Apa kaitannya? Saya tidak mengatakan kita lebih cocok bermodel seperti dulu; sistem kerajaan/monarki absolut.
Di zaman kini, nyatanya ada beberapa negara yang mempunyai dua bahkan tiga kota yang dijadikan sebagai ibu kota negara. Dalam konteks Indonesia, kiranya ibu kota pertama merupakan pusat pemerintahan/administratif, ibu kota kedua berorientasi pada orientasi ekonomi. Dan Jakarta, di mana semua urusan bertumpuk dalam satu wilayah yang sempit dan terus menyesak.
Atawa dalam tataran yang lebih rinci; semisal di setiap pulau ada kota besar yang menjadi rujukan penopang Jakarta sebagai ibu kota. Makassar di Sulewesi, Medan-Pekanbaru di Sumatera, Palangkaraya-Samarinda di Kalimantan. Dengan artian, bahkan harus ada pemaksimalan pembangunan fisik khususnya di setiap ibu kota provinsi. Di bidang pendidikan, kini ada kecenderungan orang Sumatera sudah tidak perlu jauh-jauh lagi sekadar untuk kuliah di Yogyakarta. Lantaran di sana telah banyak berdiri perguruan tinggi berkualitas pula.
Begitu juga dengan urusan pangan. Idealnya setiap pulau ada beberapa kota yang dapat dijadikan lumbung pangan. Dan, diidealkan mampu mencukupi kebutuhan penduduk satu pulau atau satu provinsi tersebut. Sehingga menciptakan kemandirian. Tidak melulu menggantungkan hasil pertanian dari Jawa dan sapi dari NTB.
Begitupun dengan urusan pertanian dan peternakan di Jawa sendiri; agar di Jawa Tengah dan Yogyakarta missal, mempunyai lumbung padi khusus untuk memnuhi kebutuhan satu provinsi tersebut. Tidak terus menggantungkan lumbung padi nasional di Jawa Barat. Maka, perlu juga dibangun sarana infrastruktur seperti irigasi yang sering menjadi kendala besar pertanian. Pun, pembangunan waduk juga diperbanyak sebagai upaya konkret mendukung swasembada pangan.
Lebih dari itu, urusan pangan memang perlu menyesuaikan kultur daerah asal. Apalagi ini juga berkait dengan masalah iklim yang sudah sulit diprediksi. Dan, tanaman sorgum adalah tanaman masa depan bangsa ini ketika tanaman pangan ini mampu bertahan di cuaca ektrim dan kering.
Kini, Presiden Joko Widodo telah membuat gebrakan dengan menggenjot pembangunan infrastruktur di luar Jawa untuk mengurangi ketimpangan kesejahteraan. Pembangunan jalan tol , pelabuhan, dan bahkan tol laut digeber.
Jalan rusak juga berdampak pada teriolasinya suatu daerah. Bahkan beberapa waktu lalu akses ke Raja Ampat dan Anambas sebagai destinasi wisata bahari sangat sulit dijangkau. Wajar bila wisatawan kita dan manca justru lebih senang melancong ke Singapura dan Malaysia.
Saya sangat mendamba setiap daerah/pulau di mana provinsi-provinsinya mempunyai keunggulan dan spesialisasi masing-masing. Kita yakin setiap daerah mempunyai keunikan tersendiri. Dan, kala urusan transportasi kian lancar karena kini sedang digenjot akses pembangunan infrastruktur jalan tol, rel kereta api dan tol laut akan semakin mempertegas kemunculan keunikan di saban daerah/provinsi.
Maka, inilah sebenarnya peran penting Kementerian Pekerjaan Umum sebagai lokomotif mewujudkan pembangunan yang bersifat Indonesia sentris. Bila jalan semakin mulus dan sarana pembangunan irigasi serta waduk diperbanyak, saya yakin hal ini akan berdampak terhadap penurunan angka urbanisasi dan migrasi.
Beberapa kali, Presiden Jokowi seakan mampu menggeser kesakralan Istana Merdeka dengan seringnya menggelar pertemuan/keputusan penting di Istana Bogor. Jadi, boleh kiranya saya berharap apabila kesakralan Jakarta sebagai ibu kota bias digeser di kota lain, terutama di luar Jawa. Dengan setidak-tidaknya hanya menjadikan Jakarta sebagai ibu kota administratif dengan lingkup terbatas. Sedang ibu kota urusan bisnis, pusat kebudayaan dan full administrasi bisa dibagi kota-kota besar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.