Jangan kasitau suami ku kalau sore ini, meskipun aku sedang duduk disampingnya menemaninya membaca majalah politik favoritnya, aku sedang memikirkan lelaki itu. Lelaki yang kusebut Mantan.
•••
Aku masih ingat bagaimana aku mencampakkan lelaki itu. Begitu saja, tanpa rasa bersalah. Bagiku dia pantas menerima keputusan sepihak ku itu. Aku sudah memikirkannya matang matang. Memikirkannya saat dia tengah malam datang ke rumah kontrakanku mengantarkan obat untukku. Memikirkan keputusan itu dalam berbagai hal yang seharusnya membuatku tidak perlu mencampakkannya. Tidak. Aku tidak bisa menahannya tetap untukku.Â
Tidak dengan semua ketulusannya.Â
•••
"Disini saja, bersamaku" ditahannya tanganku, seolah bisa menahan hatiku. Tapi aku terlalu bebal. Egois.Â
Langit biru dan kupu-kupu yang berterbangan di perut ku saat pertama kali kami berjumpa perlahan memudar. Enggan ku akui, aku jenuh.Â
Ketulusannya, membuat bosan, sementara hatiku masih labil. Seperti ABG yang baru puber. Aku menginginkan tantangan, kecemburuan, sedikit pertengkaran.Â
Seperti biasanya, lelaki itu selalu tak bisa menolak keinginanku.Â
Apa kalian tau, dia tak pernah sedikitun melepaskan hatiku.
Dibiarkannya aku berkelana. Jatuh hati, patah lagi, bangkit lagi kemudian jatuh cinta lagi.Â
Yang aku tak pernah tau, dia masih setia menyelipkan namaku dalam doanya.Â
•••
"Tuhan, aku lelah." Bisikku malam itu.Â
Berkali kali patah hati. Tak bisa membuatku sekuat dulu.Â
Aku menyerah.Â
Aku merindukan nya bahu kokoh yang disediakannya untukku.Â
"Bersandarlah jika kau lelah" ucapnya  disuatu sore saat aku terlalu lelah untuk tertawa.Â
Masihkah bahu itu tersedia untukku? , Pikirku kala itu
•••Â
Hingga disuatu senja, Sebuah motor bebek biru menjajari langkahku. Menawarkan tumpangan yang penuh keheningan. Hanya ucapan terima kasih yang ku ucapkan sebelum berlalu.Â
Yang dibalasnya dengan senyuman. Lelaki itu mengerti hatiku tak sekeras dulu. Â
•••
Ku lirik suami ku, menyeruput kopi nya yang sudah dingin. Mengecapnya sebentar kemudian mengeluarkan ekspresi puasnya sambil berkomentar ringan tentang partai A yang sekarang mendukung partai B.Â
Aku hanya menimpali sedikit kemudian melanjutkan lamunanku. Pikiranku melayang, pada lelaki itu. Yang kusebut mantan.
•••
Ada canggung yang menggunung saat pertama kali aku menerima ajakannya makan malam, setelah kucampakkan dia dua tahun sebelumnya.Â
"Apa kabar?" Bukan ungkapan yang tepat untuk memulai sebuah percakapan yang dipenuhi oleh bisu.
"Masih suka nasi goreng?" Tanya lelaki itu, sambil membolak balikkan menu.
"Hm..." aku mengadah menatap wajahnya. Sekarang jauh lebih segar. Tidak ada lagi rambut panjang hingga  menutupi dahinya. Â
"Satu nasi goreng pedas, kerupuknya di banyakin. Sama Ifu mie kuah. Tambah es jeruk mbak" Pesan nya jelas.Â
Lelaki berkemeja kotak kotak biru itu masih ingat jelas menu favorit ku. Ah ya, itu kemeja pemberianku. Sudah lama sekali. Aku tau dia menyukai warna biru.Â
Seperti dulu pertama kali melihatnya. Lelaki ini berhasil membuatku tertawa dengan cerita lucunya, sederhananya mencairkan kecanggungan menggunung itu.Â
Tersadar aku salah. Melepaskan yang terbaik.
••
Konon katanya, Jika kau mencintai sesuatu, lepaskan ia. Jika ia kembali padamu, dia menjadi milikmu selamanya.Â
Bagaimana bisa, pikirku dulu.
"Magrib, masuk yuk ma." Ucap suami ku menghentikan lamunanku.Â
Diulurkannya tangannya padaku. Tangan yang menggenggam ku saat hari hari sulitku, yang berjanji tidak akan melepasku lagi, apapun yang terjadi.Â
Kusambut tangan itu, tangan yang pernah ku minta untuk melepaskanku. Tangan lelaki yang pernah ku sebut mantan. Aku tersenyum menatap matanya.Â
"Kenapa?" Tanya nya.
"Makasih ya." Jawabku tersenyum.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H