Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Membaca Buku Kumpulan Budak Setan

11 Maret 2023   17:29 Diperbarui: 11 Maret 2023   17:34 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Buku Kumpulan Budak Setan berisi 12 cerpen dari 3 pengarang: Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, Ugoran Prasad. Masing-masing mereka menyumbang 4 cerpen yang bersinar. 

Cerpen-cerpen itu adalah proyek mereka dalam membaca ulang karya-karya Abdullah Harahap (AH). Secara online via Yahoo messenger -tahun 2008 ketika itu- mereka membincang bacaan yang menemani masa remaja mereka dari lokasi-lokasi berbeda --Jakarta, Yogyakarta, New York. 

Novel-novel AH disebut picisan (dime novel), karya populer yang mengeksploitasi kekerasan, dendam, seksualitas, horor, misteri dengan bahasa yang gamblang. Karya picisan awalnya dari Barat, dimulai di Amerika tahun 1860 hingga 1915, dengan menggunakan kertas koran yang murah sehingga harga bukunya pun murah.

Cerita horor atau misteri sebenarnya mengungkap sisi antropologis masyarakat masa itu. Barangkali itu sebabnya buku-buku AH dikoleksi oleh studi Asia Cornell University, yang memungkinkan Intan Paramaditha dapat meminjam buku-buku karya AH, untuk keperluan proyek membaca ulang ini. 

Proyek ketiga pengarang kita ini berlatar lebih pada rasa penasaran terhadap karya-karya AH. Bukan dalam rangka mistifikasi pengarang atau mencoba menempatkan karya-karya tersebut ke lingkup sastra Indonesia. Bahkan mereka dengan kelakar menyebut sebagai penulis yang diperbudak oleh (cerita) setan. Cerpen-cerpen ini semacam tanda kesetiaan pada karya-karya  AH. Dan pemilihan judul buku ini, Kumpulan Budak Setan, merupakan kata-kata yang paling mewakili karya-karya AH.

Sekarang ada pertanyaan, kenapa karya-karya AH yang melimpah pada masa itu tersingkir dalam khasanah sastra Indonesia? 

Teman ngobrol saya, Lita S Mahendra, menilai karena pada masa itu --tahun 1970-1980an- bergulir semacam dikotomi: mana karya sastra dan mana yang bukan sastra. 

Ada dua mahzab yang bersaling silang. Pertama, berkata sastra adalah sebuah seni yang memakai kata sebagai medium. Sebagaimana halnya seni tari dengan medium gerak, seni musik dengan musik, dan seterusnya.

Kedua, merujuk perkataan Aristoteles bahwa sastra sebuah medium dalam mengungkap perasaan atau peristiwa hingga menjadi skema yang disusun di atas kata-kata yang enak dibaca dan menggugah pembacanya. 

Masyarakat kala itu lebih menyepakati mazhab yang pertama. 

Menurut ketiga pengarang, karakter hantu pada karya-karya AH memiliki motif dan kausalitas seperti hantu genderuwo, wewe gombel, hantu-hantu pra-kolonial. AH juga mengaitkan horor dan situasi social. Misalnya persekutuan dengan setan sebenarnya sebuah cara bertahan saat sistem tak menawarkan penyelesaian. 

Ciri lain, problem tokoh dalam cerita diselesaikan oleh tokoh itu sendiri. Masyarakat, badan hukum, lembaga agama dan negara tak berfungsi. Jadi karya-karya AH membuka ruang-ruang subversif dan ambiguitas. Seksualitas yang menyimpang atau hiperseksualitas misalnya, terjadi karena dekadensi moral kota. Atau homoseksualitas merupakan indikasi adanya penyalahgunaan kuasa pada masyarakat. 

Sementara itu tokoh-tokoh yang kerap diusung AH bertipikal tidak bermoral --istri tak setia, janda kesepian, perempuan jalang, lelaki dengan hasrat seksual yang rapuh terhadap godaan di luar kerangka pernikahan, dan yang sejenis.  

Temuan mereka yang penting yang ingin saya catat di sini antara lain, 1) Struktur karya AH yang kebanyakan pornografis menjanjikan amanat moral namun tidak menjangkau pembaca karena tenggelam dalam pelukisan adegan mencekam, erotik yang panas; 2) Mendorong merumuskan sejumlah pertanyaan: bagaimana memaknai hubungan antara horor, seksualitas dan moralitas di Indonesia? Bagaimana dimensi budaya tertentu menentukan apa yang disebut horor; 3) Horor sebagai moda yang dipertukarkan di berbagai ranah. dari panggung politik hingga kehidupan sehari-hari (misal horor dalam retorika politik film sejarah Pengkhianatan G30S/PKI)

Keseluruhan cerpen dalam buku ini memiliki kekuatan sendiri. Lita berpendapat, bilang ingin membandingkan dengan tipikal karya-karya AH, maka cerpen-cerpen Ugoran Prasad yang paling mendekati. Semua alemen dalam cerita AH, terangkum dalam cerpen Ugoran. 

Dan di antara empat cerpen Ugoran, menurut saya dan Lita, cerpen Topeng Darah yang paling "basah". Pikiran pembaca akan dihajar secara bertubi-tubi tanpa ampun dengan perilaku dan tindakan tokoh yang diluar nalar seorang manusia. Pembaca seperti dapat melihat darah yang muncrat dan mengenai muka, rasa mual di perut ketika manusia mengingkari kemanusiaannya. 

Cerpen-cerpen Intan Paramaditha memiliki kekhasan, yaitu menghadirkan relasi laki-laki dan perempuan, yang berkuasa dan yang dikuasai, dan pada akhir cerita, "mengglorifikasi" perempuan. 

Goyang Penasaran, cerpen sejuta rasa dengan paradox pada tiap tokohnya. Salimah kecil belajar mengaji, menjadi penyanyi dangdut pada akhir masa remaja, yang secara habis-habisan mengumbar kemolekan tubuhnya tanpa sungkan demi menghancurkan pertahanan nafsu lawan jenis, ke titik nol alias ambrol. 

Haji Ahmad, yang semestinya seorang model yang memberi pencerahan rohani bagi umat malah terpicu dendamnya dengan bersikap munafik, memprovokasi lebih menghukum orang (Salimah) yang dianggap penghancur moral umat, daripada upaya memperbaiki perilaku si berdosa. Lalu Solihin, sang kepala desa, dengan kekuasaan yang dimilikinya mengumbar nafsu demi melampiaskan egonya. 

Dalam membandingkan karya-karya AH, cerpen-cerpen Eka Kurniawan barangkali yang paling "halus". Namun kelihaiannya bermain kata dalam membangun situasi seram sanggup menggiring pembaca hingga pada akhir, seperti ragu-ragu dalam menghancurkan pikiran pembaca. Jimat Sero, adalah cerita paling ganjil yang mustahil, bila ingin dibandingkan dengan karya AH. 

Kesemua cerpen menampilkan akhir cerita yang fatalistik. Tidak ada pertobatan. No mercy at all. Tidak ada belas kasihan bagi setan alias iblis jahanam. Tidak memberi kesempatan pembaca untuk menarik napas lega. Seluruhnya buram dan gelap. Kalimat cerpen telah berakhir namun kesuraman lain baru dimulai di pikiran pembaca. 

Ini menjadi pesan moral atau peringatan kepada pembaca, beginilah akhir hidup seorang yang tidak mampu memimpin diri menjadi manusia. Bahwa fakta mengatakan, bila ingin lepas dari jerat setan maka taruhannya adalah nyawa. 

Diakui tema-tema cerpen dalam buku ini yang di luar kemanusiaan itu menjadi dan masih relevan pada kondisi kita sampai hari ini. Sesuatu yang tidak normal di masyarakat biasanya akan dengan mudah menyulut kemarahan. Kita sudah melihat contoh-contohnya di media. Oleh karenanya masyarakat membutuhkan simbol sebagai tempat pelampiasan kemarahan. Meski yang berdosa hanya satu oknum, namun pada satu titik perlu dihukum secara tegas, sebagai culture shock, menjadi trauma atau kapok, hingga secara tidak sadar memutuskan untuk tidak melakukan hal itu lagi.  

Sekarang kita akan membandingkan judul-judul karya AH dan karya ketiga pengarang kita. 

Karya AH: Arwah yang Datang Menuntut Balas, Babi Ngepet, Bercinta dengan Setan, Dendam Berkarat dalam Kubur, Dosa Turunan, Jeritan dari Pintu Kubur, Kolam Darah, Makhluk Pemakan Bangkai, Misteri Kalung Setan, Misteri Sebuah Peti Mati, Panggilan dari Neraka, Penjaga Kubur. 

Karya Eka Kurniawan: Penjaga Malam, Taman Patah Hati, Riwayat Kesendirian, Jimat Sero. 

Karya Intan Paramaditha: Goyang Penasaran, Apel dan Pisau, Pintu, Si Manis dan Lelaki Ketujuh. 

Karya Ugoran Prasad: Penjaga Bioskop, Hantu Nancy, Topeng Darah, Hidung Iblis. 

Apakah ketiganya terasa nyastra?

Tentang AH sendiri, ia lahir di Sipirok pada 17 Juli 1943. Sejak SMU di Medan (1960) ia banyak menulis cerpen di media local. Ketika pindah ke Bandung dan kuliah di IKIP Bandung (1963), ia menulis di media Bandung, Yogya, Surabaya, Medan, -terutama Jakarta yang melambungkan namanya. Ia juga jurnalis (1975-1995) di Majalah Selecta Grup (Selecta, Detektif & Romantika, Senang, Stop, Nova) di kantor perwakilan Bandung. 

Dalam menulis novel-novelnya tahun 1970-1980-an, AH melakukan riset, bertukar pikiran dengan tokoh alam mistis di daerah yang dia kunjungi, aliran putih atau aliran hitam. Ia pengarang produktif, telah menghasilkan buku 60 judul (drama), 75 judul (misteri), 15 pulpen (kumpulan cerita pendek). Meski karyanya dibilang picisan namun selalu laris terjual. Tahun 2010, novel-novel lama dan barunya diterbitkan ulang Penerbit Paradoks (imprint Gramedia). 

Banyak karyanya telah difilmkan seperti Liku-Liku Panasnya Cinta, Bungalow di Lereng Bukit, Perempuan Tanpa Dosa, Bisikan Arwah. Pada FFI 1987, filmnya Penyesalan Seumur Hidup menang sebagai Penulis Cerita Asli Terbaik.

Tahun 1990 AH berhenti menulis karena penerbit bukunya tutup. Tahun 2000-an ia berhenti menulis cerita horor karena diburu ketakutannya sendiri. Tahun 2010 novel-novel lama dan barunya diterbitkan ulang oleh Penerbit Paradoks (imprint Gramedia). 

*

Kumpulan Budak Setan 

Penerbit GPU

Cetakan I Februari 2010

193 halaman  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun