*
Manghuntal tumbuh menjadi pemuda. Ia senang pergi ke desa-desa. Di rumah orang kaya desa ia melihat hatoban. Hatoban bekerja sejak pagi hingga petang tanpa upah. Bila tuan mereka berkata kasar, mereka tidak melawan.Â
Manghuntal bertanya kepada orang desa bagaimana seseorang menjadi hatoban. Mereka menjawab, pertama, bila seseorang punya hutang terlalu besar dan tidak sanggup membayar. Kedua, kalau orang kalah berjudi. Ketiga, kalau orang sangat miskin sehingga ia harus bekerja mengabdi kepada orang. Dan bila seorang telah menjadi budak, maka selamanya ia budak kecuali ada orang yang menebus dan membebaskan si budak.Â
Setelah itu Manghuntal bertekad untuk menebus budak-budak. Ke desa mana pun pergi, dia bertanya apakah ada budak. Kalau ya, dia akan menebus dengan uangnya. Karena itu ia sering kehabisan uang karena menebus budak. Â
*
Pada satu hari orangtuanya merasa Manghuntal telah mampu mengukur mana yang baik mana yang buruk. Inilah saatnya memberitahu Manghuntal tentang takdir yang mesti dijemputnya.Â
Jadi ayahnya berkata, "Anakku, kau telah dewasa, tahu mana yang baik mana yang buruk. Sekarang pergi, temuilah Raja Uti. Dia Mahasakti. Dia akan memberitahumu apa yang harus kaulakukan."Â
Menghuntal menurut apa kata orangtuanya. Ia pun pergi mencari Raja Uti.
Raja Uti tinggal di langit sebelah barat. Perjalanan itu melewati banyak rintangan namun Manghuntal tidak gentar. Dengan berperahu ia menyeberangi pulau, melewati malam gelap, angin kencang, kesepian yang kejam. Dia terus berjalan sampai tiba di tujuan.Â
"Beliau akan turun menemuimu pada waktu yang ia berkenan," begitu kata istri Raja Uti menyambut kedatangan Manghuntal.
Manghuntal duduk beralas tikar, menunggu. Istri Raja Uti sajikan hidangan sayuran daun umbi rambat, Manghuntal menjumput tangkai daun dengan ibu jari dan jari telunjuk, menariknya hingga ke atas kepala. Saat itulah matanya melihat seorang duduk di tempat tinggi. Mulutnya serupa moncong babi. Hatinya memberitahu itulah Raja Uti. Sudah terlihat, maka Raja Uti pun turun menemui tamunya.Â