Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Teologi Bernyanyi: Menemukan Makna dalam Kata dan Nada

25 April 2024   06:06 Diperbarui: 25 April 2024   06:28 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bernyanyi dalam Kerajaan Allah

Bagaimana imajinasi bernyanyi ketika Kerajaan Allah digenapi?

Jika Anda pernah ber-Sekolah Minggu, mungkin masa kecil Anda diisi dengan imajinasi tentang surga sebagai tempat manusia bernyanyi bersama malaikat, terus-menerus memuji Allah. Seperti KKR nonstop atau radio 24 jam. Bernyanyi di gereja adalah mencicipi sensasi surgawi.

Namun anggapan tersebut tidak didukung dengan landasan alkitabiah. Pandangan itu mungkin berasal dari anggapan populer pada masa prareformasi Kristen yang menitikberatkan pengalaman melihat Allah (visio Dei) sebagai sukacita yang utama dan tujuan akhir. Keselamatan diwujudkan dalam mistisisme, kontemplasi dan penyembahan dalam kondisi ekstasi mistis (Balke, 1992; van Wyk, 2001).

Imajinasi mengenai langit dan bumi yang baru memang tercatat dalam Perjanjian Lama dan Baru (Yes 65:17, 66:22; Why 21:1; 2 Ptr 3:13). Berkenaan nyanyian, Wahyu sedikit memberi gambaran tentang nyanyian baru (Why 5:9; 14:3) pada ciptaan dan dunia yang telah direstorasi. Seperti apa wujudnya, tidak banyak informasi dari Alkitab.

Beberapa kidung dan nyanyian, baik tradisional atau kontemporer, mencantumkan imajinasi Kerajaan Allah. Kehidupan di surga terasa pada bait terakhir lagu Di dalam Palungan (KJ 102) yang berbunyi: Dan hidup serta-Mu di surga kelak atau penggalan bait dua dalam lagu "Bila sangkakala menggegap" (KJ 278): Bila orang yang telah meninggal dalam Tuhannya dibangkitkan/Pada pagi mulia dan berkumpul dalam rumah lestari dan megah.

Beberapa kidung menggambarkan nuansa penyembahan yang berkesinambungan:

Hai Kristen, nyanyilah (NKB 1):
Di surga yang baka kita menyembah-Nya/ Bernyanyi s'lamanya. Haleluya! Amin!
Atau bait terakhir lagu Ya Yesus terkasih" (KJ 382):
Di surga mulia ku pasti senang memujimu, Yesus/Di dalam terang, nyanyianku ini tetap terdengar/Kasihku padaMu semakin besar

Pandangan tentang surga sebagai rumah atau tujuan akhir yang tergambar dalam kidung-kidung tersebut mendapat kritik dari teolog Aiden Wilson Tozer. Ia menyindir, "Orang Kristen tidak mengatakan kebohongan. Mereka hanya pergi ke gereja dan menyanyikannya." Gambaran surga sebagai tujuan akhir setelah kematian tidak diturunkan oleh ajaran Yahudi dan Alkitab.

Teolog Richard Middleton dalam bukunya yang bertema eskatologi alkitabiah berpendapat bahwa gambaran pergi menuju tempat bernama surga kemungkinan dipengaruhi oleh ajaran Plato abad kelima. Menurut dualisme Platonis, manusia terbagi menjadi tubuh mortal dan jiwa yang immortal. Begitu pula penggambaran semesta: alam suprasensori (transenden) dan alam sensori.

Pandangan Platonis meluas berkat pemikiran filsuf Yunani Plotinus (204-270) yang dikenal sebagai Neoplatonisme. Neoplatonisme turut mempengaruhi pandangan bapak-bapak gereja yang mengartikulasikan injil dengan kultur dan pengetahuan yang berkembang di masanya, termasuk Agustinus dan Pseudo-Dionysius. Karena itu gereja perlu berhati-hati pada asimilasi ide-ide yang mungkin tidak sejalan dengan ajaran Kristen (Middleton, 2014).
Kembali ke bernyanyi dalam Kerajaan Allah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun