Mohon tunggu...
Noverita Hapsari
Noverita Hapsari Mohon Tunggu... Lainnya - Fun and Fine

Seorang Kompasioner

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Selamat Tinggal, Nopol Cantikku... (1)

15 Oktober 2021   09:45 Diperbarui: 15 Oktober 2021   09:52 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Raya bersama papa

             Sakinnah adalah nama yang disandangkan papa padaku semenjak aku menghirup udara dunia pertama kalinya, saat masih dalam keadaan mata terpejam. Semenjak itu pun hidupku terasa sejahtera lahir dan batin dalam buaian kasih orang tua. Aku dibesarkan sebagai si bungsu, dan putri satu-satunya, bersama kedua kakak laki-laki, mas Ardi dan mas Feri. Kini kedua kakakku telah menikah dan meninggalkan rumah. Alasannya wajar saja, istri mereka tidak ingin tinggal di rumah "Mertua Indah" estate.

           Malam ini pukul tujuh seperti biasa, kami, yakni aku dan papa, menikmati hidangan malam bersama di meja dengan ukiran Jepara di ujung-ujungnya. Kuambilkan dua sendok besar sayur kesukaan papa, seperti yang dimintanya. Beliau harus banyak makan serat sesuai anjuran dokter.

     Papa segera menyuap sayur asam spesial buatanku, dengan ulekan cabai yang lembut tidak terlalu pedas, dengan tambahan sepotong ikan asin yang kucemplungkan, dan gerusan secuil oncom, plus segenggam kacang tanah, direbus bersama dengan racikan bahan sayur asam pada umumnya. Sepotong asam muda tidak kulupakan. Kuaduk bersama bumbu kasih sayang.

     Seraya menikmati sayur tersebut, papa membuka pembicaraan, yang aku bisa menebak arahnya,"Ina, jika kamu berniat bekerja di luar kota, boleh-boleh saja, papa izinkan."

     Aku mengatur kata, lebih tepat kopas alias copy paste dari pembicaraan seperti ini, persis sama dengan yang sudah-sudah dan berulang dilakukan papa.

".. Lalu meninggalkan papa sendiri di rumah ini? Tidak dong, pah. Ina juga tidak nyaman hidup di tempat-tempat kos di luar Jakarta. Ina senang tinggal di rumah ini saja. Boleh kan pah..?"jawabku dengan nada merajuk.

Maka, kami pun mulai mengobrol.

"Tidak bosan?" tanya papa singkat, sambil menyantap potongan pepaya, penutup makan malam.

"Tidak pernah," jawabku juga ringkas.

Kami pun mulai mengobrol tentang banyak hal.

     Papa terlalu baik untuk menanyakan apakah aku tidak ingin bekerja, sembari mencari jodoh, atau melanjutkan kuliahku yang terputus. Sebenarnya bukan putus, tapi cuti yang kepanjangan. Niat cuti satu semester karena berkabung atas wafatnya mama beberapa tahun yang lalu, berlanjut lagi karena aku terasa belum ingin kembali ke bangku kampus. Apalagi rasa lara saat itu bertambah kala Hendra memutuskan ikatan tali kasih kami. Ia lebih memilih seorang gadis dengan lesung pipit yang sangat dalam dan lekuk tubuh yang super menawan. Pernah ketika kulihat mereka berdua berjalan memasuki mobil milik mantanku tersebut, aku sempat menerka-nerka, kupikir mereka akan menuju ke tempat pendaftaran Miss Universe.

     Ratusan benang kenangan dan ribuan syak wasangka seperti ini membuatku nekad mengambil cuti lagi. Demikian seterusnya, hingga tak sadar bahwa aku sudah terhitung mundur dari kuliah.

      Papah sakit-sakitan setelah mama berpulang, hingga aku banyak menghabiskan hari-hariku mendampinginya. Namun setelah badai berlalu, hari-hari menjadi normal kembali. Namun aku terlanjur terikat dengan sukarela, untuk membantu papa yang sudah pensiun itu, hingga mungkin jika suatu saat papa memperoleh pendamping yang baru. Walaupun toh hingga detik ini papa tidak memperlihatkan tanda-tanda ke sana. Maka tak salah kiranya, jika aku memberinya 'hadiah' atas manifestasi kesetiaan beliau pada almarhum mama.

     Berangsur-angsur aku dan papa menerima keadaan masing-masing, dan lebih sering duduk bersama. Di antara aku dan papa terdapat ikhtiar saling menjaga satu sama lainnya, berusaha memurnikan jiwa, seolah-olah tak ada suatu pun yang menyedihkan ataupun yang perlu disesali telah terjadi.

              Minggu ini begitu sibuknya aku membantu persiapan papa mengunjungi keluarga besar di Tegal, Jawa Tengah. Ke kota tersebutlah, papa biasa berkunjung untuk bersilaturahmi dengan budhe dan pakdhe yang memang berdomisili di sana. Jika sudah berkumpul bersama sedemikian rupa, papa banyak mengobrol bernostalgia masa muda mereka hingga berdiskusi mengenai masa-masa tua yang tengah menjelang.

Aku mengantar papa dengan bus eksekutif, menginap sehari saja di Tegal, dan pulang sendiri, karena papa masih kerasan dan memang ada urusan mengenai tanah di sana.

              Setiba di rumah, seharian aku tertidur karena tubuh ini lumayan lelah, pegal dan kaku duduk di bus dengan menggunakan masker, terasa asupan oksigen tidak maksimal.

              Dengan tubuh yang kembali pulih dan bugar di pagi berikutnya, rasa lapar mengajakku ke dapur untuk mempersiapkan makan siang yang sesederhana mungkin, menikmatinya tanpa berlama-lama, dan aku segera memeriksa daftar rencana di agenda biruku. Tiba-tiba tulisan yang mengingatkan untuk memperpanjang STNK mobil papa, membuatku sigap bangkit dari kursi makan, menggapai ponselku, dan menghubungi pak No, bekas sopir papa dulu.

"Pak No, tolong saya ya,"aku membuka pembicaraan. Pada percakapan berikutnya, aku memintanya untuk membantu mengurus perpanjangan STNK lima tahunan, itu berarti wajib menggosok nomer rangka mesin dan casis segala rupa.

     Terus terang, aku tidak begitu mahir mengemudi di luar kompleks perumahan. Mobil papa sudah amat tua, karenanya paling-paling hanya kugunakan untuk berbelanja ke mini market sekitar rumah saja atau mengantar papa ke klinik kesehatan terdekat. Kemacetan lalu lintas Jakarta yang terkenal 'bikin tua di jalan', plus mobil tua dalam arti sesungguhnya - buatan tahun 2001 - adalah beberapa alasanku untuk minta bantuan pak No.

"Maaf mbak Ina, sebenarnya saya agak sibuk. Mengapa tidak pakai biro jasa aja mbak?" tawarnya.

     Ah, bagaimana mungkin, aku bahkan selalu menganggap biro jasa itu adalah sesuatu yang ilegal, sesuai yang tertera pada stiker besar terpampang di gerai Samsat, bukan begitu? Masih lebih baik bagiku memberi sejumlah uang pada pak No untuk itu, walau aku jadi tidak pasti, apa bedanya dengan menggunakan biro jasa.

     Aku terus membujuk pak No karena aku tahu ia sekarang dan istrinya sekadar berjualan makanan di depan rumahnya, maka aku rasa ia masih bisa mengatur-atur waktu.

"Tambahan uang makannya beres deh pak," janjiku padanya sambil tersenyum, walaupun aku tahu saat ini ia tidak bisa memandang senyum penuh harapku itu. Ia pun setuju pada akhirnya.

 Sekitar pukul 11, ponselku berdering. Dari pak No.

"Mbak, nomer plat mobilnya 818 W ini terhitung nomer cantik. Dari tahun 2017 sudah dibuatkan peraturan baru. Tiap nomer cantik, dikenakan pajak tambahan sekitar empat hingga puluhan juta rupiah atau lebih, tergantung nomernya. Punya mbak Ina kena tujuh setengah juta. Dan.. itupun harus dibayarkan setiap lima tahun sekali, mbak.." suara pak No setengah berteriak dan terbata-bata.

      Aku terkesiap. Mobil bobrok buatan 2001, kadang jalan, kadang mogok, sering diservis karena ini-itunya dimakan usia, dengan biaya perpanjangan STNK yang biasanya murah saja sekitar sejuta-an .. kini tiba-tiba ditimpa pajak sebesar itu? Alamak.

     Dalam pembicaraan selanjutnya melalui ponsel, pak No menjelaskan bahwa nopol cantik bisa dilepas dan diadakan penggantiannya, agar terlepas dari beban pajak sebesar itu. Paling-paling hanya dikenakan tambahan biaya penggantian nopol-nya, yang jumlahnya tidak besar.

         Sedikit kalut, aku segera menghubungi papa untuk meminta pendapatnya. Tanpa ragu, tanpa jeda, papa memberi instruksi agar nopol cantik diganti nomer biasa saja.

"Keberatan," jelas papa mengenai jumlah tersebut, apalagi dengan memperbandingkan kegunaan dari nopol cantik tersebut, yang hampir tidak ada lagi buat keluarga kami.

      Aku meneruskan instruksi papa tersebut pada pak No.

Makna yang takkan pernah terhenti

       Malam itu, bukan karena alasan bahwa aku menjaga rumah sendirian tanpa papa, aku tak bisa tidur. Aku membolak-balik badan di tempat tidurku, dengan benak penuh pikiran. Dalam suasana yang tenang ini, pikiranku kembali jernih.

                                                                                                                      ( B e r s a m b u n g )

Catatan:

Nopol = singkatan dari nomor polisi atau lebih resmi lagi disebut TNKB (Tanda Nomor Kendaraan Bermotor) atau juga disebut pelat nomer yang berupa susunan angka dan atau tanpa huruf yang tertera pada plat mobil

Ponsel = telepon selular ; HP (Handphone)

ILUSTRASI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun