Di negara manapun, masalah pendidikan itu penting.
Tujuan akhir dari proses mengenyam pendidikan itu bukan sekadar untuk mencari kerja, tapi juga untuk meningkatkan kapasitas dari sumber daya manusia, baik di segi kuantitas maupun kualitasnya.
Keterkaitannya secara global misalnya, pendidikan atau pun keterampilan sumber daya manusia (SDM) sebagai tenaga kerja ini, sewajibnya terus dilakukan agar selalu 'update', tak tertinggal, dan tetap mengikuti tren/ standar internasional, terutama pada era Artificial Inteligence (AI) yang tengah berlangsung saat ini.
Sesuai 'janji' negara untuk menyejahterakan rakyatnya, maka suatu negara tidak boleh melepaskan tanggung jawabnya dalam membiayai pendidikan rakyatnya (mandatory spending), termasuk di Indonesia.
Pendidikan formal yang memadai pada tingkat dasar sudah lama ditanggung oleh negara, misalnya BOS (Bantuan Operasional Sekolah).
Realisasinya bisa dalam bentuk pembebasan iuran SPP di tingkat SD dan SMP, ataupun berupa bantuan buku-buku referensi. Intinya, semua sekolah SD dan SMP Negeri wajib menyelenggarakan pendidikan gratis.
Alokasi anggaran di bidang pendidikan tersebut mengiris porsi kue APBN dengan persentase sebesar 20% dari APBN atau setara Rp 665,02 triliun.
(Bandingkan dengan persentase anggaran anggaran kesehatan yang lebih kecil, yakni sebesar 5,6% dari APBN atau senilai Rp 186,4 triliun)
Namun pada kenyataannya, masih saja terjadi kendala dalam memperoleh kesempatan bersekolah bagi putra-putri bangsa di berbagai penjuru Nusantara ini.
Pendidikan tetaplah merupakah 'beban' yang SULIT sekaligus MAHAL bagi sebagian rakyat Indonesia.
SULIT: artinya terdapat berbagai kendala di segi transportasi, atau ketersediaan guru pengajar, bahkan juga pada akses jaringan internet. Terlebih lagi, hal ini terasa di daerah 3T (Tertinggal, Terluar, Terdepan).
MAHAL: artinya biaya pendidikan anak yang ditanggung orang tua, pada kenyataannya tak terlepas dari belitan komersialisasi dan privatisasi di dunia bisnis pendidikan, terutama di jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas)/ SMK, atau terlebih lagi di tingkat perguruan tinggi.
Ketimpangan dalam memperoleh kesempatan pendidikan pun tak terelakkan, sehingga Pemerintah harus meminimalisasi kesenjangan (lack) tersebut, terutama di daerah 3T.
Sejatinya, Pemerintah bertanggungjawab atas tata kelola dana tersebut, dari Pusat hingga diterima oleh tangan/ pihak yang berhak, di antaranya yakni kepada para jajaran para pendidik maupun anak-anak didik di negeri ini, termasuk ditujukan untuk infrastruktur pendidikan (gedung sekolah, dan lain-lain).
Sudah sewajibnya, dana pendidikan tidak dicampuradukkan dengan aspek politik yang lain, agar tidak terjadi komplikasi di dunia pendidikan (misalnya, dialihkannya dana pendidikan menjadi 'dana-dana yang lain').
Selain itu, Pemerintah harus terus mendorong penerimaan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan negara, demi membiayai pendidikan (mandatory spending). Selain itu Pemerintah juga selayaknya mendisiplinkan penyaluran dan penggunaan dana tersebut agar konsisten, merata, dan inklusif sehingga semua putra/ putri bangsa Indonesia dapat memperoleh haknya.
-------------
Singkatan:
SD: Sekolah Dasar
SMP: Sekolah Menengah Pertama
SMA: Sekolah Menengah Atas
Referensi:
Bahan tulisan ini diambil dari berbagai media
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI