Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Anugerah dalam Memilih dan Terpilih

21 Desember 2022   14:20 Diperbarui: 6 Januari 2023   14:45 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi jatuh cinta. (sumber: PEXELS/Rodrigo Souza via kompas.com) 

Berpapasan dengan kawan yang sudah tak berjumpa 25 tahun, rasanya luar biasa. Kami duduk mengobrol 30 menit, minum kopi hitam di satu kedai, bertukar kabar.

Kami sama-sama belum menikah, setahu kami. Dan pada hari kami berjumpa pun, masih melajang. 

Dalam lima menit kami meng-upgrade cerita kawan-kawan kami. Setelah itu cerita kami sendiri. Di masa lalu kami kawan dekat sehingga mudah bagi kami membuka diri, melanjut cerita-cerita yang terputus selama ini.    

Saya terkejut senang dalam obrolan singkat itu, mendapati sahabat saya sedang dalam persimpangan. Di usia kami yang 50 tahun lebih ini, dia sedang dijatuhi cinta oleh lelaki yang pernah dikenalnya, di masa lalu. 

"Kami ketemu di satu kegiatan seni, mengobrol ringan, bertukar nomor, lalu chat sesekali. Itu awalnya," katanya. 

Aduh, kisah asmara. Bikin adrenalin berdenyut keras. Cinta memang bisa jatuh kapan saja kepada siapa saja, tidak pilih-pilih.

kawan saya bercerita. Saya antusias mendengarkan. 

"Pertama kami chat seminggu sekali. Seminggu dua kali. Tiap hari. Lalu pagi siang sore. Ketemu sesekali. Dua kali seminggu. Lalu tiap kali ada waktu, kami berjumpa," katanya lagi.

Pendek cerita, dalam jangka waktu tiga bulan mereka terlibat ikatan emosional yang dalam dan makin dalam. Mereka terhubung satu sama lain dan merasa klop. Satu hari tidak berkabar, rasanya ada yang kurang. 

Lalu sampailah pada satu hari, laki-laki itu tidak tahan untuk tidak berterus terang kepada kawan saya, bahwa dia menikmati kebersamaan mereka, dan ingin relasi mereka lebih dekat daripada sekadar sahabat. Singkatnya, lelaki itu melamarnya menjadi istri. 

Teman saya kaget, meski bahagia juga. Tapi ternyata, meski ia sudah saling merasa aman dan nyaman dengan laki-laki itu, ketika diperhadapkan dengan kenyataan baru, hubungan meningkat menjadi  suami-istri, bimbang juga.

Hidup berumah tangga kan tidak mudah, katanya. Siapa yang bilang itu mudah, tanya saya. Kami tertawa. 

Selama ini teman saya, seperti juga saya, hidup bebas seperti burung. Mandiri secara ekonomi. Ia punya usaha kecil di rumah. Ditemani seorang tangan kanan dalam mengelola usahanya, hidupnya makin menyenangkan. 

Setahun sekali atau dua kali ia membuat jadwal berlibur ke tempat-tempat yang dia impikan sejak muda. 

Ia tidak kesepian karena keponakan-keponakannya berlibur akhir pekan di rumahnya. Pendeknya, ia tidak kekurangan perhatian. Hidup sendirinya berkualitas. 

Apa yang kurang? Tidak ada. Jadi, kenapa harus memilih hidup menikah?

Karena ada pilihan. Itu keadaan kawan saya sekarang. 

Pertanyaan itu dimulai dengan, apakah pengalaman tiga bulan yang indah itu cukup mewakili untuk menjawab "ya" untuk hidup sebagai suami-istri, yang akan berlangsung seumur hidup?

Hmm, tunggu dulu. Itu misteri hidup. Masa depan hanya bisa dirancang. Tidak dapat dipastikan.   

Hidup melajang, kata Chef Marinka yang cantik dalam satu talk show, bukanlah satu dosa. Tentu saja. Namun bila berharap hidup menikah, apakah salah? Ya tidak. 

Kalau masih ada keinginan untuk hidup menikah, ya profesionallah, kata Chef Marinka. Artinya, bersiap dan membuka diri bila kesempatan itu hadir di depan mata. 

Kawan saya lalu mengaku.  Bahwa beberapa bulan  terakhir ia masih berdoa kepada Tuhan, menyampaikan keinginannya untuk punya suami. 

Beberapa kali mengurus pelbagai urusan kantor, mendapat undangan menghadiri pernikahan, urusan-urusan lain yang menguras emosi dan energi, lalu pulang ke rumah dan sendiri, rasanya letih juga. Seperti ngomong dengan tembok. Lalu dia melamunkan keadaan berdua.  

"Pastinya enak punya kawan yang selalu ada tiap hari. Bangun tidur kawan itu ada di samping kita. Waktu sedih dia ada menghibur kita. Waktu kita ingin bercerita selalu ada telinga yang siap mendengarkan curhat," katanya. 

Kami punya beberapa kawan menikah dan hidup mereka berbahagia. Mendengar cerita keseharian mereka sangat membesarkan hati. Berdua lebih baik daripada sendiri, kata Kitab Suci. 

Memang betul. Hidup melajang mempunyai kualitas-kualitas sendiri. Hidup menikah memiliki kualitas-kualitas sendiri. Keduanya ada kekurangan dan kelebihan. Keduanya memiliki kesedihan dan kesusahan sendiri. 

Yang esensi, hidup sendiri atau berdua, mesti berbahagia dengan keadaan itu. Berbahagia itu hilang bila dalam keadaan sendiri menginginkan keadaan berdua. Ketika sudah menikah menginginkan masa sendiri. 

Kita hidup hari ini. Bukan kemarin dan besok. Kemarin sudah berlalu. Besok belum datang. Jadi hiduplah hari ini.

Di waktu yang singkat itu, entah gagasan dari mana saya menyemangatinya dengan berkata, "Hari ini kamu diberi anugerah untuk memilih. Kamu tahu, banyak orang sudah tidak bisa lagi memilih. Dia sudah ada dalam kondisi yang, jalani saja hidupmu. 

Selama ini kamu hidup sendiri, dan berbahagia. Lalu hari ini diberi kesempatan untuk memilih: tetap sendiri atau menikah. Dan orangnya sudah ada, dan kamu merasa nyaman dengannya. 

Sama-sama dewasa. Hatimu pasti tahu jawabannya. Manfaatkan sebaik-baiknya waktu ini. Berdoa, tentukan. Setelah itu,  jalani pilihan itu dengan rasa syukur dan sukacita."

Teman saya setuju. Kami berpelukan sebelum berpisah. Teman saya berjanji akan memberitahu kabar berikutnya. Wajahnya sumringah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun