Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teologi Malas: Bermalas-Malas yang Alkitabiah

27 April 2024   07:31 Diperbarui: 27 April 2024   07:39 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam 1Timotius 5:13, kata bermalas-malas ditujukan kepada janda. Dalam LXX atau Septuaginta --Alkitab Ibrani dan Yunani- memakai kata argai. Asal katanya argos, yang artinya menganggur. Terma sama juga dipakai dalam Titus 1:12.

Namun kita akan meninggalkan ketiga ayat karena istilah yang dipakai tidak mewakili apa yang kita bahas dalam tulisan ini.

Sebanyak lima kali kata malas muncul dalam Perjanjian Lama. Dalam Yosua 18:3, Hakim-hakim 18:9, Amsal 12:27 dan 18:9, Yeremia 9:5). Sedangkan kata pemalas muncul enam belas kali. Empat belas diantaranya berserak di kitab Amsal. Ayat paling terkenal dan menjadi contoh kasus kita adalah pada Amsal 6:9--11. Butir ini, bisa dikatakan, mewakili nuansa dari semua aforisme kitab Amsal.

Hai pemalas, berapa lama lagi engkau berbaring? Bilakah engkau akan bangun dari tidurmu? "Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk tinggal berbaring" --- maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata.

Ayat ini memberi kita daftar ciri-ciri pemalas. Suka tidur, terbangun, mematikan alarm, untuk melanjutkan tidur. Akibatnya, kemiskinan dan badai kekurangan menyerbu.

Amsal melukiskan adanya hubungan sebab dan akibat, antara kemalasan dan kemiskinan. Hukum kausatif menjadi warna utama pada hampir seluruh nasihat kitab ini. Para penulis Amsal rupanya percaya hukum tabur-tuai. Kalau menanam kacang, kita menuai kacang. Jika menanam singkong, maka pohon singkong yang tumbuh. Orang Indonesia bilang, kalau rajin, kita pasti akan kaya. Kalau malas?

Pertanyaannya, mengapa penulis Amsal---kerap disebut orang bijak---percaya pada hukum sebab-akibat? Zaman sekarang hukum tabur-tuai merupakan kebodohan besar. Orang baik malah menjadi sasaran empuk penipu. Buruh bekerja keras setiap hari, tetapi tetap melarat bin sekarat. Ada emak-emak korban gebukan massa, malah dituduh operasi plastik. Dunia ini tidak adil! Mengapa masih percaya hukum tabur-tuai?

Untuk memahami kitab Amsal, kita harus mengerti dulu paradigma berpikir masa itu. Kitab Amsal dibingkai oleh motif takut akan Allah (1:7). Siapa yang segan kepada-Nya akan mempunyai akses pada hikmat (hokma, bahasa Ibrani ). Dalam pengertian Yahudi, hikmat bukan teori abstrak. Istilah hokma merupakan pengetahuan teknis kerajinan (lihat Keluaran 31:1--11). Sumbernya dari pengalaman dan bertujuan untuk mengatur kehidupan. Ia berangkat dari pengamatan fenomena alam dan budaya.

Horisonnya adalah kehidupan manusia dalam keluarga dan budaya. Semua dibalut dalam latar  teoritis: Allah memasukkan suatu tatanan yang adil. Asumsi teoritis ini penting karena merupakan jantung kitab Amsal. Ia merasuki seluruh struktur kehidupan dan menjanjikan "jalan hidup" bagi setiap individu. Titik sentral ada pada keyakinan tindakan dan akibatnya nyata, bergantung satu sama lain. Masyarakat pembaca Amsal meyakini bahwa mekanisme mesin dunia berputar dengan adil. Jadi, siapa yang mengikuti aturan main akan dianggap bijak. Sebaliknya, orang-orang yang mencoba keluar pagar, dicap bodoh.

Sebagai orang Indonesia, sepatutnya kita tidak heran. Pasalnya, kita dekat dengan wawasan dunia seperti itu. Nenek moyang kita meyakini dunia dicipta dengan harmoni. Segalanya berjalan selaras. Sinar matahari akan diimbangi cahaya rembulan. Kemilau emas senja akan ditandingi remang fajar. Bahwa alam semesta bergerak dalam rima serentak.

Pandangan ini lazim dalam wilayah Timur Dekat pada milenium ke-3. Ini berangkat dari mitos-mitos kuno. Yang meyakini adanya kekuatan supranatural yang memasuki kosmos dan mencampuri urusan manusia. Para dewa hanya berpihak pada keadilan dan keseimbangan alam semesta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun