Mohon tunggu...
Itha Abimanyu
Itha Abimanyu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dialah yang Kupilih

1 Januari 2022   23:02 Diperbarui: 25 Mei 2024   13:44 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DIALAH YANG KUPILIH

'Cinta itu butuh kesabaran, sampai di manakah kita harus bersabar mempertahankan cinta?'

Hari itu aku dan dia berjanji untuk menjaga cinta yang telah terbina. Aku menjadi perempuan yang paling bahagia, pernikahan kami seadanya namun penuh arti. Dia menjadi pria yang sangat romantis pada waktu itu. 

Kisah cinta kami menemui banyak konflik seperti serial Mahabharata. Namun, kini kami bahagia walau sederhana dengan kedua buah hati kami.

Brak! Suara angin menampar jendela, terdengar engsel tuanya berdecit. Di luar sana hujan deras sekali, tak ada bintang dan rembulan memeluk malam, yang ada hanya gelap beserta nyanyian titik-titik air yang semakin riuh.

Gelap malam ini membuatku terlena dalam sebuah kenangan, kenangan yang tak mungkin bisa terlupa.

"Ah ... hujan! Kau membawa kenangan beberapa tahun silam muncul kembali ke permukaan," lirih hatiku berkata.

***

"Tolol kamu!" Ibu memarahiku, matanya seperti hendak keluar karena terbelalak terlalu lebar.

"Kau anak yang tak tahu diuntung," Bapak menimpali.

"Kami sekolahkan kau hingga sarjana, lalu kenapa kau memilih dia, dia sopir kita, Anggi ...." Ibu menunjuk Mas Rudi yang duduk di sampingku.

Rudi, dialah yang kupilih menjadi calon suamiku.

***

"Maaf, Non! Mau diantar ke mana hari ini?" tanya Rudi.

"Kita ke toko buku, Mas! Aku mau cari buku," jawabku.

Mobil melaju ke sebuah tempat yang direncanakan. Kami tak banyak bicara, karena dalam mobil aku pasang headseat setel musik dan asyik sendiri hingga tak menghiraukan Rudi, sopir pribadi bapakku.

"Hai, Sayang ...," suara di belakangku membuyarkan konsentrasi saat sedang memilih-milih buku.

Suara Ardan, Ardan adalah tunanganku. Kami berhubungan sudah enam tahun, dari awal masuk sebuah SMA. Perkenalan aku dan Ardan ketika melewati MOS (Masa Orientasi Siswa), dia kakak kelasku. Ada banyak cerita hingga akhirnya kami memutuskan 'jadian' waktu itu hingga sampai saat ini bertunangan.

Sebelumnya kami janjian bertemu di sini karena ada rencana mengunjungi suatu tempat. Setelah selesai dan mendapatkan buku, aku dan Ardan keluar hendak menuju mobil, namun tiba-tiba ....

Bukkk! Satu pukulan mendarat di muka Ardan, Ardan tersungkur, belum sempat aku menolongnya seseorang yang tak lain adalah Mas Rudi sopirku langsung menyeret Ardan dan lantas menghunjamkan beberapa pukulan ke bagian tubuh lainnya Ardan. Kaget, marah, dan entah perasaan apalagi menyaksikan ini semua, aku lantas berteriak ...,

"Berhenti! Ada apa ini?" Aku mencoba memisahkan mereka."Dan kau, berani-beraninya begitu lancang pada tunanganku," ucapku sambil acungkan jari telunjuk ke arah Mas Rudi.

"Asal Non Aggi tahu, dia ... dia ini yang secara tidak langsung telah membunuh adikku itu, Non. Dia juga yang menghamili adikku Ratna dan tak mau bertanggung jawab karena dia akan menikah dengan anak konglomerat katanya dan tak mau mengakui janin yang dikandung adikku adalah anaknya." Rudi berkata penuh amarah, aku hanya terdiam tak percaya mendengar itu semua.

"Karena dia mungkir dan lari dari tanggung jawabnya, adikku bunuh diri!" ucap Rudi kembali sambil berlalu dan masuk ke dalam mobil.

Aku terdiam melihat Ardan yang tak bicara sepatah kata pun dan tak mau melihat ke arahku, dan plakkk! satu tamparan sepertinya tak cukup mendarat di pipinya Ardan, namun aku tak bisa melakukan hal lain lagi selain pergi dari hadapan Ardan dan mengikuti Mas Rudi masuk ke dalam mobil. Berlalu meninggalkan Ardan.

Kering sudah daun cinta di hati, siang benderang terasa gelap bagiku, aku tertipu, merasa teraniaya karena ulahnya, ah ... aku menangis sejadi-jadinya di dalam mobil.

***

Setelah hari itu aku dan Mas Rudi mulai dekat, saling memberi masukan tentang kehidupan, tentang keikhlasan, dan tujuan hidup. Aku melupakan status dia yang hanya sebagai sopir pribadi, kami begitu akrab.

Entah berawal dari mana kedekatan berbuah rasa, sesuatu yang dulu pernah kurasa kini hadir kembali. Cinta ... cinta itu kini berlabuh di dermaga hatiku. Dia, Mas Rudi menjadi pilihanku. Antara kami ada cinta! Pendekatan kami lakukan untuk saling mengenal satu sama lain. Hingga akhirnya, kami memutuskan untuk melanjutkan hubungan kami supaya lebih dekat lagi.

Akhirnya, kami berdua putuskan untuk melanjutkan hubungan kita secara diam-diam dan terus berlanjut sembunyi. Aku tahu apa yang telah kulakukan adalah kesalahan. Tetapi tetap yakin pada pendirian, bahwa dia memang yang terbaik buatku. Karena berpikir tidak hanya menggunakan logika, namun menggunakan hati nurani juga.

Entah mengapa, hubungan kami yang masih berlanjut tercium oleh keluarga. Jelas saja, ibu dengan kasarnya mengancam dan mengutuk.

"Kalau kamu masih mau belain dia, aku bukan ibumu lagi." Tak hanya itu, ibu dan bapak terang-terangan melarang dan takkan merestui.

Rida Tuhan itu ada pada rida orang tua. Namun, apakah sebagai anak tidak memiliki hak untuk memilih dan untuk bahagia?

Semuanya benar-benar membuatku merasa sakit hati. Hanya saja Mas Rudi meyakinkanku, "Lambat laun, nanti orang tua akan merestui kalau niat kita tulus." katanya.

"Tolol kamu!" Mama memarahiku, matanya seperti hendak keluar karena terbelalak terlalu lebar.

"Kau anak yang tak tahu di untung," Papa menimpali.

"Kami sekolahkan kau hingga sarjana, lalu kenapa kau memilih dia, dia sopir kita, Anggi ...." Mama menunjuk Mas Rudi yang duduk di sampingku.

"Kalau kau masih tetap dengan keputusanmu, enyahlah kalian berdua dari hadapan kami!" Bapak berkata dan berlalu meninggalkanku dan Mas Rudi, disusul ibu yang lantas pergi mengikuti bapak.

Kisah cinta memang terkadang tidak selalu berjalan menyenangkan atau berakhir dengan bahagia, terkadang sedih yang kita rasa juga selalu dirasakan ketika orang tua berkata, "Tidak!"

*** 

Aku kira hubungan yang tidak direstui tidak akan mendapatkan kebahagiaan sejati dan ketenangan sampai kapan pun, tetapi kita juga tak bisa semudah itu melepaskan pasangan. Cinta perlu diperjuangkan, kuncinya sabar dan yakin ada jalan. 

Hingga akhirnya, aku dan Mas Rudi memilih menikah walau tanpa restu dan juga masih berusaha mendapatkan restu, semoga ada hasilnya. Itu yang namanya ketekunan. 

"Percayalah, kalau dia jodohmu pasti bahagia milikmu apa pun rintangannya," ucapku lirih saat itu, memotivasi diri sendiri.

Sumedang, 1 Januari 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun