Yaelah, baru dua menit pisah udah telepon, pikir saya lebay.Â
Saya tak berniat mendengar obrolan tapi telinga saya bekerja sukarela.Â
Dia berjanji akan pulang setelah dua bulan di Bangladesh. Itu hanya sebentar, baby, katanya. I will call you every night, I promise, honey, katanya.
Hmmh...
Percakapan selesai. Tak sadar saya menoleh ke arahnya. Sekadar protes? Ini ruang publik. Dia menangkap gerakan saya, eh dia sedang mengusap matanya.Â
Hah? Dia memproduksi air mata untuk perpisahan dua bulan?
Tanpa saya harap, dia bilang, "I am sorry. My daughter. She's just twelve. She's still crying when I left home."
"Oh I see," saya menatapnya, mengangguk berempati. Semoga dia tahu bahwa  saya tak butuh penjelasan. Tapi buatnya, mungkin gestur saya tidak mengatakan itu.
Lantas saya diserang memori. Kedua alis bertaut itu. Seperti ulat bulu hitam panjang yang membingkai mata.Â
Di mana saya melihat wajah ini? Saya berpikir keras.Â
Kami berkenalan. Saya kaget ketika dia menyebut namanya: Thiru.Â