Akan tetapi sejalan dengan waktu, kejenuhan pun mulai melanda, sehingga rasa gentar berbalik menjadi rasa bosan pada aturan pembatasan yang mendikte perilaku manusia, terkait ancaman virus tersebut.
Ini tercermin pada Hari Lebaran kemarin, kala fenomena mudik kembali melanda di Indonesia sebagai tradisi yang jamak bagi kaum migran, kaum urban, dan diaspora.
Kesepakatan bahwa hari Raya menjadi even pertemuan kembali sanak keluarga yang tercerai berai dalam mencari nafkahnya, menjadikan kampung kelahiran sebagai meeting point untuk melepaskan diri sesaat, dari segala urusan pekerjaan di kota selama setahun.
Sedangkan di pihak lain, perekonomian yang tengah lunglai digebuk pagebluk membentuk Pemerintah jadi semakin ketat dan trengginas untuk terus menelurkan, menerapkan, mendisiplinkan peraturan lama maupun peraturan baru dalam mencegah penyebaran Covid-19, di antaranya yaitu tertuang dalam larangan untuk mudik.
Alasannya, mobilisasi manusia adalah salah satu faktor utama dalam penularan Covid 19. padahal mudik berarti pergerakan manusia pada saat bersamaan (peak season) dengan menggunakan berbagai alat moda transportasi.
Apalagi lebaran selalu diikuti dengan acara menyambung silaturahmi (saling bertandang ke rumah para sanak saudara) yang secara sadar dan tak sadar berarti terjadinya kerumunan.
Protokol kesehatan berupa cuci tangan, bermasker, menjaga jarak, pada even seperti ini biasanya melonggar karena berbagai alasan, seperti keakraban ataupun kepercayaan bahwa sesama anggota keluarga tidak akan saling menularkan.
Atau, sekadar ingin tertawa dan berbincang lebih bebas dan leluasa, sehingga membuka masker, misalnya. Lebaran adalah acara bersuka cita, mengapa tiba-tiba mesti dibatasi dan berjalan sudah hampir dua tahun ini?
Tak heran tentu saja, layaknya yang bernama peraturan, maka pembatasan (curfew) tersebut menuai pro dan kontra dari masyarakat. Sesaat terlupa sudah akan maut ataupun derita yang mengancam selama ini masa pandemi.
Lebaran menjadi sinar terang yang menghipnotis kunang-kunang untuk pulang, tak peduli akan terbakar apinya. Kala kewaspadaan melorot, maka pandemi ini merubah fenomena COBAAN (yang bersifat keprihatinan), menjadi lebih bersifat GODAAN (hasrat untuk melanggar).
Godaan, godaan..