Mohon tunggu...
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Itsbatun Najih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku Adalah Kamu Yang Lain

Mencoba menawarkan dan membagikan suatu hal yang dirasa 'penting'. Kalau 'tidak penting', biarkan keduanya menyampaikan kepentingannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sumpah Nasionalisme Habibie

20 Agustus 2016   21:45 Diperbarui: 20 Agustus 2016   21:48 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aachen, wilayah paling Barat di Jerman itu berdekatan dengan Belanda dan Belgia. Suatu kali, Rudy berkesempatan menyusuri jalanan Amsterdam. Rudy terpukau dan kagum dengan kemegahan Hotel Amstel. Kesadaran patriotik tiba-tiba menyembul: Bukankah ini semua dibangun dari sumber daya Indonesia. Rudy teringat peluh petani-petani di Parepare.

Bahasa difungsikan sekadar media/alat. Di SMA di Bandung, Rudy harus tergopoh-gopoh mengikuti les bahasa Indonesia. Ia dianggap tak lancar berbahasa bangsanya sendiri. Ia menolak. Tapi, ia disadarkan bahwa nanti ia akan mengokomunikasikan inovasinya kepada masyarakat Indonesia dengan bahasa Indonesia pula. Senyatanya bahasa bukan sebagai identitas yang menubuh membentuk pribadi lain. Rudy tetap tulen Indonesia.

Bung Karno menepuk-nepuk sang jenius ini: Kamu ini harapan bangsa!

Dalam kunjungannya ke Bonn 1955, Sang Prokalamator itu menekankan pentingnya Indonesia berpunya kemandirian dalam sarana-prasarana perhubungan. Indonesia adalah gugusan pulau-pulau. Mengingatkan kembali Gorontalo ke Parepare; dan meluas lagi pada Yogyakarta, muasal Maminya. Pesan Bung Karno menyesapkan bahwa sekembali ke Tanah Air, mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang saat itu sedang di Jerman, harus mampu membuat kapal laut dan pesawat terbang agar bisa menjangkau seluruh wilayah Nusantara.

Rudy tahu betul membangun Indonesia dari sisi lain dalam rangka mencintai Indonesia itu sendiri.

Ia marah dan melotot. Seorang koleganya membujuk agar dirinya menetap di Jerman. Rudy seperti dicabik rasa nasionalismenya kala sedang sibuk mengonsep pembuatan industri pesawat terbang di Indonesia saat pulang nanti. Kolega itu heran kenapa Indonesia yang lagi tidak kondusif akibat Konferensi Meja Bundar (KMB) dan diambang kebangkrutan itu, di sisi lain ada anak muda yang justru hendak membuat pesawat untuk negerinya. Tapi, Rudy mantap terhadap sumpahnya: Aku tetap akan pulang ke Indonesia. Menjadi bermanfaat untuk Indonesia. Bukan untuk Jerman.

Rudy berperan penting dalam gelaran konferensi Persatuan Pelajar Indonesia dalam tajuk Seminar Pembangunan kali pertama di Eropa. Bersama Lim Keng Kie menjadi penggerak mahasiswa-mahasiswa di Jerman untuk menggalang ide-ide guna memberikan kontribusi bagi Indonesia.

Jerman bagi Rudy tak lebih sekadar tanah rantau. Jerman hanyalah tempat menempa beroleh pengalaman dan pengetahuan. Hilir semua ini tetaplah Indonesia. Membangun Indonesia lewat pengetahuan dan ilmu.

Papinya yang seorang terpelajar membuat kehidupan ekonomi dan status sosial begitu tercukupi dan berlebih. Alhasil, pikirnya kala itu, pendidikan merupakan satu-satunya jalan beroleh kemuliaan hidup. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Maminya rela menjual harta benda asalkan Habibie dapat bersekolah di Jerman. Di Jerman lah pusat studi industri pesawat kala itu. Kecerdasan Habibie sejak kecil lah sebagai peyakin keluarga bahwa ia mengharumkan Indonesia.

Dus, Ia mengandaikan membangun Indonesia dengan kreasi pesawat; yang tersusun dari gabungan ilmu-ilmu eksakta dan kemendetailan. Butuh ilmu. Rudy tahu Indonesia kaya sumber daya alam. Tapi, bila tak disertai ilmu, bukankah akan menjadi kutukan.

Dan, membincang suami setia nan romantis ini tentu bukan penggarapan pada personal kejeniusannya semata. Pesawat adalah instrumen saja. Ada harapan besar mendorong anak-anak muda Indonesia bisa seperti dirinya. Membangun Indonesia lewat ilmu pengetahuan sehingga dapat mengurus dengan baik potensi kekayaan alam negeri ini. Bukan terus-menerus mengandalkan kejemawaan pada berlimpah tambang dan ikan yang menghasilkan fenomena satir: menjadi kuli di negeri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun