"Ya."
"Itu sebabnya kamu berlari mengejarku di Ubud?"
"Mungkin."
"Kenapa kamu peduli supaya aku mengikuti acara itu?"
"Entahlah, spontan saja."
"Well, aku terkesan waktu kamu mengejarku. Seorang perempuan muda yang manis sepertimu mengejarku hanya untuk menawariku menonton acara itu. Biasanya aku tak sabar menghadapi kemanjaan perempuan seperti itu. Apalagi setelah kamu bicara hal-hal bodoh, termasuk tak mau berhubungan seks karena alasan menjaga kesucian dan masuk surga."
"Aku tidak bilang supaya masuk surga," protes Naftali.
"Ya, ya. Kamu bilang pikiran itu sudah ditanam dalam-dalam oleh nenekmu," jawab Thiru.
"Jadi, aku manja?"
"Sudahlah, lupakan," jawab Thiru, wajahnya mengilat, mungkin tersipu. "Kamu tahu, mungkin aku sudah menyukaimu dalam dua hari kita di Ubud. Kamu begitu relaks. Memperkenalkanku kepada temanmu. Belum pernah aku diperlakukan seperti itu oleh siapa pun. Lalu kamu mau bertemu aku selanjutnya. Buatku itu istimewa. Asal bisa bertemu denganmu, aku mau lakukan apa saja. Namun, aku merenung kenapa kamu mau menemuiku? Apa yang kamu lihat dari aku ini? Aku sudah katakan banyak hal dalam diriku tidak mungkin berubah, tidak mungkin kompromi, tidak toleran. Aku hanya berjanji kepada diriku untuk melindungimu dari apa saja yang membuatmu sakit. Kamu bilang tak gentar berhadapan denganku yang serba curiga ini. Kamu tak gentar waktu aku bilang aku jenis manusia yang hidup dengan standar khusus yang kubuat sendiri, tak peduli orang lain menerima prinsipku atau tidak. Aku tak tahu dari mana timbulnya daya tahanku menghadapi pertanyaan-pertanyaan bodohmu yang kubenci itu. Aku telah melewati batas toleransi yang kutentukan sendiri, Naftali. Karenamu."Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H