***
Aku terus berkutit dengan pekerjaan yang seabrek di meja kerja. Tanpa sadar handphone ku berbunyi, sebuah nomor yang tak ku kenal tertera disana. Aku pun mengangkatnya dengan hati penuh tanya.
”iya...iya..kenapa?”
”aaa paaaaa...!!!!!!!!! tidak, tidak mungkin...iya saya segera ke sana
Pikiran ku kacau, dinda sang belahan jiwa, kini terbaring di rumah sakit. Dari telepon barusan, aku mendapat kabar bahwa dinda kecelakaan. Ya Allah moga dinda tidak apa-apa, batin ku mulai berharap.
Tubuh itu terbujur di pembaringan, dengan balutan putih di kepalanya. Wajah itu masih sama seperti yang ku kenal, putih, bersih, namun kini tampak begitu pucat. Pipi yang biasa merona, tersipu ketika malu, kini seperti kehilangan pendar. Aku tak kuasa melihat keadaannya. Ingatanku mulai melayang, pada percakapan indah kami semalam.
Aku berjalan, terus mendekat dan menghampiri pembaringannya. Tangannya yang lembut dan jarinya yang lentik ku genggam dengan erat.
”dinda sayang...ini kanda. Dinda kenapa tidur, kenapa diam aja. Dinda mau jumpai kanda kan? Ini kanda sayang,” kata ku dengan terus menggenggam tangan nya.
”dinda....kanda kangen ma dinda, dinda kenapa masih diam? Semalam dinda minta kanda untuk tersenyum ketika kita jumpa. Dinda...kanda penuhi janji itu, kanda sekarang sedang tersenyum, dinda kenapa tak membuka mata? Lihat kanda sayang,” kata ku terus meracau.
Tubuh itu tak menunjukkan reaksi apapun, matanya pun tak kunjung terbuka. Aku menatapnya dengan penuh cinta, tak percaya apa yang terjadi sserasa begitu cepat. Baru semalam aku mendengar tawa candanya, manja, dan menggemaskan. Tapi kini ia hanya diam seribu bahasa, namun wajah ayu nya masih tampak begitu nyata.
Aku tak kuasa menahan kesedihan, hingga akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar, tubuhku bersandar di pintu. Tulang-tulang terasa lemah, kaku dan tak berdaya. Harusnya hari ini adalah hari yang bahagia untuk ku, namun takdir mengatakan lain. Dindaku terbaring lemah, dan dokter mengatakan kondisinya kritis, ia koma, dan tak tahu apakah bisa bertahan atau tidak.