Minggu terakhir bulan Ramadhan merupakan momen orang kota/rantau untuk pulang ke udik/desa yang bersebut mudik. Inilah momen orang daerah kembali menyusuri tempat kelahirannya setelah setahun ditinggalkan. Dalam rentang 360 hari, orang rantau memburu kemapanan di Jakarta. Dan, jalan-jalan kampung yang tidak mulus tiba-tiba lalu-lalang oleh mobil dan sepeda motor anyar.
Mereka juga membagikan sebagian kesejahteraan materinya kepada saudara dan tetangga. Menandakan dirinya lumayan sukses dan hidup berkecukupan di Ibu Kota. Tak pelak, orang-orang desa terutama para pemuda tergiur untuk menjadi seperti mereka: bermobil dan berlebih uang. Dari sinilah secara pelan namun pasti, pemuda desa berhasrat merantau ke Jakarta. Meninggalkan udik, meninggalkan ladang persawahan beserta ternak sapi-kambing.
Kondisi kini kita tentu mafhum berkehidupan di sektor pertanian lebih banyak menggaransi ketidakpastian. Butuh biaya tidak sedikit untuk sekali bercocok tanam. Kendala pupuk: sering langka dan kian mahal. Saat panen tiba, belum bisa dipastikan akan sesuai harapan. Padahal momen padi menguning dan rentang setahun bertanam tebu, misalkan, merupakan masa yang harusnya membahagiakan bagi petani.
Tapi, cuaca sekarang ini sudah tidak seperti dulu, yang tidak dapat diprediksi. Kata sebagian ahli, dampak adanya pemanasan global. Saya sama sekali tidak menyalahkan alam. Karena pemanasan global merupakan buah dari ulah manusia. Ruwetnya pertanian juga diakibatkan oleh ulah tengkulak. Kita tahu kalau petani padi akan girang bukan kepalang bila harga beras lumayan tinggi. Secara ekonomi, mereka untung besar.
Tapi, begitu harga beras naik, masyarakat langsung berteriak. Imbasnya, pemerintah sekonyong-konyong mengeluarkan kebijakan impor beras. Dan, harga beras kembali normal untuk tidak mengatakan jatuh. Petani kita tak dapat untung. Jadi, wajar apabila petani kita didominasi generasi tua yang masih bersetia bergatal-gatal dan berpanas-panas terjun di pematang sawah. Akibatnya, pemuda desa lebih memilih ke kota. Meski pekerjaan di kota tak selalu menyenangkan. Tapi, bukan di Jakarta perkara/barang apapun bisa dikomersialkan dan dibuat uang? Semir sepatu, jualan koran, bahkan asongan toh mampu hidup di kerasnya kota yang konon melebihi kejamnya ibu tiri itu.
Setali tiga uang dengan perkara urbanisasi, arus migrasi penduduk luar Jawa ke Jawa juga patut dicemaskan. Pada 2010, saya untuk pertama kali menginjakkan kaki di ranah Minang. Saya cukup terhenyak, Bandara Internasional Minangkabau terlihat sepi. Dan, sedikit keluar dari bandara dengan menyusuri jalanan Kota Padang saya merasakan kesepian itu semakin terasa. Saya lihat pemandangan kanan-kiri tampak masih jarang rumah penduduk. Jarak satu rumah dengan rumah lain lumayan jauh. Yang terhampar tak lebih pemandangan lahan kelapa sawit dan lahan kosong.
Setiba di Kabupaten Solok untuk menghadiri pernikahan saudara, saya kembali terhenyak dengan keramaian pusat kotanya yang bisa saya samakan setara dengan keramaian di tingkat kecamatan di daerah saya, Kudus. Pun, pemandangan macam ini bias kita jumpai di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Tidak sedikit penduduk di pulau-pulau itu datang ke Jawa/ke Jakarta untuk sekolah dan terutama bekerja.
Tak hanya penduduk tiga pulau itu, bahkan penduduk Jawa pun berduyun-duyun ke Jakarta. Beberapa kali saya bersilaturahim ke tempat saudara di Jakarta dengan menaiki bus. Dan, bus jurusan Kudus-Jakarta nyatanya tidak hanya satu-dua bus. Tapi satu perusahaan otobus bisa memberangkatkan 4 sampai 6 bus setiap malam. Padahal ada lima bahkan lebih perusahaan otobus. Walhasil, sememangnya sangat banyak orang Kudus dan daerah sekitarnya yang berbondong-bondong ke Jakarta setiap malamnya. Itu pun belum di kota-kota lainnya di kawasan Pantura yang juga kiranya sama demikian. Totalkan sendiri serbuan mereka setiap hari ke Jakarta.
Kita tahu, banyak hasil alam berupa bahan sembako didatangkan dari kawasan Jawa Tengah, Jawa Timur, serta Jawa Barat; untuk dikonsumsi penduduk Jakarta. Kita pun tahu bahwa sapi-sapi asal NTB didatangkan pula untuk memenuhi pasar-pasar di Ibu Kota.
Kita pun tahu, bahwa Bung Karno telah mengkonsepsikan Ibu Kota kita idealnya di Palangkaraya. Konsep macam ini berlandaskan Palangkaraya sebagai titik tengah lanskap keluasan wilayah bersebut Nusantara dan dirasa paling aman dari ancaman gempa bumi. Kiranya Bung Karno telah memprediksi Jawa akan penuh sesak dan akan terus berjubel kala semua urusan dan kepentingan menumpuk di Jawa, Jakarta.
Sekali lagi, kita pun tahu bahwa Nusantara dahulu adalah lanskap tentang keadilan dan kemakmuran. Justru cerita Nusantara diawali dari tanah Maluku dengan kekayaan rempah. Maluku adalah simbol kejayaan dan kemasyhuran. Lebih dari itu, di Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatra berjejer kerajaan yang di mana kita menduga-duga adanya narasi kemakmuran dengan keadilan distributive yang terkandung.
Apa kaitannya? Saya tidak mengatakan kita lebih cocok bermodel seperti dulu; sistem kerajaan/monarki absolut.
Di zaman kini, nyatanya ada beberapa negara yang mempunyai dua bahkan tiga kota yang dijadikan sebagai ibu kota negara. Dalam konteks Indonesia, kiranya ibu kota pertama merupakan pusat pemerintahan/administratif, ibu kota kedua berorientasi pada orientasi ekonomi. Dan Jakarta, di mana semua urusan bertumpuk dalam satu wilayah yang sempit dan terus menyesak.
Atawa dalam tataran yang lebih rinci; semisal di setiap pulau ada kota besar yang menjadi rujukan penopang Jakarta sebagai ibu kota. Makassar di Sulewesi, Medan-Pekanbaru di Sumatera, Palangkaraya-Samarinda di Kalimantan. Dengan artian, bahkan harus ada pemaksimalan pembangunan fisik khususnya di setiap ibu kota provinsi. Di bidang pendidikan, kini ada kecenderungan orang Sumatera sudah tidak perlu jauh-jauh lagi sekadar untuk kuliah di Yogyakarta. Lantaran di sana telah banyak berdiri perguruan tinggi berkualitas pula.
Begitu juga dengan urusan pangan. Idealnya setiap pulau ada beberapa kota yang dapat dijadikan lumbung pangan. Dan, diidealkan mampu mencukupi kebutuhan penduduk satu pulau atau satu provinsi tersebut. Sehingga menciptakan kemandirian. Tidak melulu menggantungkan hasil pertanian dari Jawa dan sapi dari NTB.
Begitupun dengan urusan pertanian dan peternakan di Jawa sendiri; agar di Jawa Tengah dan Yogyakarta missal, mempunyai lumbung padi khusus untuk memnuhi kebutuhan satu provinsi tersebut. Tidak terus menggantungkan lumbung padi nasional di Jawa Barat. Maka, perlu juga dibangun sarana infrastruktur seperti irigasi yang sering menjadi kendala besar pertanian. Pun, pembangunan waduk juga diperbanyak sebagai upaya konkret mendukung swasembada pangan.
Lebih dari itu, urusan pangan memang perlu menyesuaikan kultur daerah asal. Apalagi ini juga berkait dengan masalah iklim yang sudah sulit diprediksi. Dan, tanaman sorgum adalah tanaman masa depan bangsa ini ketika tanaman pangan ini mampu bertahan di cuaca ektrim dan kering.
Kini, Presiden Joko Widodo telah membuat gebrakan dengan menggenjot pembangunan infrastruktur di luar Jawa untuk mengurangi ketimpangan kesejahteraan. Pembangunan jalan tol , pelabuhan, dan bahkan tol laut digeber.
Jalan rusak juga berdampak pada teriolasinya suatu daerah. Bahkan beberapa waktu lalu akses ke Raja Ampat dan Anambas sebagai destinasi wisata bahari sangat sulit dijangkau. Wajar bila wisatawan kita dan manca justru lebih senang melancong ke Singapura dan Malaysia.
Saya sangat mendamba setiap daerah/pulau di mana provinsi-provinsinya mempunyai keunggulan dan spesialisasi masing-masing. Kita yakin setiap daerah mempunyai keunikan tersendiri. Dan, kala urusan transportasi kian lancar karena kini sedang digenjot akses pembangunan infrastruktur jalan tol, rel kereta api dan tol laut akan semakin mempertegas kemunculan keunikan di saban daerah/provinsi.
Maka, inilah sebenarnya peran penting Kementerian Pekerjaan Umum sebagai lokomotif mewujudkan pembangunan yang bersifat Indonesia sentris. Bila jalan semakin mulus dan sarana pembangunan irigasi serta waduk diperbanyak, saya yakin hal ini akan berdampak terhadap penurunan angka urbanisasi dan migrasi.
Beberapa kali, Presiden Jokowi seakan mampu menggeser kesakralan Istana Merdeka dengan seringnya menggelar pertemuan/keputusan penting di Istana Bogor. Jadi, boleh kiranya saya berharap apabila kesakralan Jakarta sebagai ibu kota bias digeser di kota lain, terutama di luar Jawa. Dengan setidak-tidaknya hanya menjadikan Jakarta sebagai ibu kota administratif dengan lingkup terbatas. Sedang ibu kota urusan bisnis, pusat kebudayaan dan full administrasi bisa dibagi kota-kota besar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Dan, saya yakin saya akan lebih sering berkunjung ke luar Jawa. Bukankah peribahasa di mana ada gula pasti di situ ada semut masih akan terus berlaku?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H