Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Manghuntal

11 September 2022   15:25 Diperbarui: 11 September 2022   15:30 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

ADALAH sepasang suami istri di Bakkara, di satu lembah di Danau Toba. Bona Ni Onan dan istrinya, Boru Pasaribu. Mereka berdua hidup bahagia. 

Satu hari Bona Ni Onan pergi berdagang ke negeri yang jauh. Dia berangkat menunggang seekor kuda. 

Setahun berlalu Bona Ni Onan kembali, terkejut melihat perut istrinya besar. Ia pun pergi, dan menginap di rumah orangtuanya. 

Malam harinya Bona Ni Onan sulit tidur. Menjelang subuh ia baru tertidur dan dewata Batara Guru menjumpainya dalam mimpi, berkata, "Bona Ni Onan, istrimu sedang mengandung seorang bayi, dan bayi yang dikandungnya titisan dewata. Kelak ia menjadi raja bergelar Singa Mangaraja."

Lalu Bona Ni Onan pulang dan menceritakan mimpi itu kepada istrinya. Sebaliknya, istrinya mengisahkan apa yang terjadi pada dirinya. Siang itu dia pergi marpangir ke mata air Tombak Sulusulu. Di sana ia memohon keturunan kepada Mulajadi Na Bolon. Selagi mandi ia melihat segaris sinar melesat dari langit, satu benda jatuh ke bumi. Ia mendekati tempat itu. Benda yang jatuh  itu ternyata jambu barus. Jambu itu segar dan menarik hatinya. Ia pun memungut, dan memakannya. 

Tak lama setelah peristiwa itu ia hamil. Ia senang karena doanya dikabulkan tetapi bingung karena suaminya sedang bepergian. Dia menemui sibaso, syaman perempuan, bertanya perihal kehamilannya. Sibaso berkata bayinya akan menjadi raja. 

Setelah itu Bona Ni Onan dan istrinya akur kembali. Boru Pasaribu hamil selama tiga tahun. Keluarga dan tetangga bertanya-tanya tentang usia kehamilan yang tak biasa itu. Untuk menghindari gunjingan orang, Bona Ni Onan membawa istrinya ke dusun terpencil. 

Lalu Boru Pasaribu bersalin. Ia melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat itu juga terjadi gempa bumi disertai hujan badai dan halilintar. Karena itu bayi diberi nama: Manghuntal, artinya bergoyang. Pun pada gusi bayi sudah nampak calon gigi dan di lidahnya andeng-andeng berbulu. 

Satu kali Bona Ni Onan duduk-duduk di rumahnya, seekor burung besar bersayap datang bertamu. Itu Leangleang Mandi, pesuruh dewata Batara Guru. Ia menyerahkan pustaha kepada Bona Ni Onan, berkata, "Batara Guru berkata kau harus mengajarkan isi kitab ini kepada anakmu." 

Ada tiga kitab yang diberikan. Pertama, kitab petunjuk dan aturan perbintangan. Kedua, hal-hal yang tidak kelihatan. Ketiga, pengetahuan hari baik dan hari buruk. 

Manghuntal tumbuh besar dalam kasih sayang orang tuanya. Ia baik perangainya, sopan bicaranya. Ia disukai orang-orang di sekitarnya. 

*

Manghuntal tumbuh menjadi pemuda. Ia senang pergi ke desa-desa. Di rumah orang kaya desa ia melihat hatoban. Hatoban bekerja sejak pagi hingga petang tanpa upah. Bila tuan mereka berkata kasar, mereka tidak melawan. 

Manghuntal bertanya kepada orang desa bagaimana seseorang menjadi hatoban. Mereka menjawab, pertama, bila seseorang punya hutang terlalu besar dan tidak sanggup membayar. Kedua, kalau orang kalah berjudi. Ketiga, kalau orang sangat miskin sehingga ia harus bekerja mengabdi kepada orang. Dan bila seorang telah menjadi budak, maka selamanya ia budak kecuali ada orang yang menebus dan membebaskan si budak. 

Setelah itu Manghuntal bertekad untuk menebus budak-budak. Ke desa mana pun pergi, dia bertanya apakah ada budak. Kalau ya, dia akan menebus dengan uangnya. Karena itu ia sering kehabisan uang karena menebus budak.  

*

Pada satu hari orangtuanya merasa Manghuntal telah mampu mengukur mana yang baik mana yang buruk. Inilah saatnya memberitahu Manghuntal tentang takdir yang mesti dijemputnya. 

Jadi ayahnya berkata, "Anakku, kau telah dewasa, tahu mana yang baik mana yang buruk. Sekarang pergi, temuilah Raja Uti. Dia Mahasakti. Dia akan memberitahumu apa yang harus kaulakukan." 

Menghuntal menurut apa kata orangtuanya. Ia pun pergi mencari Raja Uti.

Raja Uti tinggal di langit sebelah barat. Perjalanan itu melewati banyak rintangan namun Manghuntal tidak gentar. Dengan berperahu ia menyeberangi pulau, melewati malam gelap, angin kencang, kesepian yang kejam. Dia terus berjalan sampai tiba di tujuan. 

"Beliau akan turun menemuimu pada waktu yang ia berkenan," begitu kata istri Raja Uti menyambut kedatangan Manghuntal.

Manghuntal duduk beralas tikar, menunggu. Istri Raja Uti sajikan hidangan sayuran daun umbi rambat, Manghuntal menjumput tangkai daun dengan ibu jari dan jari telunjuk, menariknya hingga ke atas kepala. Saat itulah matanya melihat seorang duduk di tempat tinggi. Mulutnya serupa moncong babi. Hatinya memberitahu itulah Raja Uti. Sudah terlihat, maka Raja Uti pun turun menemui tamunya. 

"Apa keperluanmu menemuiku, Anak Muda?" 

"Bila mendapat izin Paduka Tuanku, hamba menginginkan seekor gajah putih."

"Kau akan mendapatkan seekor gajah putih setelah kau memenuhi permintaanku."

"Katakanlah permintaan Paduka Tuanku."

Raja Uti minta dibawakan seekor kuda bertanduk, seorang perempuan berkuping menutupi kepala, seorang laki-laki berpayudara, seorang balar, dan seekor ayam jago bertelur. 

Manghuntal berkata, "Hamba akan kembali dengan semua permintaan Paduka Tuanku." 

Setelah itu pulanglah ia ke negerinya. 

Manghuntal pergi ke satu desa dan bertemu seorang petani. Petani itu mengawinkan beragam jenis hewan peliharaan. Petani punya seekor kuda bertanduk hasil perkawinan kambing dan kuda. Manghuntal menceritakan keperluannya dan petani itu dengan senang hati menyerahkan kuda bertanduk kepadanya.  

"Semoga kau berhasil mendapat apa yang kaudambakan," kata petani sahabatnya. 

Manghuntal pergi ke desa penenun. Di sana ada penenun yang menghasilkan ulos paling indah. Ia biasa menenun sambil mengenakan tudung yang menghubungkan kedua telinganya. Ia mengajak penenun itu pergi bersamanya. 

Manghuntal pergi ke satu desa di mana tinggal seorang yang dianggap gila. Orang itu periang suka menolong. Karena itu ia disukai oleh orang desa dan sering diberi makanan. Karena banyak makan, ia pun gemuk. Saking tambunnya, dadanya tumbuh seperti payudara. 

Manghuntal pergi ke dusun terpencil. Di sana ada seorang balar sejak lahir. Rambut, bulu mata dan mata, kulit, semua putih. Penduduk desa menganggapnya ia kena kutuk. Namun Manghuntal bersahabat dengannya.

Ayam jago bertelur, di mana ia mendapatkannya? Di rumah. Ayahnya mengajari ayam-ayam jago peliharaannya mengerami telur-telur. 

Begitulah semua persyaratan ia dapatkan dalam sehari. Ia kembali menemui Raja Uti. Melihat cepatnya Manghuntal memenuhi permintaan, Raja Uti percaya pemuda itu ditakdirkan raja. 

"Sekarang tangkaplah gajah putih yang kau inginkan," kata Raja Uti.

Manghuntal memanggil gajah putih milik Raja Uti, gajah itu mendekat dan tunduk kepadanya. Lantas Raja Uti memberikan piso gaja dompak, senjata saktinya, kepada Manghuntal, dan berkata, "Bawalah ini pulang. Setibanya kau di negerimu, serahkan senjata ini kepada raja adat, raja bius, parbaringin. Mereka akan tahu apa yang harus dilakukan." 

Manghuntal kembali ke negerinya berkendara seekor gajah putih. Ia melakukan semua yang dikatakan Raja Uti. 

Di negerinya ada enam desa. Bakkara, Sinambela, Sihite, Simanullang, Marbun, Simamora. Masing-masing desa dikepalai raja adat bergelar Ompu. Keenam Ompu menerima piso gaja dompak dalam upacara gondang. Mereka memakaikan ulos ke kepala Manghuntal dan menaruh beras ke kepalanya. Gondang dimainkan, Manghuntal pun manortor.

Lalu keenam Ompu menyerahkan senjata Raja Uti kembali kepada Manghuntal. Manghuntal menerimanya, mencabut senjata itu dari sarungnya, dan menghunuskannya ke udara. Bersamaan waktu itu langit mendung kemudian hujan turun. Rakyat menyambut turunnya hujan dengan gembira. Senjata itu telah memilih tuannya yang baru. 

Keenam Ompu berseru, "Horas! Horas! Horas!"

Manghuntal diangkat menjadi raja di Bakkara. Dia tetap melanjutkan kebiasaannya, mengunjungi desa-desa. Ia melihat keadaan dan mendengarkan mereka serta membebaskan budak-budak. Begitulah ia membangun kerajaannya adil dan makmur. 

Di Bakkara ada banyak kuda. Kuda-kuda Bakkara terkenal tangkas dan berlari cepat. Manghuntal cakap menunggang kuda. Karena kecakapannya itu, ia menjadi panglima perang Kerajaan Hatorusan di wilayah Singkel dan Barus. Ia mengatasi pemberontakan rakyat pedalaman dan mengusir tentara asing. Selesai perang ia kembali ke Bakkara. Pada waktu itu ia ditabal menjadi raja bergelar Singa Mangaraja. Penabalannya menjadi awal Dinasti Sisingamangaraja di desa Lumbanraja, Bakkara.  

Singa Mangaraja memimpin rakyat dengan bijaksana dan welas asih. Ia adalah singa mangalompoi singa naso halompoan (pola yang melampaui pola yang tak terlampaui). Ia adalah sisingahon harajaon di sibirong mata (pola hukum si mata hitam). Napitu hali malim napitu hali solam (raja yang tujuh kali suci tujuh kali bertuah). Nasinolamhon ni Ompunta Mulajadi Na Bolon (kedudukannya ditentukan Mulajadi Na Bolon). 

Sepuluh tahun Manghuntal memimpin sebagai Singa Mangaraja. Menjelang akhir hidupnya, ia menghilang. Orang percaya ia dijemput sendiri oleh Mulajadi Na Bolon ke langit untuk hidup kekal di sana. Setelah itu Marjolong, anak laki-lakinya yang berusia 10 tahun, dinobatkan Singa Mangaraja berikutnya. 

Dinasti Sisingamangaraja dimulai abad 15, bertahan ratusan tahun hingga Sisingamangaraja XII, yang gugur pada 1907. 

*

Balige, Agustus 2021 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun