Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Naftali [26]

28 Oktober 2022   21:37 Diperbarui: 28 Oktober 2022   22:12 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Ulinda

Aku merasa ada sesuatu yang salah. Ezra lahir normal, makannya bagus, jarang sakit. Puji Tuhan! Sampai usia enam bulan, belum pernah kudengar suaranya mengoceh dengan bahasa bayi, atau bertahan menatap mataku, lima detik. Ara tak khawatir dengan amatanku, malah tiap ke rumah orangtuanya, ia memamerkan kemampuan Ezra tengkurap, lalu membalikkan badan telentang sendiri, tanpa bantuan.

Setelah itu ia minta semua orang bertepuk tangan karena dianggapnya itu prestasi, padahal usia itu seorang bayi memang bisa melakukannya. Uniknya, seperti berusaha menyenangkan bapaknya, Ezra bersedia melakukan atraksinya, beberapa kali, dan semua anggota keluarga terhibur, dan ia menangis keletihan. 

Sembilan bulan. Suara Ezra belum juga kudengar. Dia menolak mainan warna-warni, tak tertarik bunyi-bunyian.

Sejak tak lagi minum ASI, sepertinya ia suka dengan tekstur. Jemarinya akan mengelus-ngelus kulit wajahku, payudaraku, pakaianku, botol susunya, meraba dinding tempat tidurnya seperti merasakan sesuatu atau kesenangan di sana, setelah itu, seolah-olah selesai menganalisis, ia tersenyum-senyum kegelian, seperti tergelitik permainan atau perasaannya sendiri. 

Dan dia masih belum bisa menatapku, lebih dari lima detik. Sengaja kuhadapkan wajahku ke wajahnya, tetapi spontan dia berontak, mencakar wajahku dengan tatapan marah, memalingkan wajahnya, dan kadang-kadang menangis, dengan sangat sedih. Air matanya mengalir, hidungnya merah, matanya sendu. 

Ibu mertuaku bilang, itu turunan, karena Ara belajar bicara usia dua tahun  dan semuanya baik-baik saja. Motorik dan emosi Ara terbangun sempurna meski dengan cara berbeda dari rujukan. 

Tetapi aku tak berhenti cemas. Seluruh doaku seputar Ezra dan Ezra, dengan bahasa dan frase-frase berbeda, kujelaskan kekhawatiranku, menarik belas kasihan Tuhan, agar Dia bertindak sesuatu, menyadari sesuatu. Tetapi waktuku bukan waktu Tuhan. Balasan dari Surga, sunyi.  

Tak kuhitung berapa banyak aku membawa Ezra ke persekutuan-persekuan doa, ibadah-ibadah raya, namanya disebut dalam pokok-pokok doa keluarga dan teman-teman kami. Kami pergi ke pendeta yang tangannya memiliki karunia mengusir roh jahat, doanya ampun menengking segala setan, kepala Ezra diusapkan minyak urapan, berkali-kali, dengan penuh harapan, tetapi ... sunyi. 

Aku dikuatkan dengan cerita seorang anak tuli dalam kitab suci, anak seorang perwira, yang disembuhkan Yesus, dan murid-muridnya bertanya, itu salah siapa, Yesus menjawab, itu bukan salah siapa-siapa, ia tuli agar nama Tuhan dimuliakan di dalam dia. Tuhan tahu segala kecemasanku tentang Ezra. Ia sedang bekerja dengan caranya yang misterius. Tenanglah, hai jiwaku. Tuhan di pihakku.     

Satu kali Bi Irah, tukang masak kami, datang dengan Kiki, anak perempuannya, si lima tahun, yang menjaga Ezra berbaring di sofa, menunggu Ani yang membetulkan roda kereta dorong Ezra yang macet, hanya sebentar, tiba-tiba terdengar bunyi keras. Gedebug! Ezra jatuh! Ia terlentang di ubin, tidak menangis, seperti tak terjadi apa-apa. 

Aku khawatir ada luka dalam, membawanya ke dokter keluarga, menghilangkan spekulasi burukku, Ezra mengalami trauma. Syukurlah, tidak. Ajaibnya, keesokan hari ia mengucapkan kata ma ma ma ma, beberapa kali. Girangnya aku minta ampun. Kami mengulang suku-suku kata lain, agar ia tiru, tetapi tidak terjadi. Besok harinya lagi, kemampuan itu raib, tak berbekas.

Usia dua puluh empat bulan, aku tak tahan lagi, membawanya ke klinik terapi wicara terbaik di kota ini, Ezra diperiksa, dianalisis. Ezra bukan autis, bukan ADHD, gejalanya belum bernama. Ratusan pekan sudah lewat, dua kali seminggu kami membawanya ke klinik-klinik yang berbeda, dokter-dokter spesialis ternama, hanya sedikit saja perkembangan, tetapi Ezra makin menyendiri. 

Tujuh tahun sudah usianya, gagah jagoanku itu, masih mengagumi tekstur, tertawa geli dengan perasaannya, bijak karena pengalamannya sendiri, tanpa teman sebaya yang tahan bermain dengannya, dan kami mencintainya. Tak kami hitung biaya berbayar untuk Ezra. Asal dia bahagia, seluruhnya kami beri.

Kurasa, Ara masih teguh keyakinannya, harapannya. Kami masih melayani hati-hati yang rindu kepada Allah, mematahkan siasat orang, merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan kepada Tuhan, kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus. Kami percaya kuasa salib dan darah Kristus membebaskan setiap belenggu yang dibangun kerajaan dunia. 

Sekarang imanku bukan lagi iman tidak melihat, tetapi iman melihat iman Ara. Dalam rasa takut yang tak terjelaskan, hatiku terus didesak pertanyaan, adakah Tuhan? Kenapa begitu lama untuk sebuah jawaban? Kenapa perlu ujian yang mematikan untuk mempermuliakan nama Allah?  

Ke mana larinya doa-doa segenap jiwa yang dipanjatkan, seluruh hati yang diserahkan? Kini, ayat-ayat di kitab suci itu makin sunyi, dan tak terdengar. Tetapi, kepada orang-orang yang terpasung hatinya melihat terang, masih kukatakan, pemeliharaan Yang Mahakuasa itu sempurna. Percaya saja. Tenanglah, angin ribut akan membungkam, percaya saja. 

*

Hotel Rosewood   

Ruang Lotus, pukul sebelas. Mereka duduk berhadapan di sofa rendah berbantal empuk. Meja  dipenuhi pastri, minuman. Kopi hitam untuk Naftali, tiga jenis teh untuk yang lain. Ini pertemuan pertama sejak pernikahan yang gagal itu. 

Cuaca sungguh cerah. Bunga-bunga bermekaran, mereka bisa saksikan itu melewati dinding kaca yang bening di sisi kiri-kanan mereka. Hidup merayap cepat, menawarkan ketidakpastian, tetapi harus dilalui dengan segenap kewaspadaan.

"Kamu gemuk, Naf?" komentar April.

"Ya, beratku naik enam kilo. Ayah berpikir di perutku yang luka telah tumbuh bayi naga. Hahaha... " ujar Naftali, tawanya berderai.

"Suara kamu agak serak, ya?" tanya Ulinda, menyentuh dagu April, mempelajari lehernya yang mulus.

"Baru selesai flu, kemarin," jawab April, mengiyakan. 

Setiap orang sedang melanjutkan hidup, memaknai segala sesuatu. Dunia ini sudah sesak dengan komentar, analisis, opini, pertimbangan tiap-tiap penduduknya. Kali ini mereka ingin melupakan segala sesuatu, ingin mengingat segala sesuatu yang lain, yang menyegarkan jiwa.

Hari sesemerbak angin menghembus mawar. Pastri-pastri garing berlemak  menembangkan lagu  bahagia pada perut. Harum kopi membanjiri kamar penciuman. Waktu diam di tempatnya. Udara bersimpang-siur dalam hening. Kata-kata melayang di langit-langit ruang. 

Ulinda memerikan bahwa bertepuk tangan dua kali itu cara Ezra mengatakan aku marah. Tentang kegiatan barunya sebagai penulis kolom gaya di majalah kaum high-end, April mengalami bahwa untuk menulis satu kalimat yang berbunyi indah dan bermakna dalam memerlukan dua kali sepuluh jam duduk berhadapan dengan layar komputer. 

Meldiva baru mengagumi dirinya chef yang payah karena perlu tujuh kali latihan untuk memahami nasi kebuli yang gurih legitnya sempurna. Sambil tertawa kecil Naftali menggerak-gerakkan kesepuluh jemarinya yang gemuk, curiga, bahwa sebenarnya berat badannya naik delapan kilo, bukan enam kilo.       

"Apakah sudah waktunya makan siang?" tanya April, memeriksa jam tangannya.

Mereka tertawa renyah seperti pastri-pastri yang menari-nari dalam mulut mereka. Hati mereka terasa ringan, seringan kapas yang mudah diterbangkan angin ke mana saja, sampai ia mendarat di tanah, di mana saja.  

*

Campuhan. September 2007.

Naftali memeriksa kehidupan mayanya. Ada surat dari Beryl Dow, mengingatkan festival yang menjelang. You're going to love it, katanya, lalu dia menulis beberapa nama penulis yang diundang ke festival, sekadar meyakinkan ucapannya. Dan aku masih berutang padamu menyusuri Tegallalang, makan di bawah sinar bulan yang melelehkan lilin, datanglah, tulisnya, menutup surat. Tanpa berpikir Naftali membalas, be there. 

Beryl. Mata birunya seperti langit. Posturnya yang tinggi membuatnya sulit bersembunyi di kerumunan massa. Paduan sorot mata dan tarikan bibirnya yang tipis bergelombang, mengesankan nakal dan pintar sekaligus.  Pekerjaan resminya kurator seni. 

Tugas sehari-harinya menghibur hati-hati yang patah, mengajak siapa saja ke restoran enak untuk mendapat satu-dua informasi. Ubud adalah rumahnya. Naftali adalah cintanya yang baru, sejak di kelas puisi, di festival itu.     

Meski sejak perceraiannya dengan ibu putri mereka, si empat belas tahun Sheena, ia berjanji tak akan membuat perempuan merasa ditinggalkan, karena jiwa bebasnya, akan menariknya pergi dan pergi, ke tempat-tempat liar yang jauh dari kemapanan. Meski mengetahui Naftali dengan laki-laki India Tamil itu memberinya duka yang aneh di ulu hatinya.      

Mereka berjanji di Bandara Ngurah Rai. Naftali dari Jakarta. Beryl dari Singapura. Ia melakukan kebiasaanya, seperti dulu. Penuh perhatian dan romantis. Mencium kedua pipi Naftali dengan bunyi. Kamu patah hati, Sayang? bisiknya serius. Naftali pura-pura tak mendengar. 

"Wajahmu tak bisa bohong. Di situ letak persoalannya," kata Beryl, serius. 

"Tak ada yang lebih menyedihkan dari hubungan yang retak, itu katamu. Jadi, lupakan hubungan asmara, Beryl. Itu hanya menyusahkan kita."

Beryl mengagumi lukisan-lukisan Galeri Gde Kurnia dan makin mencintai perempuan yang ditaksirnya itu, putri pelukis yang berjam-jam berdiskusi dengannya tanpa jeda, sang pemilik galeri.  

Udara Denpasar hangat dan wangi. Taksi menuju Campuhan, tetapi mereka berhenti di Restoran Wayan Ubud. Beryl memesan sebotol bir besar. Naftali makan besar. 

"Nafsu makanmu selalu bagus. Jadi, apa kegiatanmu selama ini, Sayang?" tanya Beryl.

"Hmm,  kamu nggak lapar?"

"Melihat kamu saja aku kenyang."

"Hentikan bualan ABG-mu itu! Tak mempan buatku!"

"Baiklah, begini. Tinggallah di Bali, Sayang. Hiduplah denganku. Kita akan saling belajar. Ini permintaan serius," katanya.

Naftali menjeling, dan matanya tetap cantik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun