Istilah Arab Spring merupakan deskripsi terhadap rangkaian pemberontakan periode pada 2010 hingga 2011 di Timur Tengah dan Afrika Utara, dengan Suriah menjadi salah satu konflik paling panjang dan menghancurkan. Apa yang awalnya dimulai sebagai protes damai terhadap pemerintahan otoriter Bashar al-Assad dengan cepat berubah menjadi perang saudara brutal yang berlangsung lebih dari satu dekade, menelan ratusan ribu nyawa dan membuat jutaan orang mengungsi.
Latar Belakang Konflik
Turunnya Suriah ke dalam perang saudara dapat ditelusuri pada pemerintahan lama keluarga Assad. Hafez al-Assad merebut kekuasaan pada 1970, mendirikan rezim otokratis yang memusatkan kekuasaan di kursi kepresidenan. Berasal dari minoritas Alawi, sebuah sekte Syiah heterodoks, Assad mengangkat komunitasnya ke posisi istimewa, menciptakan kebencian di kalangan kaum yang merupakan mayoritas Sunni.
Ketika Bashar al-Assad menggantikan ayahnya pada tahun 2000, ia berjanji akan melakukan reformasi tetapi pada akhirnya mempertahankan sistem represif. Kebijakan liberalisasi ekonominya menguntungkan loyalis rezim, tetapi merugikan petani pedesaan dan pekerja perkotaan. Kekeringan parah pada 2006-2010 memperburuk masalah sosial ekonomi, memaksa para petani bermigrasi ke kota dan menyebabkan lonjakan pengangguran.
Pecahnya pemberontakan Suriah terjadi pada Maret 2011 ketika lima belas anak laki-laki di Deraa ditangkap dan disiksa karena mencoret slogan revolusioner yang terinspirasi oleh Arab Spring. Protes pun meletus sebagai tanggapan, menyerukan pembebasan tahanan politik, diakhirinya keadaan darurat, dan kebebasan yang lebih besar. Berbeda dengan para pemimpin di Tunisia dan Mesir yang mengundurkan diri, Assad merespons dengan kekerasan brutal, membuka jalan bagi eskalasi terjadi.
Dinamika Geopolitik
Ketika konflik meningkat, hal ini berubah dari pemberontakan domestik menjadi perang saudara yang terinternasionalisasi, menarik kekuatan regional dan global dengan kepentingan yang saling bersaing. Jaringan kompleks aliansi dan persaingan ini memperpanjang konflik dan membuat resolusi menjadi sangat sulit dicapai.
Rusia dan Iran muncul sebagai pendukung utama Assad, memberikan dukungan militer dan diplomatik yang krusial. Keterlibatan Rusia, yang dimulai dengan perlindungan diplomatik di Dewan Keamanan PBB, meningkat menjadi intervensi militer langsung pada September 2015. Serangan udara Rusia, yang konon menargetkan kelompok teroris, sering kali menghantam kelompok pemberontak lain, beberapa di antaranya didukung oleh Amerika Serikat. Intervensi ini membantu Assad mendapatkan kembali kendali atas pusat-pusat populasi penting.
Iran, yang termotivasi untuk menjaga jalur daratnya ke proxy-nya di Lebanon, Hezbollah, telah menginvestasikan miliaran untuk menopang rezim Assad. Korps Pengawal Revolusi Iran telah memberi nasihat kepada tentara Assad dan mengerahkan milisi Syiah dari seluruh wilayah, dengan kerugian yang signifikan dalam prosesnya. Di sisi oposisi, Amerika Serikat bersama sekutu regional seperti Turki, Qatar, dan Arab Saudi awalnya mendukung berbagai faksi pemberontak. AS secara diam-diam melatih dan mempersenjatai para pejuang pemberontak, sementara Prancis dan Inggris memberikan dukungan logistik dan militer. Namun, oposisi tetap terfragmentasi dan semakin didominasi oleh kelompok ekstremis, yang mempersulit dukungan internasional.
Usaha otonomi Kurdi di utara Suriah menambah lapisan kompleksitas lainnya. Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) muncul sebagai kekuatan efektif melawan ISIS, mendapatkan dukungan AS. Namun, aliansi ini memperburuk hubungan dengan Turki, yang melihat YPG sebagai perpanjangan dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK), organisasi yang ditetapkan sebagai teroris. Keterlibatan Turki dalam konflik didorong oleh penentangannya terhadap Assad dan tekadnya untuk mencegah otonomi Kurdi di sepanjang perbatasannya. Pada 2016 dan 2019, Turki meluncurkan operasi militer di utara Suriah, menargetkan ISIS dan pasukan Kurdi.
Munculnya Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) pada 2014 semakin memperumit konflik, menarik perhatian dan intervensi internasional. Fokus koalisi yang dipimpin AS dalam memerangi ISIS terkadang mengorbankan konfrontasi dengan Assad, menyebabkan ketegangan dengan beberapa kelompok oposisi.