Ulinda mengajak Naftali bertemu, berdua saja, di Starbucks Plaza Senayan. Setelah pertemuan mereka terakhir di penthouse waktu itu, dan setelah mendengar pengakuan Naftali tentang apa yang dirasanya selama ini, Ulinda merasa perlu menyelesaikan sesuatu dengan adik sepupunya itu. Ini mendesak karena dalam hitungan beberapa minggu ke depan, Naftali akan menikah. Ia merasa dirinya bersemangat, namun tegang. Pagi tadi ia dan Ara sudah berdoa khusyuk menyebut nama Naftali beberapa kali dalam doa mereka, lalu Thiru, berharap pertemuan ini direstui Roh Kudus, mencapai sesuatu tujuan.Â
Ulinda memesan teh dingin. Naftali, hazelnut mocca kental yang terlalu manis sehingga ia sesekali membasuhnya dengan air putih dingin. Mereka duduk berhadap-hadapan di kursi kayu empat. Sore itu kedai modern sepi. Hanya ada dua pasang pelanggan duduk tenang, saling bicara dengan suara kecil. Hangat kopi membanjiri udara. Sebelumnya Ulinda sudah memuji penampilan Naftali yang serbakuning, manis. Ia selalu manis, batin Ulinda.Â
Lalu ia memulai. Sewaktu mulutnya mulai menyebut nama Tuhan untuk pertama kali, Naftali mengangkat kedua tangannya, membuka telapaknya, berarti, saya menolak. Â Â
"Ul, tolong, jangan mulai lagi," katanya.
"Aku dan Ara berdoa untukmu..."
"Ulinda, berhentilah berpikir superstitious."
"Aku tidak superstisius, Sayang. Aku yakin kau terpengaruh kutukan masa lalu yang belum diselesaikan. Kau tahu, si iblis selalu menuntut perjanjian darah yang sudah dibuat dengan nenek moyang atau siapa pun sebelum kita. Aku belum yakin pernikahanmu dengan Thiru."
"Ul, aku hargai keyakinan dan perhatianmu, juga Ara. Terima kasih kalian berdoa untukku, tapi aku punya pertimbangan sendiri, tolonglah mengerti. Ini hidupku, Ul."
"Aku ingin kamu bahagia dengan laki-laki yang benar-benar dari Tuhan."
"Kau pikir Thiru bukan dari Tuhan? Kalau tidak, kenapa Dia tidak menahanku bertemu dia, di mana-mana, agar kami tak bisa bersama? Ul, jangan bawa-bawa aku dengan keyakinanmu itu."
"Aku hanya ingin kau berdoa sekali lagi, minta petunjuk Tuhan."
"Aku sudah berdoa, Ul."
Dan sekali lagi Ulinda mengingatkan bagaimana cara ibunya, Tante Magali-nya, menikah.
"Kenapa kau selalu menghubungkanku dengan ibuku? Kita sudah dengar cerita Meldiva soal Tante Najwa dan Om Marco."
"Tentu saja, Sayang. Tante Magali menikah dengan Om Kurnia yang Hindu. Kau sekarang akan menikah dengan seorang Hindu," jawab Ulinda.
"Bagus, kan? Itu serasi, ibu dan anak. Berhentilah menjadi tuhan, Ul. Terimalah aku, terimalah Thiru. Kalau kau tak bisa, tolong jangan anggap aku tidak sempurna. Aku berhenti di sini, Ul. Terima kasih untuk perhatianmu. Kamu masih melakukan ini kepadaku, setelah peristiwa terakhir kita di penthouse. Aku sungguh nggak ngerti kamu, Ul."Â
Lalu mereka berdua termangu. Sama-sama kecewa. Sama-sama sedih. Sama-sama tak bisa meneruskan perbincangan sebagai keluarga.
Oh, Tuhan! Tuhan, Naftali membatin sambil menggeleng-geleng. Siapakah Tuhan yang kupercaya? Apakah tuhanku dan tuhan Ulinda berbeda? tanyanya dengan hati pedih. Ketika ia memutuskan bangkit dan meninggalkan kakak sepupunya, teleponnya berdering. April.Â
"April? Kamu di Jakarta? Di Plaza Senayan. Starbucks," jawab Naftali, pendek-pendek di telepon, setelah itu ke Ulinda, "April menuju kemari. Dia baru selesai di Marche."Â
Ulinda bersikap lilin. Bibir tipisnya terkatup, matanya redup. Sunyi di udara, Naftali menutup ponselnya, menawari Ulinda makanan, Ulinda menolak. April muncul. Wajahnya berwarna salem keperakan, roknya supermini, sepatu Niluh Djelantik sembilan sentimeter, rambut digelung rapi di atas tengkuknya, dan ... kedua matanya bersinar. Dia baru saja selesai pemotretan.Â
"Hai ... Ap...."
"Kenalkan ini Christina Bocelli," ujar April riang sambil memperkenalkan seorang berambut cepak cokelat, berjas rapi, dan baju dalaman yang putih cemerlang. Ia mengangguk menyalami Naftali dan Ulinda, menyebutkan namanya. Bibirnya setipis tali. Kulit tanned-nya sangat halus menawan. Naftali dan Ulinda saling pandang, berusaha sopan meski di dalam pikiran mereka sama-sama bertanya, laki-laki atau perempuan?Â
Lalu  Naftali ingat cerita April beberapa waktu lalu, soal fotografer, Raja Ampat, butchy. Apakah dia butchy? Atau femme? Dan kenapa dia kembali setelah diusir paksa oleh polisi waktu itu? Ia memperhatikan air muka Ulinda. Matanya seperti berkata dia sedang mencari tahu apakah Christina laki-laki atau perempuan.Â
 "Kami akan ke New York, dua-tiga minggu," kata April memandang Christina, yang sejak tadi diam, kemudian tersenyum simpul, memandang ke ketiga perempuan itu.Â
"Kapan?" tanya Naftali.Â
"Lusa," jawab April.
"Aku menikah bulan depan. Lima belas April," tukas Naftali.
"Menikah? Cepat sekali?"
"Cepat sekali? Kita sudah membicarakan ini dua bulan yang lalu. Lagi pula, kenapa orang ini lagi, April? Kita sudah mendiskusikannya beberapa waktu lalu. Kupikir kita selesai dalam hal ini!" tekan Naftali dengan bahasa Indonesia yang berusaha disembunyikan agar tidak mencurigakan buat Christina.Â
"Dia membuka jalan bagiku di New York," tawar April.Â
"Dan aku hanya menikah sekali seumur hidup!" sentak Naftali, lebih galak.
Seakan-akan memahami apa yang sedang dibicarakan, Christina minta izin keluar dari tempat duduknya, permisi untuk melakukan panggilan telepon.Â
"April!"
"Sumpah! Aku tidak melakukan apa pun dengannya kecuali pekerjaan." Â Â Â Â
"Ada apa? Â Dia lesbian, kan?" desak Ulinda tak sabar.Â
"Apa?"
"Tidak, April. Aku tidak bisa menerima ini?"
"Apa, Ul? Aku tidak minta pendapatmu. Aku katakan kepada kalian aku akan ke New York bersamanya karena satu perusahaan mengontrakku untuk memakai baju-baju musim panas mereka. Â Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu, Ul. Sudahlah."Â
 *
Naftali ke Johor Bahru untuk mendesain ulang rumah Thiru menjadi  "rumah". Ia membeli gorden, tempat tidur, lemari, lemari hias, bantal-bantal, seprei, kain-kain halus. Memikirkan dia akan berada di rumah ini lebih lama daripada biasanya, mungkin selamanya, membuatnya bersemangat. Sebuah kehidupan baru perlu dirayakan. Akhirnya aku meninggalkan rumah Dada dan Nana, pikirnya. Membayangkan itu saja membuat perutnya bahagia.Â
"Kita harus mengecat ulang rumah dengan warna yang lebih bersahabat, Thiru," kata Naftali. Ia tidak menyukai warna abu-abu buram dan kaku yang menurutnya seperti barak tentara. Â
"Apa maksudmu warna yang bersahabat?" tanya Thiru menyatukan alisnya.
"Warna yang membuat kita merasa tenang, hangat, dan nyaman di dalamnya."
"Kau terlalu mengada-ada, Sayang. Tetapi terserah. Do as you wish," kata Thiru sambil mengangkat kedua tangannya.
Rumah Thiru memang perlu sentuhan perempuan, Naftali, kata Elizabeth, istri Tan Yeoh.
Keadaan Thiru dan Tan Yeoh di kantor kian buruk. Petisi mereka mengusung lima tuntutan karyawan kepada perusahaan, ditolak. Kondisi keuangan perusahaan tidak memungkinkan alasannya. Kelima tuntuan mereka: menaikkan upah lembur, pengadaan peralatan yang lebih aman bagi karyawan yang bekerja di atap pesawat, perbaikan makanan bergizi bagi karyawan yang bekerja malam hari, perizinan pembentukan serikat kerja karyawan, dan pengurangan jam kerja hari Sabtu.Â
"Mereka sudah diminta berhenti oleh perusahaan karena dianggap telah mendorong makar," kata Elizabeth.
"Thiru dan Yeoh, maksudmu?" tanya Naftali.Â
"Ya."
"Thiru belum bicara apa pun denganku."
"Mereka masih berjuang. Tapi kemungkinan menang kecil. Ada beberapa karyawan yang ikut pensiun dini bila tuntutan mereka tak direspons. Sekarang kami hanya berharap uang pesangon untuk memulai usaha baru," ucap Elizabeth sambil mengusap-usap perutnya.
"Kita berharap yang terbaik, Elizabeth. Mereka perlu pekerjaan."
"Aku kasihan melihat Tan dan Thiru."
Thiru dan Tan Yeoh disikut sekelompok rekan kerja yang selama ini kawan. Bos-bos kulit putih yang dulu mengenal sejarah Thiru mulai bekerja di sana, telah lama kembali ke negara masing-masing. Mereka tidak bisa membantu. Pekerjaan mereka sudah berbeda. Sekarang "monyet-monyet" yang memegang kendali perusahaan mengubah manajemen dan kebijakan yang menguntungkan perusahaan dan mengatur lingkungan bekerja yang tidak berpihak pada karyawan banyak. Banyak pegawai lama terpaksa keluar karena tidak mampu bertahan.Â
Setiap hari Thiru pulang larut. Tetapi perjuangan revolusi jauh dari selesai. Tan Yeoh patut lebih cemas daripada Thiru. Sebentar lagi Elizabeth akan melahirkan anak ketiga mereka. Tan perlu bertahan sebentar lagi, agar persalinan istrinya dapat dibiayai asuransi perusahaan. Ia meminta Thiru mempertimbangkan keluar dari kantor setelah bayinya lahir. Â Â
"Kita bisa atur semuanya, Yeoh," kata Thiru.
"Thiru, kamu yakin kita bisa menikah dengan keadaanmu seperti ini?" tanya Naftali, satu kali.Â
"Ya, kenapa tidak? Biaya untuk itu sudah kusimpan lama," jawab Thiru. "Kalau aku tak berhasil dengan perusahaan ini, aku sudah bersiap dengan perusahaan lain yang membutuhkan keahlianku. Tidak masalah, Sayang. Sekarang, apa masalahmu?"
"Katamu kita akan ke Singapura untuk bertemu Kiran."
"Dia sedang sibuk, Sayang. Suaminya mendapat beasiswa PhD di London. Dia bekerja di rumah sakit. Dia ibu dari tiga anak laki-laki yang tidak berhenti berkelahi. What do you expect?"
"Tetapi dia satu-satunya keluargamu, Thiru. Dia akan pergi ke Jakarta, bukan?"
Thiru tak menjawab, wajahnya mendadak kusam. Isyarat ia tidak ingin membicarakan itu. Naftali kesal Thiru mengabaikan hari yang menurutnya penting ini. Lalu Thiru mengatakan bahwa tidak ada yang perlu diributkan dalam sebuah pernikahan. Itu seperti hari-hari biasa. Jangan berlebihan, biasa saja. Mendengarnya, Naftali berhenti bertanya soal itu. Mungkin Thiru benar, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Â Â
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H