Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) saat ini tengah menapaki masa suram, walau sebelumnya memang sudah cenderung terpuruk semenjak beberapa waktu yang lalu.
Kinerjanya semakin memburuk akibat ketidakstabilan ekonomi pasca pandemi, dampak perang berkepanjangan Rusia-Ukraina, efek resesi, stagflasi, inflasi tinggi skala global, serta suku bunga tinggi.
Padahal di tahun kemarin (2021), kontribusi industri TPT mencapai Rp 180,2 triliun terhadap PDB nasional dan menyumbang porsi cukup signifikan yakni 5,6% dari total ekspor Indonesia, dengan tingkat utilisasi menncapai lebih 70%.
Gambar 1. Suasana di Pasar Tanah Abang, Jakarta
Ekspor Lesu, Berharap pada Pasar Domestik, Justru Banjir Impor
Ekspor TPT mengalami kelesuan akibat kondisi ekonomi negara-negara pasar tradisional (misalnya, Amerika Serikat) yang memang sedang sulit, semuanya tanpa terkecuali.
Negara-negara pasar non tradisional pun disasar sebagai tujuan ekspor yang baru. Apa daya, negara-negara pengekspor besar TPT lainnya (terutama Cina, India, Banglades) juga berpikir hal yang sama, sehingga penetrasi pasarnya menjadi lebih sulit (kompetitif).
Karena itu, industriawan TPT menumpukan harapannya pada pasar domestik. Namun, kendala berupa keterbatasan daya beli, memaksa masyarakat lebih menitikberatkan porsi belanjanya (preferensi konsumen) kepada kebutuhan primer (pangan) dan energi, ketimbang urusan fesyen (fashion).
Ironisnya, di dalam negeri sendiri produk TPT impor justru membanjiri pasar, baik yang didatangkan secara legal maupun yang semi-illegal (melebihi izin impor yang diputuskan oleh Pemerintah). Wajarlah, jika dalam konteks ini produsen TPT lokal meminta perlindungan Pemerintah. Perlindungan tersebut misalnya berbentuk sebagai pembatasan izin impor, terutama terhadap jenis tekstil dan produk-jadinya yang sudah mampu diproduksi sendiri.
Gambar 2. Banjir impor?
Hulu-hilir Industri TPT
Sektor hilir industri TPT (antara lain garmen, usaha konveksi pakaian) yang 'macet' (tak terserap oleh pasar domestik maupun luar negeri), akan berimbas pada bagian hulu industri TPT (yakni tekstil sebagai bahan baku). Demikian pula sebaliknya.
Dampak Perlambatan/ Penurunan Industri Tekstil
1. Pengurangan jam operasional pabrik TPT
2. Utilitas pabrik tekstil berkurang (penurunan utilisasi dari sekitar 70% menjadi hanya sekitar 40-50%)
2. Terjadinya Gelombang PHK
Selama Januari-September 2022, di Jawa Barat (sentra industri TPT) angka PHK telah mencapai 70.000 pekerja
4. Pekerja dirumahkan walau belum di-PHK
3. Beberapa perusahaan bahkan menutup pabriknya (di Jawa Barat telah terjadi penutupan sekitar 18 perusahaan)
Solusi Yang Diharapkan
1. Mewujudkan Neraca Komoditas TPT
Neraca ini berguna untuk menentukan perizinan ekspor dan impor TPT
2. Mengoptimalkan belanja pemerintah berbasis Program Peningkatan Produk Dalam Negeri (P3DN)
3. Memberikan insentif/ stimulus pada sektor industri TPT tersebut
4. Membentuk satuan tugas untuk pengawasan dan penindakan terhadap importasi tekstil ilegal.
5. Mengupayakan penguatan pasar domestik
6. Terkait PHK, perlu pendampingan oleh mediator lintas Kementerian yang menengahi employer (pelaku usaha) dan employee (pekerja/ buruh), baik di tingkat pusat dan daerah
PENUTUP
Problem industri TPT yang tengah megap-megap dan mengisyaratkan kondisi 'SOS' ini, harus diseriusi oleh Pemerintah, mengingat kehandalan sektor ini dalam segi penyerapan tenaga kerja dan multiplier effect terhadap perekenomian di sekitar daerah industri TPT tersebut, selain kontribusinya yang signifikan terhadap perekonomian nasional, tentunya.
SUMBER:
1. https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2022/11/02/industri-tekstil-butuh-solusi
3. https://insight.kontan.co.id/news/sos-gelombang-phk-industri-tekstil-indonesia-kembali-datang
___
Tulisan ini dipublikasi ulang melalui blog pribadi penulis: rasio.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H