Kawan saya lalu mengaku.  Bahwa beberapa bulan  terakhir ia masih berdoa kepada Tuhan, menyampaikan keinginannya untuk punya suami.Â
Beberapa kali mengurus pelbagai urusan kantor, mendapat undangan menghadiri pernikahan, urusan-urusan lain yang menguras emosi dan energi, lalu pulang ke rumah dan sendiri, rasanya letih juga. Seperti ngomong dengan tembok. Lalu dia melamunkan keadaan berdua. Â
"Pastinya enak punya kawan yang selalu ada tiap hari. Bangun tidur kawan itu ada di samping kita. Waktu sedih dia ada menghibur kita. Waktu kita ingin bercerita selalu ada telinga yang siap mendengarkan curhat," katanya.Â
Kami punya beberapa kawan menikah dan hidup mereka berbahagia. Mendengar cerita keseharian mereka sangat membesarkan hati. Berdua lebih baik daripada sendiri, kata Kitab Suci.Â
Memang betul. Hidup melajang mempunyai kualitas-kualitas sendiri. Hidup menikah memiliki kualitas-kualitas sendiri. Keduanya ada kekurangan dan kelebihan. Keduanya memiliki kesedihan dan kesusahan sendiri.Â
Yang esensi, hidup sendiri atau berdua, mesti berbahagia dengan keadaan itu. Berbahagia itu hilang bila dalam keadaan sendiri menginginkan keadaan berdua. Ketika sudah menikah menginginkan masa sendiri.Â
Kita hidup hari ini. Bukan kemarin dan besok. Kemarin sudah berlalu. Besok belum datang. Jadi hiduplah hari ini.
Di waktu yang singkat itu, entah gagasan dari mana saya menyemangatinya dengan berkata, "Hari ini kamu diberi anugerah untuk memilih. Kamu tahu, banyak orang sudah tidak bisa lagi memilih. Dia sudah ada dalam kondisi yang, jalani saja hidupmu.Â
Selama ini kamu hidup sendiri, dan berbahagia. Lalu hari ini diberi kesempatan untuk memilih: tetap sendiri atau menikah. Dan orangnya sudah ada, dan kamu merasa nyaman dengannya.Â
Sama-sama dewasa. Hatimu pasti tahu jawabannya. Manfaatkan sebaik-baiknya waktu ini. Berdoa, tentukan. Setelah itu, Â jalani pilihan itu dengan rasa syukur dan sukacita."
Teman saya setuju. Kami berpelukan sebelum berpisah. Teman saya berjanji akan memberitahu kabar berikutnya. Wajahnya sumringah. Â