Orang Kristen diajarkan bahwa tujuan hidup adalah menyembah dan memuliakan Allah. Makna tersebut kerap direduksi menjadi ekspresi verbal dan emosional untuk memuji Allah. Sementara Paulus mengajarkan kita untuk mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah (Roma 12:1-2). Menyembah Allah mencakup apapun yang kita lakukan (Middleton, 2014).
Menurut C. S. Lewis (1946), tidak ada yang boleh dinyanyikan atau dikatakan di gereja yang tidak bertujuan -langsung atau tidak langsung- untuk memuliakan Allah atau mendidik umat. Jika gereja adalah gambaran cara hidup manusia yang ditebus, maka kegiatan bernyanyi mencerminkan hal itu. Bernyanyi dalam konteks dunia yang sudah direstorasi dalam Kerajaan Allah bertujuan sama dengan aktivitas lain. Bernyanyi adalah bagian dari kerangka tujuan penciptaan, yaitu untuk kemuliaan Allah, bukan kepuasan manusia.
Tidak suka bernyanyi?
Kecintaan saya pada bernyanyi sedikit banyak dipengaruhi oleh kultur dan dukungan orang sekitar. Mereka meyakinkan saya pandai bernyanyi. Saya pun kagum pada musik yang menggerakkan emosi, apalagi lirik lagu yang begitu dekat dengan pengalaman pribadi. Saya bernyanyi karena alasan yang egois.
Dengan alasan di atas, Anda  mungkin berpikir bahwa bernyanyi di gereja mudah untuk saya karena saya menyukainya. Namun saya masih punya kesulitan menyanyikan lagu yang tidak saya nikmati secara sensori, termasuk kidung-kidung gereja. Beberapa kidung terasa kaku, kurang puitis, kurang estetis atau progresi akordnya kurang indah. Banyak penilaian subyektif yang saya diam-diam layangkan pada kidung Kristen karena kurang enak didengar. Padahal liriknya justru bermakna mendalam.
Saya juga sadar bahwa tidak semua orang suka bernyanyi. Ada yang menganggap diri tidak dapat bernyanyi atau tuli nada (meskipun penelitian memperkirakan sangat sedikit orang yang benar-benar tuli dana, dalam Henry & McAuley, 2010).
Siapa pun tidak dapat memaksa Anda untuk bernyanyi. Perlu dipahami bahwa kepuasan individu bernyanyi di gereja tidak sepenting yang diyakini. Mungkin ada anggapan, kalau saya menikmati lagu, tentu Tuhan senang. Hingga tanpa sadar, kita menempatkan diri lebih dulu daripada Tuhan.
Literatur yang saya temukan untuk tulisan ini justru mengatakan bahwa kepuasan pribadi dan sensasi emosional bukan inti bernyanyi di gereja. Sebaliknya, kita diminta untuk mereduksi kepuasan ragawi dan berfokus pada subyek nyanyian.
Hal ini mengingatkan saya pada saran salah seorang pelatih paduan suara. Menurutnya, ketika bernyanyi dalam paduan suara, semakin kita berfokus pada kepuasan diri, maka kita sedang mengorbankan kepuasan pendengar (Yohanes, 2018). Banyak aspek yang tidak kalah penting dari kepuasan pribadi saat bernyanyi bersama. Harmonisasi suara kita dengan orang lain, kepuasan pendengar, hingga pesan yang ditangkap melalui nyanyian. Bukan berarti kita tidak boleh menikmati musik yang dinyanyikan, namun kita bukan bernyanyi hanya untuk diri sendiri.
Ketika kita ingin memaknai bernyanyi di gereja, kita perlu bertanya, siapakah subyek utama dalam nyanyian kita? Apakah diri sendiri, orang lain atau Dia?
(Daftar rujukan tersedia)
*Jemaat dan pelatih paduan suara di Gereja Komunitas Anugerah