Untuk memperoleh nilai riilnya, maka GDP dibagi dengan jumlah penduduk.
Bayangkan, seorang kepala rumah tangga yakni si A yang berpenghasilan Rp 10 juta lebih rendah kesejahteraannya dengan si B yang berpenghasilan Rp 6 juta sebulan. Bagaimana bisa? Ternyata si A memiliki tanggungan/ anggota keluarga berjumlah 5 orang (rerata Rp 2 juta/orang), sedangkan si B masih single tanpa tanggungan (Rp 6 juta/orang). Tentu saja ini hanya ilustrasi kasar, karena nilai "riil" ini lebih tepat berlaku untuk hitungan perekonomian sebuah negara. Nah, konsep GDP per kapita inilah sejatinya yang paling kita kenal.
Namun jika GDP/kapita ini di-upgrade lagi, maka itu bisa dibagi menjadi tiga komponen:
1. Total jumlah barang/ jasa yang dihasilkan per satu jam kerja.
Disini cukup menarik karena memilki banyak implikasi.
Salah satunya, kemampuannya untuk menjabarkan komposisi angkatan kerjanya, apakah itu berupa high-skills occupation, medium-skills occupation, atau low-skills occupation.
Selain itu, rasio ini juga menggambarkan 'Labor Utilization'. Data mengatakan bahwa bangsa Asia pada umumnya memiliki jam kerja yang lebih tinggi dari AS, sehingga rasio GDP/jam kerja bangsa Asia lebih rendah dari AS.
2. Jumlah jam kerja dibagi jumlah tenaga kerja di suatu Negara menghasilkan 'rata-rata jam kerja per karyawan'.
Rasio ini dipengaruhi oleh inovasi teknologi, terutama Otomatisasi (robotisasi), dan juga globalisasi. Ada pula internet of things/IoT. Kesemua itu gilirannya membawa fenomena 'Scale without mass' (me-masif-kan output tanpa harus memiliki karyawan yang terlalu banyak).
3. Tenaga kerja dibagi dengan populasi penduduk suatu Negara akan memberi nilai rasio angkatan kerja.
Ini merefleksikan partisipasi angkatan kerja dan tingkat pengangguran. Sedangkan secara terpisah, populasi terkait dengna tingkat fertilitas dan mortalitas.