang berbeda agama, yang berlainan etnis pula. Sejak bersekolah SMA, Habibie berpunya teman, Ken Leharu (Lim Keng Kie). Dan, terus berlanjut di Aachen.

Aachen, wilayah paling Barat di Jerman itu berdekatan dengan Belanda dan Belgia. Suatu kali, Rudy berkesempatan menyusuri jalanan Amsterdam. Rudy terpukau dan kagum dengan kemegahan Hotel Amstel. Kesadaran patriotik tiba-tiba menyembul: Bukankah ini semua dibangun dari sumber daya Indonesia. Rudy teringat peluh petani-petani di Parepare.

Bahasa difungsikan sekadar media/alat. Di SMA di Bandung, Rudy harus tergopoh-gopoh mengikuti les bahasa Indonesia. Ia dianggap tak lancar berbahasa bangsanya sendiri. Ia menolak. Tapi, ia disadarkan bahwa nanti ia akan mengokomunikasikan inovasinya kepada masyarakat Indonesia dengan bahasa Indonesia pula. Senyatanya bahasa bukan sebagai identitas yang menubuh membentuk pribadi lain. Rudy tetap tulen Indonesia.

Bung Karno menepuk-nepuk sang jenius ini: Kamu ini harapan bangsa!

Dalam kunjungannya ke Bonn 1955, Sang Prokalamator itu menekankan pentingnya Indonesia berpunya kemandirian dalam sarana-prasarana perhubungan. Indonesia adalah gugusan pulau-pulau. Mengingatkan kembali Gorontalo ke Parepare; dan meluas lagi pada Yogyakarta, muasal Maminya. Pesan Bung Karno menyesapkan bahwa sekembali ke Tanah Air, mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang saat itu sedang di Jerman, harus mampu membuat kapal laut dan pesawat terbang agar bisa menjangkau seluruh wilayah Nusantara.

Rudy tahu betul membangun Indonesia dari sisi lain dalam rangka mencintai Indonesia itu sendiri.

Ia marah dan melotot. Seorang koleganya membujuk agar dirinya menetap di Jerman. Rudy seperti dicabik rasa nasionalismenya kala sedang sibuk mengonsep pembuatan industri pesawat terbang di Indonesia saat pulang nanti. Kolega itu heran kenapa Indonesia yang lagi tidak kondusif akibat Konferensi Meja Bundar (KMB) dan diambang kebangkrutan itu, di sisi lain ada anak muda yang justru hendak membuat pesawat untuk negerinya. Tapi, Rudy mantap terhadap sumpahnya: Aku tetap akan pulang ke Indonesia. Menjadi bermanfaat untuk Indonesia. Bukan untuk Jerman.

Rudy berperan penting dalam gelaran konferensi Persatuan Pelajar Indonesia dalam tajuk Seminar Pembangunan kali pertama di Eropa. Bersama Lim Keng Kie menjadi penggerak mahasiswa-mahasiswa di Jerman untuk menggalang ide-ide guna memberikan kontribusi bagi Indonesia.

Jerman bagi Rudy tak lebih sekadar tanah rantau. Jerman hanyalah tempat menempa beroleh pengalaman dan pengetahuan. Hilir semua ini tetaplah Indonesia. Membangun Indonesia lewat pengetahuan dan ilmu.

Papinya yang seorang terpelajar membuat kehidupan ekonomi dan status sosial begitu tercukupi dan berlebih. Alhasil, pikirnya kala itu, pendidikan merupakan satu-satunya jalan beroleh kemuliaan hidup. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Maminya rela menjual harta benda asalkan Habibie dapat bersekolah di Jerman. Di Jerman lah pusat studi industri pesawat kala itu. Kecerdasan Habibie sejak kecil lah sebagai peyakin keluarga bahwa ia mengharumkan Indonesia.

Dus, Ia mengandaikan membangun Indonesia dengan kreasi pesawat; yang tersusun dari gabungan ilmu-ilmu eksakta dan kemendetailan. Butuh ilmu. Rudy tahu Indonesia kaya sumber daya alam. Tapi, bila tak disertai ilmu, bukankah akan menjadi kutukan.

Dan, membincang suami setia nan romantis ini tentu bukan penggarapan pada personal kejeniusannya semata. Pesawat adalah instrumen saja. Ada harapan besar mendorong anak-anak muda Indonesia bisa seperti dirinya. Membangun Indonesia lewat ilmu pengetahuan sehingga dapat mengurus dengan baik potensi kekayaan alam negeri ini. Bukan terus-menerus mengandalkan kejemawaan pada berlimpah tambang dan ikan yang menghasilkan fenomena satir: menjadi kuli di negeri sendiri.

Ia pun lantas membuat program beasiswa terkhusus bagi mereka setelah lulus SMA untuk dapat langsung menimba ilmu di Eropa dan Amerika. Habibie ingin Indonesia berlimpah anak-anak cerdas yang siap membangun Indonesia. Terkira mahfum, sisi-melik macam berpunya keahlian membuat pesawat terbang dan sejenisnya masih langka dipunya negeri ini. Di sisi lain, negara-negara berkembang lain telah berbondong-bondong memberikan beasiswa serupa ke rakyatnya berpamrih kemajuan negaranya.

Habibie memberikan tongkat estafet kepada para penerus negeri ini. Jelas tak ada keinginan Habibie merupakan perlambang manusia jenius pertama dan terakhir atau satu-satunya di republik ini. Terkira bahwa Habibie berhasrat memberikan kesempatan yang sama kepada anak-cucunya untuk bisa bersekolah ke manca. Hakulyakin dengan pemerolehan akses pendidikan macam dirinya, nyatanya tak sedikit putra Indonesia lekas mengharumkan nama bangsa.

Tapi, bukankah mencari orang pintar sudah sedemikian gampang di era global dan di kala sekat-sekat primordial gampang memudar. Pun, aras nasionalisme tampaknya kurang relevan dalam diktum pergaulan internasional macam sekarang. Di sinilah sebuah pengecualian seorang Habibie. Dan, beliau sebagai tamsil berkomitmen bersetia kepada Indonesia.

Penolakan berkarier di perusahaan besar luar negeri –yang seharusnya amat berguna bagi kepentingannya sendiri dan keluarga, dan justru memilih pulang kampung membangun Indonesia memang terasa heroik dan perlu diteladani. Bersumpah untuk merangkul menjadi sepenuh manusia Indonesia. Menolak menjadi warga negara Jerman dan Filipina.

Kini, ada ribuan pemuda Indonesia bersekolah di manca. Berdiaspora di banyak negara maju. Tak sedikit yang memutuskan menetap di sana. Sebagian berdalih pulang ke Indonesia sama dengan bersiap-siap dengan lingkup kehidupan akademik yang tak mendukung untuk peningkatan karier. Minim fasilitas-infastruktur dan bergaji minim.

Padahal mereka adalah aset bangsa guna memberikan dan menelurkan ilmunya demi ekspektasi kemajuan Indonesia. Pembeda dari semua ini bernama nasionalisme. Sejauh mana aspek cinta Tanah Air terus bersemayam dalam sanubari. Terlepas dari itu, sumpah nasionalisme Habibie di atas menjadi spirit, renungan, sekaligus keinsyafan pada diri kita masing-masing perihal sudah seberapa besar kontribusi kita untuk Indonesia. (Muhammad Itsbatun Najih)

NB: Artikel di atas diikutkan dalam "Pameran foto Habibie dan gebyar aneka lomba yang diselenggarakan berbagai komunitas yang tergabung dalam Friends Mandiri Museum. Pameran ini dibuka untuk umum mulai 24 Juli 2016 hingga 21 Agustus 2016 di Museum Bank Mandiri, Kota Tua - Jakarta Barat"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun