Sesaat sebelum masuk kota Sambas, pada sisi kanan jalan, ada sebuah Mesjid yang bernama Baabul Jannah. Kesanalah motor roda dua yang saya kendarai saya belokan.
Ada dua alasan saya singgah di Masjid yang besar dan anggun itu. Alasan pertama karena suara Adzan. Artinya waktu sholat sudah tiba, segera lakukan kewajiban sholat. Karena, tujuan yang akan temui kelak, saya tak tahu harus memakan waktu berapa lama. Alasan kedua, tubuh ini perlu direhatkan sejenak setelah menempuh perjalanan 224 km dari kota Pontianak.
Setelah sholat, hanya berjarak 260 m saya segera dihadapkan keramaian kota Sambas. Ada simpang tiga dihadapan saya. Saya memilih arah lurus, sedang yang berbelok ke kanan, arah down town kota Sambas.
Beberapa saat kemudian, saya menyeberang sungai Teberau, lalu segera berbelok ke kiri, di ujung jembatan yang dihalangi oleh pasar rakyat.
Pada jarak 600 meter setelah pasar rakyat itu, pada sisi pertemuan antara sunga Teberau dengan sungai Sambas kecil, saya terperangah. Di depan saya berdiri dengan megahnya Keraton Kesultanan Sambas. Dengan nama  Keraton AlwatzikHoebbillah.
Warna kuning mendominasi warna
Keraton AlwatzikHoebbillah, warna khas yang menandai Kraton yang saya kunjungi ini  adalah Keraton dari kerajaan Melayu.
Raja dari kerajaan Sambas bergelar Sultan dan keraton yang saya kunjungi ini dibangun pada tahun 1662 Masehi.
Di depan keraton terdapat halaman yang sungguh luas. Pada ujung halaman terdapat tiang bendera. Dibawah tiang bendera, seakan menjaga tiang bendera terdapat dua senjata meriam. Salah satu Mariam itu bernama si Gantar Alam.
Pada sisi kanan tiang bendera, diujung lapangan terdapat bangunan segi empat yang di dalam bangunan itu tergantung Gamelan, sebagai sarana untuk memanggil atau memberitahukan pada masyarakat jika ada sesuatu pengumuman yang perlu diketahui oleh masyarakat.
Sebelum saya memasuki Keraton setelah melewati tiang bendera, terdapat pintu gerbang, yang berbentuk bangunan tipis selebar 2,5 meter berlantai dua. Lantai kedua, kemungkinan berfungsi sebagai menara pengintai dari pergerakan musuh dari arah sungai yang tepat mengalir di sisi luar Keraton.
Sedang Keraton itu sendiri terdiri dari tiga bangunan utama. Bangunan utama Keraton, bangunan sisi kiri untuk keluarga Keraton dan bangunan sebelah kanan yang berfungsi sebagai dapur dan tempat para juru masak.
Guide yang menemani saya, lelaki berusia lima puluh dua tahun. Ketika saya tanya siapa nama beliau. Beliau menjawab panggil saja Daeng. Menurut penuturan beliau, beliau masih kerabat Keraton.
Tapi, mengapa nama beliau Daeng? Begitu tanya saya. Menurut Daeng. Sudah lazim pada zaman dulu. Kerajaan berbesanan dengan kerajaan lain, dengan maksud sebagai taktik pertahanan. Sehingga, ketika kerajaan di serang musuh, maka kerajaan yang menjadi besannya akan segera membantu. Dan Daeng, adalah anak dari Besan Keraton Sambas dengan Kerajaan di Makasar.
Apa itu artinya, Keraton Sambas sering di serang kerajaan lain? Apa penyebabnya terjadi penyerangan? Lanjut saya.
Menurut Daeng, Kerajaan Sambas, dulu sering di serang kerajaan Melayu dari Riau. Penyebabnya, karena Sambas adalah kerajaan penghasil emas. Penyerangan itu, mereda setelah Sambas berbesan dengan Makasar dan beberapa kerajaan lain di Kalimantan. Demikian penuturan Daeng.
Kondisi Keraton Sambas masih berdiri kokoh dan megah. Hanya, pada halaman, nampak rumput tumbuh dengan subur, juga beberapa sampah yang bertebaran di sana-sini. Agaknya pemerintah kota Kabupaten Sambas perlu turun tangan, paling tidak memberikan fasilitas petugas kebersihan yang menjamin kebersihan lingkungan Keraton Sambas.
Logikanya, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menjaga aset sejarah kejayaan masa lalunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H