Terutama kidung, lagu ibadah berisi pesan dasar iman kristiani, yaitu 1) karakter Allah, 2) gereja dalam masyarakat, 3) kemanusiaan, dan 4) pemahaman kehidupan Kristen (Roberts, 2014). Kidung adalah sebuah bentuk pernyataan teologis.
Kidung membantu penyampaian keimanan melalui kata-kata sederhana atau yang puitis. Menurut penulis himnologi, Paul Schilling (1983), ekspresi teologis sebuah kidung bukan hanya tertuang pada lirik tetapi juga nada. Nada digabung dengan lirik untuk memperkuat -atau melemahkan- pesan. Substansi pesan ada pada lirik. Nada dan irama bersifat komplementer.
Sementara lagu pujian dan penyembahan kontemporer menitikberatkan pada musik. Musik dan liriknya lebih mudah diingat, mudah dinyanyikan karena cenderung repetitif. Tradisi musik ini berakar dari penginjilan kepada kaum hippies di Amerika pada 1960-an, yang disebut Jesus People (atau Jesus Movement).
Melalui genre musik modern, gerakan penginjilan itu menarik perhatian ratusan ribu anak muda. Padahal genre itu dipandang duniawi oleh kalangan gereja konservatif kala itu. Gerakan Jesus Movement kelak melahirkan industri musik Kristen kontemporer dan memicu pergantian gaya bermusik pada banyak gereja hingga sekarang (Eskridge, 2017).
Jadi, apa tujuan bernyanyi (rohani) dalam kekristenan?
Menurut beberapa penulis himnologi, bernyanyi dalam konteks kekristenan bukan untuk memamerkan aspek seni penyanyinya. Bernyanyi lebih pada mempersilakan Allah berbicara melalui lirik lagu. Bernyanyi dan bermusik adalah medium atau pelayan pesan Firman Allah (Guthrie, 2003).
Bernyanyi sebagai aktivitas emosional
Emosi manusia dapat dipengaruhi oleh musik. Dalam buku Confessiones, Agustinus dari Hippo mengakui kekuatan musik dalam sebuah lagu penyembahan. Ketika kata-kata sakral berpadu dengan musik yang indah, jiwa umat akan tergerak dan dikobarkan menuju kesalehan (Guthrie, 2003).
Pendapat tersebut sejalan dengan bukti ilmiah tentang persepsi otak terhadap musik. Sebuah eksperimen tayangan Brain Games pada episode The God Brain menunjukkan musik dan akustik ruang gereja berperan dalam membangun persepsi kita tentang kehadiran Tuhan. Ritme dan susunan nada menuntun emosi umat seirama lirik yang dinyanyikan. Langit-langit berkubah dan alat musik orgel di gereja Katolik misalnya, gaungnya membangun kesan kemegahan dan kekuasaan Tuhan.
Secara teknis, bernyanyi adalah proses merekonstrusi apa yang kita dengar. Pengalaman pertama manusia dengan suara berawal dalam kandungan. Bukan hanya suara, janin juga dapat mengenali emosi yang terkorelasi dengan suara yang didengar. Kemampuan ini berkembang melalui suara ibu pada masa trimester akhir kehamilan. Pembentukan reaksi emosi terhadap suara dipengaruhi oleh reaksi neuro-endokrin yang dihasilkan ibu dan dikomunikasikan kepada janin melalui hormon dalam darah (Miel, MacDonald, & Hargreaves, 2005). Ketika lahir, bayi sudah membawa bias atas emosi yang ditimbulkan oleh suara semasa dalam kandungan.
Jika musik dapat memanipulasi otak untuk merasakan emosi tertentu, apakah perasaan yang ditimbulkan oleh bernyanyi di gereja merupakan respons sensori semata? Apakah gereja secara sengaja memanfaatkan sensasi untuk mengendalikan emosi dan melemahkan nalar?