Dampak Kemanusiaan
Biaya kemanusiaan yang harus dibayar dari konflik Suriah sangat besar. Hingga tahun 2024, lebih dari 500.000 orang telah tewas, dan lebih dari setengah populasi Suriah sebelum perang yang berjumlah 22 juta orang telah mengungsi. Sekitar 7 juta orang menjadi pengungsi internal, sementara 6,8 juta lainnya telah melarikan diri ke luar negeri sebagai pengungsi.
Negara-negara tetangga menerima beban utama krisis pengungsi ini. Lebanon, dengan populasi hanya 5 juta orang, menampung sekitar 800.000 pengungsi Suriah. Yordania telah menerima lebih dari 500.000 pengungsi, sementara Turki menjadi tuan rumah bagi lebih dari 3 juta pengungsi. Arus besar ini telah membebani sumber daya dan layanan sosial di negara-negara tersebut, kadang-kadang memicu ketegangan sosial.
Krisis pengungsi ini juga berdampak signifikan di luar Timur Tengah. Lebih dari satu juta pencari suaka dan pengungsi Suriah telah mencapai Eropa, yang disebut PBB sebagai krisis migran dan pengungsi terbesar sejak Perang Dunia II. Gelombang migran ini memicu perdebatan politik dalam Uni Eropa mengenai pembagian tanggung jawab dan kontrol perbatasan, serta mendorong munculnya sentimen anti-imigran.
Di dalam Suriah, warga sipil sangat menderita akibat dampak langsung perang maupun serangan terhadap area-area sipil. Rezim Assad dituduh menggunakan senjata kimia, terutama dalam serangan pada tahun 2013 yang menewaskan 1.400 orang. Meskipun ini memicu upaya internasional untuk menghancurkan persenjataan kimia Suriah, rezim tersebut terus menggunakan senjata konvensional yang berdampak besar pada warga sipil. Taktik pengepungan dan pemboman sembarangan oleh rezim Assad menyebabkan korban sipil yang besar dan menghancurkan infrastruktur penting. Rumah sakit dan fasilitas medis menjadi sasaran secara sengaja, memperburuk krisis kemanusiaan. Pada 2018, lebih dari satu juta orang hidup di daerah-daerah terkepung atau lokasi yang tidak dapat dijangkau bantuan kemanusiaan.
Dampak Ekonomi
Konflik Suriah telah menghancurkan ekonomi negara tersebut. Bertahun-tahun perang telah menghancurkan infrastruktur, mengganggu perdagangan, dan menurunkan minat investasi. Bank Dunia memperkirakan bahwa pada tahun 2017, kerugian kumulatif dalam produk domestik bruto (PDB) mencapai $226 miliar, sekitar empat kali lipat PDB Suriah pada tahun 2010.
Sektor-sektor ekonomi utama mengalami kehancuran besar. Pertanian, yang sebelumnya merupakan kontributor utama ekonomi Suriah, terganggu oleh konflik, pengungsian, dan kekeringan. Industri minyak, yang sebelumnya menjadi sumber pendapatan utama pemerintah, sangat terpengaruh oleh konflik dan sanksi internasional. Krisis ekonomi ini menyebabkan kemiskinan yang meluas, dengan sekitar 90% warga Suriah hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2021. Inflasi melonjak tajam, mengurangi daya beli dan membuat kebutuhan pokok tidak terjangkau bagi banyak orang. Bahkan adanya kehancuran mata uang Suriah semakin memperburuk kesulitan ekonomi.
Sanksi internasional, meskipun bertujuan untuk memberikan tekanan pada rezim Assad, memiliki dampak signifikan pada ekonomi dan populasi sipil yang lebih luas. Langkah-langkah ini membatasi kemampuan Suriah untuk terlibat dalam perdagangan dan keuangan internasional, sehingga mempersulit upaya rekonstruksi dan pengiriman bantuan kemanusiaan.
Implikasi Keamanan RegionalKonflik Suriah memiliki dampak besar terhadap keamanan regional di Timur Tengah. Kekosongan kekuasaan yang muncul akibat melemahnya negara Suriah memungkinkan kemunculan kelompok ekstremis, terutama ISIS, yang pada puncaknya menguasai wilayah signifikan di Suriah dan Irak. Ancaman ini mendorong intervensi militer dari berbagai aktor internasional dan membentuk kembali aliansi-aliansi regional.
Konflik ini memperburuk ketegangan sektarian di seluruh wilayah, dengan latar belakang Alawi rezim Assad dan dukungan dari Iran yang mayoritas Syiah berhadapan dengan kelompok oposisi mayoritas Sunni dan para pendukungnya. Dinamika ini memperburuk ketegangan antara Iran dan Arab Saudi, dua kekuatan regional yang bersaing untuk mendapatkan pengaruh.