"Aku sudah berdoa, Ul."
Dan sekali lagi Ulinda mengingatkan bagaimana cara ibunya, Tante Magali-nya, menikah.
"Kenapa kau selalu menghubungkanku dengan ibuku? Kita sudah dengar cerita Meldiva soal Tante Najwa dan Om Marco."
"Tentu saja, Sayang. Tante Magali menikah dengan Om Kurnia yang Hindu. Kau sekarang akan menikah dengan seorang Hindu," jawab Ulinda.
"Bagus, kan? Itu serasi, ibu dan anak. Berhentilah menjadi tuhan, Ul. Terimalah aku, terimalah Thiru. Kalau kau tak bisa, tolong jangan anggap aku tidak sempurna. Aku berhenti di sini, Ul. Terima kasih untuk perhatianmu. Kamu masih melakukan ini kepadaku, setelah peristiwa terakhir kita di penthouse. Aku sungguh nggak ngerti kamu, Ul."Â
Lalu mereka berdua termangu. Sama-sama kecewa. Sama-sama sedih. Sama-sama tak bisa meneruskan perbincangan sebagai keluarga.
Oh, Tuhan! Tuhan, Naftali membatin sambil menggeleng-geleng. Siapakah Tuhan yang kupercaya? Apakah tuhanku dan tuhan Ulinda berbeda? tanyanya dengan hati pedih. Ketika ia memutuskan bangkit dan meninggalkan kakak sepupunya, teleponnya berdering. April.Â
"April? Kamu di Jakarta? Di Plaza Senayan. Starbucks," jawab Naftali, pendek-pendek di telepon, setelah itu ke Ulinda, "April menuju kemari. Dia baru selesai di Marche."Â
Ulinda bersikap lilin. Bibir tipisnya terkatup, matanya redup. Sunyi di udara, Naftali menutup ponselnya, menawari Ulinda makanan, Ulinda menolak. April muncul. Wajahnya berwarna salem keperakan, roknya supermini, sepatu Niluh Djelantik sembilan sentimeter, rambut digelung rapi di atas tengkuknya, dan ... kedua matanya bersinar. Dia baru saja selesai pemotretan.Â
"Hai ... Ap...."
"Kenalkan ini Christina Bocelli," ujar April riang sambil memperkenalkan seorang berambut cepak cokelat, berjas rapi, dan baju dalaman yang putih cemerlang. Ia mengangguk menyalami Naftali dan Ulinda, menyebutkan namanya. Bibirnya setipis tali. Kulit tanned-nya sangat halus menawan. Naftali dan Ulinda saling pandang, berusaha sopan meski di dalam pikiran mereka sama-sama bertanya, laki-laki atau perempuan?Â